Seorang teman bercerita mengenai hubungannya yang terancam kandas. Ia mengatakan bahwa si pasangannya tiba-tiba menjauh. Saat ditanya kenapa, ia menjawab bahwa (calon) pasangannya baru saja diuji. “Diuji bagaimana?”
Alkisah, ia ingin menguji seberapa serius pasangannya dalam hubungan percintaan yang dibangun sudah beberapa bulan. Ia ingin agar pasangannya benar-benar serius memperjuangkannya.
Ia membuat sebuah kode. Kalau ia menunjukkan gelagat X, ia berharap pasangannya merespons dengan Y. Kalau lulus ujian, ia akan menerima sepenuhnya.
“Lha kalau menjauh seperti ini?”
Ia pun tak punya jawaban, bahkan cenderung menyesalinya.
“Kira-kira aku harus bagaimana, ya?”
Jawabannya cukup rumit. Kita terbiasa dengan kisah heroik ala-ala Bandung Bondowoso yang begitu gigih memperjuangkan kisah cintanya dengan menyanggupi pembuatan seribu candi dalam satu malam. Atau kisah Sangkuriang yang membuat bahtera besar sebagai syarat diterima oleh Dayang Sumbi.
Kita tidak pernah mengambil sisi lain dari hikmah kedua dongeng tersebut: kisah Bandung Bondowoso dan Sangkuriang adalah kisah cinta bertepuk sebelah tangan alias gagal!
Cinta itu tidak perlu dibuktikan dengan ujian.
Apalagi dalam membangun sebuah hubungan, kita hanya perlu saling meyakinkan. Tidak perlu menduga-duga apakah orang yakin dengan kita. Yang paling penting adalah sebagai seseorang yang serius kita perlu meyakinkan diri sendiri dan berusaha meyakinkan orang yang kita cintai untuk hidup bersama kita. Apalagi menikah, momen yang sebisa mungkin hanya terjadi seumur hidup sekali.
Setelah menikah saya menyadari betul bahwa ‘kode’ adalah isyarat yang sangat buruk dalam membina sebuah hubungan. Saya tentu saja pernah melakukan dan sekaligus jadi korbannya. Metodenya banyak, mulai ngambek hingga prank.
Padahal betapa mudahnya menyampaikan rasa lapar dengan kata “aku lapar” daripada sekadar menunggu ditanya ‘sudah makan apa belum’ sembari melakukan silent treatment. Betapa lebih mudah menyampaikan “jangan lakukan itu” daripada diam dan ditanya berkali-kali jawabannya hanya “enggak papa”.
Di sisi ini saya sangat beruntung kenal Mbah Lasswell, pakar komunikasi yang namanya sering saya dengar dari 2012. Komunikasi efektif bisa diidentifikasi kalau si pembuat pesan (komunikator) berhasil mendapat respons alias feedback (pesan) yang cetha dari lawan bicaranya (komunikan).
Memang ada orang yang pandai menafsir kode, tetapi dalam sebuah hubungan, ada baiknya menghindari cara-cara misterius ini. Ingat, ini sedang menjalani hubungan, bukan syuting film Detektif Conan.
Sesaat setelah akad, saya membatu beberapa saat. Perubahan status benar-benar terjadi. Katanya, menikah adalah proses menuju kedewasaan.
Saat ini saya sedang di titik itu. Saya tidak ingin mendramatisirnya, namun momen pernikahan memang sedramatis itu.
Di hari-hari pertama pernikahan, saya masih sering menebak-nebak apakah saya benar, apakah salah. Begitu juga dalam membangun komunikasi dengan istri, saya masih sangat berhati-hati. Hingga pada satu waktu kami bersepakat untuk belajar berkata apa adanya. No more tests. No more worries. Iya adalah iya. Tidak adalah tidak.
Tentu semua tidak semulus itu. Beberapa kali silent treatment masih ada. Solusinya, ketika suasana sudah mencair, kami bisa membahas perilaku tersebut. Kami berkomitmen untuk terus belajar mengurangi hal-hal yang tidak komunikatif. Apalagi kami berdua sama-sama muridnya Mbah Lasswell.
Bahasa kasih
Selain komunikasi, saya sangat terbantu dengan satu konsep bernama bahasa kasih yang dicetuskan Gary Chapman.
Saya pertama kali mendengarnya di rumah seseorang yang berjasa dalam membantu saya memantapkan hati untuk melangkah ke jenjang pernikahan.
Ia bilang bahwa manusia punya kecenderungan bahasa kasih yang berbeda-beda. Kelima bahasa itu meliputi sentuhan fisik (physical touch), ungkapan afirmatif (words of affirmation), kebersamaan (quality time), hadiah (gift), dan pelayanan (acts of service). Konon, memahami pasangan berdasar bahasa kasihnya menjaga ritme hubungan tetap hangat.
Seseorang yang dominan bahasa kasih sentuhan fisik, maka dia sangat membutuhkan aksi nonverbal berupa bahasa tubuh dan sentuhan untuk mengekspresikan kasih sayang. Caranya dengan memeluk, mencium, menggenggam tangan dan lainnya. Sebaliknya, orang yang memiliki bahasa ungkapan afirmatif lebih bisa disentuh dengan kata-kata, puisi, pujian, dan sebagainya.
Bahasa kasih quality time membuat seseorang cenderung suka dengan situasi kebersamaan. Caranya bisa dengan nonton bareng, liburan, dan lainnya.
Sementara bahasa kasih gifts membuat seseorang sangat suka diberi hadiah. Ia akan merasa dihargai ketika dibawakan oleh-oleh atau diberi sesuatu di hari yang dianggapnya berharga.
Terakhir, acts of service membutuhkan tindakan bantuan. Jika bisa, si empunya pemilik bahasa kasih tersebut bisa makan di atas kasurnya.
Setiap orang mungkin punya kecenderungan di lima bahasa kasih tersebut. Namun tetap saja pasti ada hirarkinya. Saya pernah mencoba identifikasi diri. dari kelima hal tersebut, mana yang paling dominan?
Hal ini saya lakukan bukan untuk menuntut. Justru, saya ingin agar bisa mengendalikan diri barangkali pasangan saya belum memahaminya.
Satu waktu, saya dan istri melakukan tes. Ternyata, kami punya kecenderungan yang berbeda. Apalagi istri berceletuk di antara lima bahasa kasih dia sepertinya punya kecenderungan yang merata.
“Kayaknya aku butuh semua ini deh,” ujarnya sembari terkekeh.
Nah, mengetahui bahasa kasih ini justru bisa membuat saya bisa lebih aware dengan kebutuhan istri. Sebaliknya, saya mencoba memberinya pemahaman, meski tidak sampai tahapan menuntut. Kalau dalam bahasa Kiai Faqihuddin Abdul Kodir, memahami bahasa kasih membuat pasangan bisa mubadalah alias ketersalingan.
Bagi saya, yang terpenting kami meruntuhkan sekat-sekat rahasia. Sebagai suami istri, kami adalah partner yang ingin melakukan banyak hal dalam satu visi yang sama. Kami adalah kolaborator yang memiliki tujuan besar dalam kehidupan ini. Wallahua’lam.