New Normal Anak Pesantren: Jangankan Masker, Kolor Saja Tak Punya!

New Normal Anak Pesantren: Jangankan Masker, Kolor Saja Tak Punya!

Sulit sekali membayangkan new normal di pesantren, yang kehidupan santrinya berjalan secara komunal dan serba bareng-bareng.

New Normal Anak Pesantren: Jangankan Masker, Kolor Saja Tak Punya!

Di Indonesia, kasus Covid-19 kondisinya terus memburuk. Pada tanggal 9 Juni 2020, jumlah kasus positif baru bertambah 1.043. Total terdapat 33.076 kasus aktif. Meski demikian, orang-orang sudah begitu bersemangat menyambut era bernama ‘new normal’, kelaziman baru.

Dari sekian banyak skenario new normal, membayangkan new normal di pondok pesantren adalah hal tersulit bagi saya. Apalagi ketika mengenang masa-masa mondok selama tujuh tahun kurun 2005-2012.

Pondok pesantren jadi lembaga yang paling galau di saat wabah melanda. Dengan mempertimbangkan banyak suara, juga adanya cluster Covid-19 di Magetan, akhirnya pesantren mulai meliburkan aktivitasnya sebelum Ramadhan tiba.

Padahal biasanya di bulan Ramadhan aktivitas ngaji kilatan dan mencari berkah (tabarrukan) sedang padat-padatnya. Yang jadi pertanyaan, bagaimana selanjutnya?

Secara medis, sebelum ditemukan vaksin, virus tak akan bisa hilang. Para pakar menyebut satu-satunya hal yang memungkinkan adalah menerapkan ‘new normal’, berdampingan dengan virus.

“Sekarang kan era gawai. Kenapa tidak online-online-an saja?”

Tidak semudah itu, Ferguso! Model pendidikan online tidak cocok bagi santri. Lha, gimana mau online, wong offline saja masih pada kesulitan. Belum lagi meminta para Kiai sepuh yang sehari-hari jarang menggunakan teknologi untuk live streaming menjadi PR tersendiri. Sementara salah satu ‘daya tarik’ pesantren adalah ngalap berkah dari para Kiai sepuh itu.

Di sisi lain, kalau tetap ingin menyelenggarakan pendidikan offline, ketersediaan ruang yang tidak memadai menjadi tantangan terbesar.

Begini gambarannya. Di pondok saya hanya memiliki 7 kamar. Sementara jumlah santrinya mencapai lebih 200 lebih. Artinya, satu kamar diisi hampir 30 orang!

Serius? Wallahi, memang begitu adanya. Memang sih ada sebagian pondok pesantren yang sudah memiliki kamar memadai. Tetapi sebagian besar masih seperti pesantren saya itu.

Bagaimana cara santri tidur? Kapasitas maksimal kamar berukuran 4×5 meter sebenarnya hanya 15 orang. Itu pun sudah harus dijejer seperti menjemur ikan pindang. Untuk menghemat ruang, para santri tidur beralaskan sajadah, atau paling mentok selimut tipis. Tak jarang yang asal ndlosor di atas keramik menantang risiko penyakit asma.

Bagi santri yang tidak kebagian jatah kamar biasanya tidur sekadarnya di tempat-tempat umum yang lebih lapang, seperti makam, mushala, atau aula pondok.

Belum lagi tradisi joinan rokok dan kopi yang begitu kuat dalam membentuk keakraban para santri. Joinan seperti berbagi cawan sake antara Luffy, Sabo, dan Ace di serial One Piece. Tanpa joinan, mustahil ada ikatan persaudaraan. Ikatan persaudaraan ini dibawa sampai tua, sampai jadi debu nantinya.

Kehidupan komunal seperti itu nyaris mustahil bisa menerapkan protokol kesehatan, setidaknya jaga jarak. Apalagi para santri ini persis seperti yang digambarkan oleh Yuval N. Harrari, hidup dari gosip. Gimana caranya nggosip yang biasa sambil keplak-keplakan kok disuruh jaga jarak minimal dua meter?

Karena keplak-keplakan inilah anak pesantren dikenal dengan humornya. Kalau ada anak pondok yang tidak lucu, bisa jadi meleknya kurang pagi, ngeplaknya kurang sedap!

Tentang Hidup Bersih Sehat

Beberapa pengasuh pesantren menyatakan kegalauannya karena santri terlalu lama berada di luar pesantren. Apalagi pesantren para huffaz (penghafal Al-Quran) atau pesantren yang membebankan hafalan—seperti Alfiyyah, Hadits Arba’in Nawawi, Jauharul Maknun, dll—kepada para santrinya. Kelamaan berada di rumah biasanya membuat hafalan rontok.

