Aliran Baroe majalah bulanan yang diterbitkan Persatuan Arab Indonesia (PAI) di Surabaya kisaran tahun 1938. Majalah ini dikelola oleh Hoesin Bafaqih dan Salim Maskati. Tidak seperti dua majalah PAI yang lain, Insaf dan Sadar, Aliran Baroe dikemas lebih populer dan tidak terkesan sebagai media resmi organisasi yang isinya hanya memberitakan kegiatan organisasi.
Aliran Baroe memiliki beberapa rubrik, seperti Dari Soedoet sejarah, Ruang agama, Taman Poeteri, Kesoesastraan, Dari sana sini, dan Gado-gado Soerabaia. Majalah ini diterbitkan sekali sebulan dan dicetak di percetakan Agil di Surabaya. Total halamanya dalam setiap edisi 22, kalau edisi spesial Idul Fitri bisa dua kali lipat lebih banyak. Bulan Januari 1939, seperti ditulis Huub de Jonge dalam In Search of Identy, majalah ini terjual sekitar 1.500 oplah. Jangkauan pembacanya sangat luas, meskipun kadang sebagian pelanggan suka lupa bayar langganannya.
Penulis dan kontributor Aliran Baroe kebanyakan adalah internal PAI. Abdurrahman Baswedan, pendiri PAI, selalu menjadi penulis tetap dalam setiap edisi. Selain melibatkan penulis internal, majalah ini juga mengundang penulis luar, terutama dari tokoh nasional.
Salah satu yang pernah diundang untuk menulis di sini adalah KH. Mas Mansur, pempinan organisasi Muhammadiyah. Artikel perdananya berjudul, Bangsa Arab dalam Kegentingan. Di bawah artikel tertulis, “Semua bangsa Arab harus perhatikan. Apa jadinya kalau terus berkalahi. Janganlah perkara yang kecil dijadikan ‘Gamis Utsman’. Seluruh kaum peranakan mesti kalm dan tentram.”
KH. Mas Mansur sangat dihormati di kalangan Persatuan Arab Indonesia. Dia dianggap guru yang fatwa dan pendapatnya selalu ditunggu. Pengurus dan aktivis PAI pun memposisikan diri mereka sebagai murid di hadapannya. Hal ini sangat terlihat dalam pemberitaan Aliran Baroe perihal kedatangan KH. Mas Mansur ke Surabaya, dimuat dalam edisi no. 14 tahun II, September 1939.
Diberitakan pada awal bulan September 1939, KH. Mas Mansoer kebetulan beliau sedang berada di Surabaya. Sontak, pengurus PAI Surabaya memintanya untuk mengisi lezing (kuliah). Ia pun tidak menolak, menerima dengan senang hati. Kehadiran KH. Mas Mansur disambut dengan riang gembira. Ruangan kantor PAI mendadak penuh. Karena, mereka kedatangan seorang guru yang sudah lama tidak bertemu. Aliran Baroe menulis:
“Ruangan gedung PAI penuh sesak dengan khalayak, kawan separtai yang rindukan lezing beliau itu. Rindu segerombolan murid terhadap ujar fatwa gurunya yang sudah setahun lamanya berpisah tiada bertemu muka dan tiada memumuknya lagi dengan nasihat petunjuknya, padahal selama ini mereka sekalian sama merasa haus dan dahaga dengan lezing-khutbahnya.”
KH. Mas Mansoer Dihujani Pertanyaan
Dalam forum tersebut, KH. Mas Mansoer dihujani banyak pertanyaan, terutama yang berkaitan dengan isu aktual yang sedang dibicarakan di tengah masyarakat. Tanpa disadari, saking asyiknya diskusi, beliau sudah berdiri di atas mimbar selama tiga jam. Semua pertanyaan dijawab, rawut wajahnya tenang, dan tidak terlihat rasa kesal sedikit pun dalam meladeni pertanyaan peserta yang hadir.
“Tiada heran kalau pada malam itu, KH. Mansoer sudah dihujani dengan rupa-rupa pertanyaan oleh banyak yang hadir. Rupa-rupa pertanyaan oleh banyak yang hadir, sampaipun beliau itu berdiri di atas mimbar tiga jam lamanya. Dalam pada itu beliau tetap dengan senyumnya, tetap banyak tenang, tiada jemu dengan banyak pertanyaan, tiada kesal melihat tingkah laku muridnya yang manja berlomba-berloma meminta keterangan tentang ini dan itu, daripada soal-soal yang aktual,” Kutipan dari redaksi Aliran Baroe.
Di antara pertanyaan yang diajukan adalah soal hukum gambar dan musik. Masalah ini sebetulnya sudah pernah dibahas KH. Mas Mansoer pada saat memberi lezingavond (kuliah malam) di Java Instituut Mataram. Ia mengawali penjelasannya dengan mengatakan bahwa sesuatu yang diharamkan oleh agama itu ada dua macam: haram karena semata-mata dzatnya dan ada juga yang diharamkan karena dampak buruk yang dihasilkannya.
“Kesenian musik oleh ulama dahulu dimasukkan ke bagian yang kedua. Diharamkan karena khawatir ia melupakan orang daripada menunaikan hal wajib yang menjadi tuntunan agama,” Kata KH. Mas Mansoer.
Jelasnya, musik haram bukan karena alatnya, bukan pula karena terempet, jidor, atau tambur, akan tetapi khawatir jika bunyian itu bisa melupakan orang dari kewajiban dan mengarahkannya pada kejahatan.
“Kalau umpama kata kekhawatiran itu sudah tidak ada, dan bunyi bunyiannya juga merdu, bisa menghaluskan budi, sebagaimana yang dibilang, maka bagi siapa yang yakin dan iman akibatnya seperti itu, tentu tidak ada alasan mengharamkannya,” Ungkap KH. Mas Mansoer.
Begitu pula dengan hukum gambar. Memang ada hadisnya yang mengatakan tukang gambar nanti akan mendapatkan siksa amat berat di akhirat. Karena itulah para ulama dulu memutuskan umat Islam tidak boleh menggambar dan memajangnya.
Tapi juga perlu diingat, dalam Fathul bari ada penjelasan lanjutannya, yang diharamkan itu adalah gambar yang ada wujudnya, yang bisa diraba oleh jari, “woengkoel”, kata orang Jawa. KH. Mas Mansoer mencothkan dengan arca, golek, dan seterusnya.
Kalau digali lebih dalam lagi, alasannya sebetulnya bukan hanya itu, tetapi gambar dilarang karena sebagian orang menjadikanya objek sembahan, dipuja-puji, dan dimuliakan. Inilah yang menjadi alasan utamanya, karena khawatir disembah, makanya dilarang. Jadi haramnya gambar bukan karena materi atau zatnya, tetapi ada alasan yang lain.
“Gambar yang pasti tidak bakal menjadi sembahan, tentu masih ada jalan orang mengetuk pintu ijtihad buat mengupas kembali boleh atau tidaknya,” Tutup KH. Mas Mansoer.