Ada sekawanan pemuda yang dengan gagah perkasa menendang dan menggoyang-goyang pagar rumah bercat hitam pada tanggal 25 April 2020 dini hari. Pagar nyaris roboh karena diserbu puluhan pemuda. Konon kabarnya penyerbuan ini karena si pemilik rumah sempat melaporkan aktivitas masjid yang masih melaksanakan jamaah tarawih di tengah pandemi.
Lain lokasi lain waktu, terlihat juga ada sekumpulan masyarakat yang memanjat pagar masjid untuk bisa masuk ke dalam masjid karena gerbang depan dikunci pengurus. Mereka pun memaksa melaksanakan ibadah tarawih di tengah pandemi. Meskipun pemerintah setempat sudah menghimbau agar menjalankan salat tarawih di rumah masing-masing.
Saya di sini tidak sedang ingin membahas seluk beluk hukum tarawih sehingga bisa menjadi pedoman masyarakat, yang mana muaranya akan membuat masyarakat lebih bersabar dan bijaksana dalam beribadah. Namun di sini saya hendak sedikit mengandai-andai kenapa ada orang yang sampai sebegitunya ingin menjalankan ibadah yang hukumnya sunnah.
Pertama, saya menduga ini adalah persoalan isi kepala, persoalan mindset yang telah dibangun bertahun-tahun. Selama ini kita memperlakukan tarawih bukanlah sebagai ibadah sunnah dengan segala maksud dan konsekuensinya, melainkan sudah terasa seperti ibadah wajib, bahkan lebih wajib dari salat wajib. Kita sering memaketkan ramadan dengan ibadah puasa dan tarawih, kedua ibadah ini memang spesial, karena hanya dilakukan saat bulan ramadan tiba, tetapi glorifikasi tarawih sampai membuat lupa bahwa puasa dan tarawih memiliki hukum dasar yang berbeda. Tarawih menjadi sangat sakral untuk sebagian orang, meskipun hukumnya sunnah.
Glorifikasi ini bisa dicek dari beragam komposisi ibadah wajib dan sunnah yang kita miliki. Kita memiliki banyak komposisi ibadah yang selalu menempelkan sesuatu yang sunnah pada yang wajib. Ibadah salat wajib dengan salat rawatibnya, lalu ibadah haji selalu dijalankan dan dilengkapi dengan umrah, dan tentu shalat isya yang digandeng dengan tarawih.
Tarawih menjadi amat spesial dibanding kombinasi ibadah wajib dan sunnah yang lain. Salat rawatib tidak pernah mengubur dan menggantikan penyebutan salat wajib. Orang tetap menyebut salat subuh atau magrib, meskipun dilengkapi dengan rawatib.
Pun demikian dengan haji, orang akan tetap menyebut orang berangkat haji alih-alih berangkat umrah saat musim haji. Namun hal ini tidak terjadi untuk tarawih, tarawih bahkan lebih sering disebut daripada salat isya di bulan ramadan meskipun kita tahu mana yang hukumnya lebih wajib. Saya tidak mengerti hal ini sudah berjalan sejak kapan, tapi mau tidak mau memang kebiasaan ini telah membuat salat tarawih sangatlah sakral dilakukan saat bulan ramadan. Selain sakral, tarawih juga menjadi sebuah kenormalan yang harus dilakukan setiap ramadan. Nah poin normal inilah yang menjadi pemicunya.
Kebiasaan ini terus berjalan bertahun-tahun dan menjadi kenormalan di alam bawah sadar dan membuat tarawih terasa sudah mendekati wajib. Kalau anda mau lebih capek, bisa mencoba melakukan cek, silahkan datang pada beberapa orang untuk memintanya meninggalkan salat tarawih. Hal itu berat sekali, padahal orang yang ditanya itu tadi juga barangkali tidak melaksanakan semua kesunahan dalam ibadah. Tetapi berbeda dengan kesunnahan tarawih.