Di pesantren, kami diajari bahwa berbuat maksiat mengakibatkan lupa hafalan. Di rumah, karena jauh dari mata sipir pesantren, potensi maksiat ini terbuka lebar. Mulai dari mu’asyaroh (baca: pacaran) sampai menyaksikan hal-hal yang tak diinginkan melalui gadget.

Singkat kata, pondok pesantren menyatakan diri harus segera beraktivitas kembali!

Saya mendapat cerita beberapa pengasuh mulai menggunakan pendekatan spiritual dalam menghadapi Covid-19. Bagi orang luar pesantren, cara ini mungkin terkesan aneh. Tapi bagi para santri, terutama santri di pesantren salaf (tradisional) hal ini sudah sangat biasa.

Begini…

Hampir semua pesantren salaf memiliki mitos bahwa santri yang sudah betah akan mengalami fase gudikan (scabies). Secara medis, scabies ini penyakit kulit menular. Pernah satu waktu di acara sosialisasi hidup bersih sehat, saya terlibat perdebatan kecil dengan dokter yang menyinggung gudikan di pesantren.

Sang dokter mengatakan bahwa scabies ini bisa menulari santri berkali-kali selama santri sering bertukar pakaian. Kalau orang yang terkena scabies menyentuh pintu, akan ada bakteri yang tertinggal di sana. Jika seseorang menyentuh bekas tersebut, ya dia akan tertular.

Namun sudah menjadi fenomena umum bahwa seorang santri mengalami gudikan hanya sekali seumur hidup. Di pesantren saya yang makannya saja menggunakan nampan—satu nampan diisi oleh 5-7 orang—tidak pernah ada kejadian santri senior gudikan lagi, meski makan bareng santri yang sedang gudikan. Padahal kami terbiasa makan berkuah. Itu bakteri bukan hanya nempel, tapi juga berenang.

Nah, kami percaya bahwa ini ada andil kekuatan supranatural yang dimiliki para Kiai. Berkat doanyalah kami para santri mengalami hal-hal di luar nalar medis. Makanya, setiap kiai selesai mengaji, air minum sisa akan jadi rebutan para santri. Kami tak peduli meski dengan mata telanjang kami melihat kiai batuk-batuk saat minum.

‘Yang penting barokah!’

Pun, ketika ada warga desa yang tidak punya biaya berobat, biasanya mereka akan pergi sowan ke rumah kiai untuk meminta doa. Sang kiai akan berdoa, meniupkannya ke botol berisi air, dan air itulah obat dari segala penyakit. Percaya tidak percaya, cara itu manjur.

Nah, sebagian sudah mulai menyamakan Covid-19 dengan gudikan tadi.

Tentu saya tidak bermaksud menentang para pakar epidemolog dan ahli medis yang sedang berjuang melawan Covid-19 dengan caranya. Saya hanya menceritakan sebagian local wisdom yang ada dan dipercaya di bilik-bilik ‘penjara suci’ itu.

Pesantren-pesantren besar di berbagai wilayah di Indonesia mulai memasuki tahun ajaran barunya. Di antara pesantren ini memiliki ribuan santri yang akan menjalani kehidupan komunalnya. Meski Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren) PBNU menghimbau pesantren untuk menerapkan protokol kesehatan, belajar dari pengalaman pribadi, hal itu tentu tidak akan mudah.

Kami yang terbiasa satu sabun batang dipakai berlima, kami yang terbiasa wudhu di kolam yang sama, tidak akan semudah itu menerapkan protokol kesehatan. Ini baru di soal kebersihan yang paling umum.

Sementara pernik-pernik lain seperti harus ganti masker sehari sekali, membayangkan saja tidak berani. Sementara APD seperti celana dalam saja jarang dipakai santri, apalagi benda asing seperti masker? Berapa banyak kasus ghasab (pinjam tanpa izin) terjadi apabila santri diwajibkan bermasker?

Tapi semoga saja kekhawatiran saya tidak terbukti. Saya ber-husnuzan pesantren sekarang lebih aware soal kesehatan, sehingga punya cara untuk menerapkan protokol pencegahan Covid-19 secara baik. Karena bagaimana pun, sebagai alumnus pesantren, saya tidak ingin ada cluster baru yang berasal dari pesantren.

Wallahua’lam. [rf]