AR. Baswedan: Pengukir Sejarah

AR. Baswedan: Pengukir Sejarah

Dia tidak dimasukkan dalam deretan nama Pahlawan Nasional, karenanya ia tidak seburuk nasib Tan Malaka dan Alimin, dua orang Pahlawan Kemerdekaan yang namanya disembunyikan dalam pendidikan sejarah kemerdekaan selama tiga dekade.

AR. Baswedan: Pengukir Sejarah

Agus Salim, Nokhrasi Pasha, AR. Baswedan

Setahun lebih tua dari Sjahrir, lahir di September 1908 sedangkan Sjahrir di awal Maret 1909, namun namanya tidak sepopuler Sjahrir, setidaknya di luar Surabaya hingga habis tahun 1950-an. Ia pun tidak dimasukkan dalam deretan nama Pahlawan Nasional, karenanya ia tidak seburuk nasib Tan Malaka dan Alimin, dua orang  Pahlawan Kemerdekaan yang namanya disembunyikan dalam pendidikan sejarah kemerdekaan selama tiga dekade.

ETNIS

Katakanlah seluruh kerajaan kuno di Indonesia disematkan pada sebuah agama (seperti Kerajaan Budha, Kerajaan Hindu, atau Kerajaan Islam) namun hakikatnya, secara eksistensi, kerajaan tersebut tidaklah langsung mengidentikkan diri pada sebuah agama, meskipun benar adanya bahwa sejarah agama Hindu-Budha dapat diteliti secara bersamaan dengan kemunculan kerajaan semisal Kutai, Sriwijaya, Singosari, sampai Majapahit; sama halnya sejarah perkembangan agama Islam selalu diikuti dengan kehadiran kerajaan Samudra Pasai, Demak, hingga Mataram dan Tidore.

Berangkat dari hubungan dua hal yang saling berkaitan ini, Prof. Denys Lombard (1989) menyimpulkan setidaknya ada empat budaya besar yang mempengaruhi Nusantara: yakni budaya yang berasal dari India, China, Arab, dan Eropa.

Setidaknya ada dua jenis masyarakat Arab di Indonesia: lahir di Arab (ulaity) dan lahir di Indonesia (muawwalad), dan jika dipotong secara stratifikasi sosial, masyarakat Arab tersusun atas: Sayid (keturunan Nabi Muhammad SAW dari Fatimah istri Imam Ali), Qabili (keturunan panglima perang), dan Syeikh (keturunan orang ulama).

Namanya Abdul Rahman (AR.), yang berdasarkan geneologi ia bermarga Baswedan dan bukan keturunan langsung Nabi Muhammad SAW, lahir di Indonesia, tepatnya di Kampung Ampel, Surabaya. Kakeknya bernama Umar bin Abu Bakar bin Mohammad bin Abdullah Baswedan, generasi awal Baswedan yang menginjakkan kaki di Surabaya dari Hadramaut sebagai pedagang dan sekitar tahun 1832 menjadi tokoh masyarakat Arab generasi awal di sana (GH. Von Faber: 1989).

Oleh karenanya, AR. Baswedan adalah muawwalad dan kategori Syeikh.

MENGUKIR SEJARAH

Setelah proklamasi dikumandangkan 17 Agustus 1945, kewajiban selanjutnya adalah mempertahankan kemerdekaan. Tidak akan ada kemerdekaan jika tanpa pengakuan. Sejak dikeluarkan pernyataan dukungan kemerdekaan Indonesia dalam Konferensi Liga Arab di Mesir pada 18 November 1946, menagih pengakuan kemerdekaan dari negara-negara Arab adalah hal yang wajib dipenuhi untuk mempertahankan kemerdekaan.

Sebuah delegasi dikirim, dipimpin oleh H. Agus Salim, dan AR. Baswedan termasuk di dalamnya. Kapasitasnya sebagai Menteri Muda Penerangan Indonesia, dipilih karena rekomendasi Abdul Mun’im yang terkagum-kagum dengan kefasihan diplomatisnya dalam Bahasa Arab, di samping Nasir Sutan Pamuntjak dan HM. Rasjidi, Sekjen Departemen Agama sekaligus lulusan Al-Azhar. Hanya berbekal “Surat Keterangan Jalan”, karena Indonesia belum mengeluarkan paspor, delegasi ini melakukan perjalanan sampai ke Mesir pada 10 April 1947.

Naskah pengakuan kedaulatan Indonesia paling pertama yang diberikan negara asing adalah dari Mesir, ditandatangai sendiri oleh Menteri Luar Negeri Nokrashi Pasha. Mendapatkan pengakuan tersebut adalah tidaklah mudah, sama tidak mudahnya membawa naskah itu sampai ke tangan Soekarno yang berada di Yogyakarta, karena Ibu Kota Indonesia berpindah ke sana pada waktu itu.

Sebelum bertemu Menteri Luar Negeri, delegasi ini perlu meyakinkannya terlebih dahulu dengan melobi seluruh media massa di Kairo seperti Ikhwanul Muslimin, Al-Ihram, dan lain sebagainya. Lagu Indonesia Raya pun diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan dikumandangkan oleh seluruh pelajar Indonesia yang berada di sana. Duta Besar Belanda di Mesir memang sempat membujuk Nokrashi Pasha agar menolak pengakuan kedaulatan Indonesia, namun pengaruh delegasi ini dalam melobi media massa dan pelajar Indonesia di Mesir membuahkan hasil; Duta Besar Belanda keluar ruangan Nokhrasi dengan muka cemberut, tidak berhasil meyakinkannya.

Naskah Pengakuan ditandatangani. Giliran mengirimkannya ke Indonesia, sementara H. Agus Salim dan menteri lainnya melanjutkan perjalanan ke negara-negara Arab, menagih janji pengakuan mereka. AR. Baswedan harus pulang sendiri, menyelamatkan naskah itu hingga sampai ke tangan Soekarno.

Baswedan, bagi saya tidaklah penting apakah Saudara sampai di Tanah Air atau tidak, yang penting naskah ini harus sampai di Indonesia dengan selamat,” begitu pesan H. Agus Salim kepada AR. Baswedan, ia tahu benar perjalanan pulang bukanlah perkara mudah.

Bergerilya Baswedan dari Mesir ke Bahrain, bersembunyi-sembunyi melewati Karachi, Calcutta, Rangon, dan sampai ke Singapura. Sesampainya di sana, Indonesia sedang mengalami nasib kritis, menghadapi Ultimatum Van Mook, Gubernur Jenderal waktu. AR. Baswedan tertahan sebulan di Singapura dengan bekal yang memang nyaris tiada, namun belum waktu yang tepat untuk pulang ke Indonesia, sampai akhirnya dibantu dua orang Singapura berdarah Arab dan AR. Baswedan dibelikan tiket pulang.

Kekhawatiran pun masih membayangi AR. Baswedan sesampainya di Imigrasi Bandara Kemayoran. Baswedan teringat pesan H. Agus Salim: yang terpenting naskah pengakuan itu selamat, bagaimanapun nasib nahas ia terima. Disembunyikannya di kaos kaki, dalam sepatu sangat kumal, yang ketika di Mesir sepatu sandal itu sempat menghambat protokolernya di hadapan Raja Farouk.

“Naskah Pengakuan Terselamatkan oleh Kaos Kaki AR. Baswedan”.