Selanjutnya yang kedua, kondisi kenormalan yang terjadi ini akhirnya menemui sebuah peristiwa yang mungkin tidak pernah kita bayangkan. Kenormalan yang berjalan bertahun-tahun akhirnya terbentur pada kondisi pandemi corona yang menuntut kita semua menjauhi kerumunan dan artinya juga kita harus meninggalkan untuk sementara salah jamaah. Tentu kenormalan itu akan terusik, karena sudah berjalan bertahun-tahun dan menemui benturan yang datang terakhir satu abad yang lalu. Apalagi benturan itu gagal ditampilkan dengan jelas dan terasa nyata kehadirannya. Tentu hal ini membuat semakin besar penolakan dari orang yang tidak sadar hadirnya corona.
Ketidaksadaran akan hadirnya corona ini yang membuat kondisi semakin parah. Mau tidak mau, memang kita harus mengakui bahwa kita belum menggunakan sains dan kacamata sains secara luas dalam melihat pandemi ini. Bagaimana kita seringkali melihat banyak orang yang tidak merasakan bahwa virus ini bisa mengancam siapa saja dan di mana saja. Masih ada orang yang menganggap virus ini mitos atau masih sesuatu yang jauh.
Entah siapa yang bisa disalahkan, bahwa pada kenyataannya kita memang gagal memasang perspektif sains dan menganggap bahwa virus ini dekat dan kita perlu waspada. Padahal kita juga perlu menggunakan kaidah-kaidah sains dalam melihat fenomena ini. Kita memang kecolongan sejak awal, karena saat virus ini baru mulai tumbuh, kita dengan amat percaya diri mengatakan akan selamat karena telah banyak berdoa, dan ketika banyak pasien akhirnya meninggal, kita juga tetap gagal menghadirkan perspektif bahwa virus ini dekat.
Kembali lagi pada alasan kedua soal kenormalan yang diusik. Untuk memudahkan dalam membayangkan kenormalan yang diusik, saya kira bisa menggunakan pengandaian berikut ini:
“Selama ini warga desa A makan dengan nasi, berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus tahun warga desa A beserta nenek moyangnya makan nasi dari sawah yang ada di desa tersebut. Lalu tiba-tiba ada penelitian yang menerangkan kalau beras yang ditanam di desa A tidak baik dikonsumsi karena tanah di lokasi itu memiliki kandungan logam berat yang cukup tinggi, akhirnya membuat tanaman yang ditanam di sana mengandung logam berat berbahaya dengan konsentrasi yang tinggi, selain itu tanah yang ada di desa A perlu dinormalisasi.”
“Tentu bisa dibayangkan bagaimana gemparnya orang di desa A ketika dilarang makan nasi hasil sawahnya sendiri, toh selama ini mereka makan nasi dari sawah yang ada di sana juga. Kondisi baru yang mengoyak kenormalan ternyata disebabkan ada sebuah selang industri nakal yang menumpahkan logam di bawah tanah dan akhirnya membuat kualitas tanah di desa A rusak, kerusakan ini baru diketahui ketika ada beberapa warga yang menderita penyakit kelebihan logam berat.”
Meninggalkan kenormalan memang kondisi yang berat, dan mungkin juga saudara kita di Papua mengalami hal yang sama saat dipaksa meninggalkan sagu dan beralih ke beras.
Tidak hanya karena terlalu mengglorifikasi tarawih dan tidak sadar kalau sekarang situasi kenormalan berubah. Alasan yang mau tidak mau harus dimasukkan adalah tingkat pemahaman tentang agama secara holistik memang kurang. Entah karena hidup yang terlalu syariat-sentris tanpa sentuhan tasawuf atau memang baru belajar salat sehingga tidak tau cara salat isya dan tarawih di rumah. Kita memang harus jujur bahwa tingkat pemahaman keislaman memang masih rendah.
Mungkin dikiranya selama ini Islam hanya mengurusi persoalan salat dan halal-haram saja, tidak menyadari bahwa keselamatan juga menjadi salah satu poin penting dan sangat diperhatikan dalam Islam. Karena kalau kita mau tengok sedikit saja tentang maqasid syariah atau dasar-dasar pengambilan hukum syariat, melindungi diri dan jiwa (nafs) adalah salah satu dasar dari pengambilan hukum syariat. Kita memang perlu ngaji lebih lama.
Salat itu bagus, tapi melindungi diri dari wabah itu lebih diutamakan.
BACA JUGA Nekat Tarawih di Masjid Ketika Pandemi Corona, Kepada Tuhan atau Nafsu Sebetulnya Kita Menghamba? Atau Artikel-artikel Menarik Lainnya di Sini