“Hidup sungguh sangat sederhana. Yang hebat-hebat hanya tafsirannya” kata sastrawan Pramodya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca yang sering dikutip oleh banyak orang. Begitulah sebenarnya yang terjadi dalam kasus seorang perempuan non muslim yang membawa anjingnya masuk masjid beberapa waktu yang lalu. Yang bikin ribut-ribut adalah tafsir-tafsirannya saja. Padahal, persoalannya hanya ringan-ringan saja. Yang menurut Mbak Kalis Mardiasih seharusnya bisa diselelsaikan level londri saja.
Felix Siaw dalam vlog terbarunya untuk menanggapi peristiwa itu mengatakan bahwa peristiwa itu bukan hanya soal fikih saja (yang mudah untuk diselesaikan), baginya itu menyangkut soal martabat dan kehormatan umat Islam. Felix melanjutkan bahwa peristiwa itu adalah soal keberpihakan, mau memihak umat Islam atau memihak perempuan non muslim pembawa anjing yang menista masjid.
Kalau kita melihat apa yang dikatakan Felix, sungguh genting sekali situasi yang dialami umat Islam saat ini. Tapi, sebentar dulu, apakah benar-benar demikian yang terjadi? Sebenarnya tidak juga, yang dilakukan Felix adalah tafsiran-tafsiran yang melebih-lebihkan peristiwa.
Penafsiran yang dilebih-lebihkan tersebut adalah pemaknaan yang hiperbolik terhadap sebuah peristiwa. Pemaknaan peristiwa yang demikian itu bukanlah tanpa tujuan apapun, ada kepentingan-kepentingan yang ingin disisipkan dalam pesan propaganda tersebut. Dalam konteks Felix sendiri adalah kepentingan ideologi keislaman yang ia bawa selama ini. Yakni, khilafah solusinya!!
Sebelum kita terburu-buru percaya begitu saja yang tafsir yang membuat kita semua cemas itu, coba kita telisik ulang dulu apa sebenarnya yang sebetulnya terjadi pada peristiwa anjing masuk masjid tersebut, dengan tanpa adanya penafsiran-penafsiran yang lebai.
Pertama, perempuan yang masuk masjid dengan membawa anjing tersebut tujuannya adalah mencari suaminya yang telah mu’alaf yang dikabarkan akan menikah lagi, dengan tanpa persetujuannya di dalam masjid. Sebetulnya wajar saja apa yang dilakukan oleh si perempuan masuk masjid tersebut, memangnya istri mana sih yang tidak cemas dan marah kalau suaminya mau menikah dengan wanita lain dengan tanpa persetujuannya dan tak ada penghormatan dengan ikatan pernikahannya selama ini?
Jadi motif utama si perempuan itu tidak semengerikan seperti apa yang ditafsirkan oleh Felix Siaw yang memberikan framing peristiwa bahwa itu adalah seolah-olah orang non muslim tidak menghormati tempat ibadah kaum muslim. Sekali lagi, motifnya adalah mencari suaminya, bukan berniat melakukan penistaan agama di masjid.
Kedua, yang menjadi bumbu yang memanaskan terkait dengan peristiwa itu adalah soal anjing yang masuk masjid. Baikah, terkait dengan soal itu, sebetulnya masalah najis anjing bisa diselesaikan dengan ilmu fikih saja. Jika masjid dimasuki anjing dan dikhawatirkan menjadikan tempat yang dilewatinya akan najis, tinggal disucikan saja dengan mekanisme fikih yang ada.
Dan sebetulnya terkait dengan fikih najisnya anjing ini ulama’ madzhab memiliki beberapa alterantif yang mempermudah masalah ini. Madzhab Maliki mengatakan bahwa anjing itu tidak najis. Menurut mereka setiap mahluk hidup itu suci, termasuk anjing dan babi. Sedangkan menurut Hanafi, yang najis dari anjing adalah hanya keringat dan air liurnya. Dan sedangkan menurut Syafi’I dan Hambali, seluruh bagian dari anjing itu najis, termasuk juga bulunya.
Nah, dengan demikian terkait dengan persoalan najisnya anjing, sangat banyak sekali alternatifnya, tergantung di masjid tersebut menggunakan madzhab fikih yang mana. Jika yang digunakan adalah Syafi’iyah sebagaimana yang banyak digunakan oleh kaum muslim di negeri kita, ya tinggal dibasuh saja tujuh kali dan salah satunya menggunakan tanah.
Ketiga, adalah terkait dengan kondisi psikologis si perempuan yang membawa anjing tesebut. Dikabarkan bahwa si perempuan sedang mengalami gangguan kesehatan mental, skizoprenia. Perlu diketahui bahwa orang yang mengalami gangguan kesehatan mental skizoprenia, ia akan mengalami kehilangan kontak dengan realitas atau delusi.
Nah, jika si perempuan pembawa anjing yang dituduh Felix Siaw itu mengalami gangguan kesehatan mental, tentu dengan selayaknya dan sewajarnya kita memaklumi segala tindakan keliru atau kurang pas tersebut. Toh, dalam Islam kan memang orang yang sedang mengalami gangguan kesehatan mental itu dibebaskan dari segala hukum syara’.
Saya setuju dengan pendapat Pak Achmad Munjid, dosen UGM dalam status Facebooknya bahwa:
“Jika sudah tahu sakit jiwa tapi masih dihukum juga, itu artinya masyarakatnya yang sakit jiwa. Dalam kasus ini, bukan Cuma perempuan itu yang menderita skizofrenia, tetapi juga orang-orang yang menuntut supaya si sakit itu dihukum”.
Terakhir, jelas sudah permasalahan dalam kasus ini. Sebetulnya, perkaranya tak begitu rumit. Akan tetapi yang menjadikannya rumit dan kusut adalah tafsiran-tafsirannya saja, yang melebih-lebihkan. Termasuk menganggap ini adalah penistaan agama dan menuntut si perempuan untuk dihukum. Koh Felix lebai deh.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.