Di kehidupan manusia ini, ada satu hal yang tampaknya sangat sulit terlepas darinya, yakni soal politik. Tidak tersangkalkan lagi bahwa politik memiliki peran yang penting dalam segala urusan manusia. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, manusia pada kenyataannya banyak melakukan segala siasat untuk memenuhi tujuan yang diinginkan.
Bahkan di eranya Nabi dan para sahabat pun banyak kebijakan-kebijakan politik yang terjadi. Seperti yang terjadi pada masa wafat Nabi Muhammad SAW. Diceritakan secara gamblang betapa kacau umat muslim pada waktu itu. Segerombolan orang-orang badui secara serempak hendak ingin keluar dari Islam lantaran Nabi Muhammad telah wafat. Maka, respon sahabat Abu Bakar kala itu adalah mengeluarkan adigium berbunyi, “Barang siapa menyembah Nabi Muhammad, maka Nabi Muhammad telah wafat. Dan barang siapa menyembah Alllah, maka Allah hidup dan kekal”.
Tentu sikap sahabat Abu Bakar tersebut adalah sebuah pernyataan politik. Sebab, tujuannnya adalah untuk memperbaiki situasi pada waktu itu. Dengan hal tersebut umat akan tahu, keberpihakan mereka pada sahabat Abu Bakar adalah sikap apa yang perlu dilakukan pada keadaan seperti itu.
Begitu pula politik dalam kacamata Kiai Noer Muhammad Iskandar. Bagi beliau, politik adalah jalan perjuangan. Ada gairah yang begitu menggelora dalam diri seorang Kiai Noer Muhammmad Iskandar soal politik. Selain kesehariannya yang condong dalam menjalani aktivitas dakwahnya di mimbar, sosok Kiai kelahiran Banyuwangi ini juga memiliki andil yang cukup hebat melalui perjuangannya di pentas politik.
Aktivitas politikus Kiai Noer Muhammad Iskandar sebenarnya telah dimulai sejak masa perkuliahannnya dulu di PTIQ. Banyaknya perkumpulan mahasiswa, terutama masuknya kiai Noer dalam organisasi mahasiswa di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), menyadarkan beliau soal seluk beluk politik praktis. Selesai menamatkan bangku perkuliahan, Kiai Noer mempraktikkan perpolitikannya melalui celah lain yang sangat sederhana, yakni pendekatan politik dari segi moral.
Pasalnya, beliau menyadari betul betapa dunia pesantren yang memiliki andil besar dalam berdirinya republik ini, dalam kurun waktu yang singkat menjadi tersisihkan akibat pentas politik yang tak sehat. Pada masa Orba, kiai Noer meyakini jalan politik yang ia jalankan adalah pergerakan yang sangat dibutuhkan dalam perjuangan dakwah dan pendidikan.
Fenomena yang masih beredar, sejak zaman Kiai Noer hingga sekarang, budaya politik di negeri ini tak pernah berubah adanya. Kiai Noer sadar betul, pesantren selain memilki fungsi sebagai pendidikan dan pembangunan, juga bermisi untuk agen pembangunan kesejahteraan masyarakat.
Upaya Kiai Noer Merangkul Kaum Tertindas
Pasang surut dakwah NU sejak tahun 1945 banyak dipengaruhi oleh sistem politik yang melahirkan kebijaksanaannya yang merugikan umat. Marginalisasi umat Islam dilakukan oleh kecenderungan kepentingaan politik yang mempertahankan kekuasaan. Rekayasa politik, khususnya di masa Orde Baru, secara perlahan menghabisi peran pondok pesantren. Di era 1970-an santri seakan tidak punya kesempatan untuk menyalurkan aspirasi politiknya secara adil. Tokoh-tokoh besar, ulama-ulama dan pejuang yang militan ternyata tidak lagi mendapat pengakuan.
Saat itulah Kiai Noer mencoba melakukan pendekatan politik dari segi moral. Baginya, upaya menegakkan Amar Makruf pada dasarnya adalah aktivitas politik. Karena untuk itu dibutuhkan strategi dan taktik yang sedapat mungkin bisa mempengaruhi orang lain.
Menegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, juga sebuah kegiatan politik, karena upaya itu adalah mempengaruhi kondisi sosial. Persoalan-persoalan moral dalam aktivitas politik terasa diabaikan memang perlu mendapat sentuhan. Para praktisi politik menghalalkan berbagai cara demi mencapai tujuannya. Karenanya, Kiai Noer mencoba memahami kemampuannya. Betapa berpolitik tidaklah harus dilakukan melalui kegiatan di partai politik.
Kiai Noer memberi keberpihakan kepada kepentingan masyarakat, khususnya komunitas pendidikan dan dakwah. Setiap malam, beliau harus mengurangi tidur agar bisa selalu berkomunikasi dengan masyarakat arus bawah, terutama ketika melayani permintaan berceramah.
Pada masa Orde Baru, setiap ceramah yang bernada kritis dan koreksi terhadap pemerintah, selalu mendapat aplause yang tinggi oleh masyarakat. Mereka seakan membutuhkan pertolongan agar bisa keluar dari praktik- praktik penindasan, ketidakadilan dan diskriminasi yang dilakukan oleh penguasa.
Pada buku “Pergulatan Membangun Pondok Pesantren” karya Amin Idris, diceritakan betapa Kiai Noer adalah sosok pejuang yang melawan sistem perpolitikan yang deskriminatif. Banyak kaum bawah yang beliau rangkul dan dibersamai ketika sedang berhadapan dengan kebijaksanaan pemerintah yang membuat mereka menderita.
Maka tak jarang jika pencekalan terhadap aktivitas itu sering terjadi. Bahkan ada sebuah kebijaksanaan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri yang melarang kegiatan tabligh lintas daerah. Ceramah Kiai Noer di beberapa daerah harus diberhentikan karena panitia peyelenggara diancam. Tak sedikit pula para da’i yang terpaksa tiarap untuk menghindari kebijakan politik yang deskriminatif itu.
Biarpun demikian, Kiai Noer tak kehilangan semangat untuk terus berdakwah. Agar tidak terjebak dalam situasi tersebut, Kiai Noer mencoba untuk melakukan pendekatan personal kepada individu-individu di dalam kekuasaan itu. karena penguasa dan para elit politik cenderung berorientasi pada kekayaan dan kekuasaan, maka Kiai Noer lebih memilih untuk bergerilya di tatanaan moral. Beliau yakin, kalau tentara itu muslim, atau pejabat itu muslim, mereka memiliki hati nurani yang sama.
Selain terus melayani mayarakat baik melalui pendidikan di pondok pesantren, pengajian rutinan di lingkungan kalangan bawah, beliau juga mencoba agar terus mendesak para penguasa agar tercapai keharmonisan terhadap rakyat. Ceramahnya akan tetap diterima, dan pemahaman terhadap masing-masing peran akan bisa bersama-sama ditujukan terhadap kepentingan masa depan bangsa ini.
Suara keadilan terus beliau gelorakan bersama kawan-kawan mubaligh. Kepada penguasa, beliau tegas menyampaikan aspirasi ini agar mereka bisa melahirkan kebijaksanaan yang berpihak kepada rakyatnya. Sekalipun perjalanan perjuangan Kiai Noer tersebut penuh dengan onak duri yang tak mengenakkan, namun beliau tetap teguh memperjuangkan. Paling tidak, praktek kotor para penguasa tersebut mampu diminimalisasi dan lambat laun akan tersadarkan dengan baik.