Mungkin tidak banyak yang tahu kiprah Ibu Sinta Nuriyah sebagai sosok aktivis dan ulama perempuan yang begitu haus akan ilmu pengetahuan. Hal itu dibuktikan ketika hari ini (18/12) UIN Sunan Kalijaga menganugerahkan gelar kehormatan Doktor Honoris Causa kepada Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid atas jasa-jasa beliau selama ini dalam mengembangkan keilmuwan Islam sebagai spirit untuk kesetaraan dan menemani mereka yang dianggap marjinal. Anugerah ini diberikan oleh Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tim promotor yang diketuai oleh Prof. Emma Marhumah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga.
Ibu Sinta menyampaikan pidato ilmiah bertajuk INKLUSI DALAM SOLIDARITAS KEMANUSIAAN: Pengalaman Spiritualitas Perempuan dalam Kebhinekaan. Hal Ini tidak lain berdasarkan jejak perjuangan Ibu Sinta selama ini di bidang pemberdayaan perempuan dan merangkul kelompok marginal dan disabilitas. Selain kepeduliannya kepada perempuan, Ibu Sinta juga memiliki keterbatasan secara fisik.
Pada tahun 1992, Ibu Sinta mengalami kecelakaan mobil yang melumpuhkan separuh tubuhnya. Ia menjalani terapi fisik selama satu tahun agar dapat menggerakkan lengannya. Sewaktu melanjutkan S2 di Bidang Kajian Perempuan Universitas Indonesia. Demi mengikuti perkuliahan, Ibu Sinta ditandu oleh para asistennya menuju kelasnya di lantai empat.
Ibu Sinta merintis jejak perjuangannya sejak puluhan tahun silam. Bersama Gus Dur yang aktif di pergerakan dan aktivisme, Bu Sinta juga aktif di gerakan perempuan dan pemberdayaan kaum marginal melalui Yayasan Puan Amal Hayati yang beliau dirikan sejak tahun 2000.
Gagasan-gagasan feminisme yang disuarakan oleh Bu Sinta tidak mutlak dari paradigma modern. Justru banyak gagasannya yang berangkat dari khazanah keilmuan Islam tradisional. Beliau memulai pendidikannya dari Sekolah Rakyat Jombang, Madrasah Muallimat Bahrul Ulum Tambakberas Jombang, kemudian berlanjut meraih gelar Doktoranda (Dra.) di Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga.
Begitu pula karya yang beliau tuliskan, tidak lepas dari khazanah kitab kuning pesantren. Di antara buku yang beliau tulis adalah Kembang Setaman Perkawinan (Syarah Kritis atas Kitab ‘Uqud al-Lujayn fi Huquq al-Zaujain). Kitab ini merupakan telaah kritis atas Kitab Uqud al-Lujain karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Ibu Sinta memberi alternatif pemahaman tentang hubungan dan pemenuhan hak-hak suami-istri yang lebih setara dan kontekstual.
Sepeninggal Gus Dur pada tahun 2009, Bu Sinta masih tetap aktif mendampingi masyarakat akar rumput untuk menyuarakan pentingnya persaudaraan antar umat manusia. Beberapa aktivitasnya antara lain melalui inisiatif Sahur dan Buka bersama masyarakat, yang membuatnya berkeliling ke banyak kota di seluruh Indonesia. Inisiatif ini dikemas dengan cara unik.
Sahur dan berbuka yang identik dengan ritual puasa Ramadhan, dijadikan ruang pertemuan bersama seluruh warga negara, dan diikuti oleh warga seluruh agama. Sebab itu tidak jarang mendapatkan penolakan, sampai kecaman dari kelompok Islam ekstrem. Namun, Ibu Sinta tetap berkomitmen untuk melanjutkan inisiatif ini sampai sekarang, dan sudah berjalan lebih dari 20 tahun.
Melalui inisiatif ini, Ibu Sinta mengedepankan pendekatan feminitas, yang berupa menghindari konflik dan kekerasan, mengutamakan kelembutan dan kemauan yang tinggi dari ssosok seorang Ibu untuk mendengarkan.
Dalam kesempatan anugerah tadi, Prof Mahfud MD menyambut penganugerahan ini dengan begitu antusias. Bagi Mahfud dalam sambutannya, penganugerahan Bu Sinta ini menunjukkan pentingnya inklusivisme Islam, mengingat sosok Ibu Sinta sebagai produk pesantren asli.
Masih menurut Mahfud MD, politik inklusivisme mulanya digagas oleh KH. Wahid Hasyim. Umat Islam didorong untuk mengakses pendidikan sekuler-modern, sehingga bisa ikut dalam kontestasi mengambil peran kenegaraan. Inklusivisme ini dimaknai sebagai kebauran sebagai warga negara. Perbedaan harus dianggap sebagai fitrah dari Tuhan dan sebagai ruang kontestasi secara alamiah.
Dulu tidak terbayangkan seorang perempuan mampu meraih gelar Doktor dan berkarya di luar rumah tangga. Islam pernah dianggap kampungan, akibat politik isolasi masa penjajah, dan represi Orde Baru. Sampai tahun 1980an jilbab masih asing di kantor2 resmi pemerintahan.
Pendekatan inklusivisme KH. Wahid Hasyim ini dilanjutkan Gus Dur, dan tentunya juga Ibu Sinta Nuriyah. Dengan pendekatan inklusivisme, umat Islam akan dengan sendirinya naik pada mobilitas sosial secara vertikal dan mengambil peran di banyak wilayah dalam membangun bangsa.
Ketika Islam mengedepankan inklusivisme, Islam bisa berkontestasi secara alamiah dan memberi ruang lebar bagi kelompok yang selama ini terkendala keterbatasan. Termasuk munculnya tokoh-tokoh perempuan lain dan disabilitas yang berada dalam dirinya, seperti yang melekat pada diri Ibu Sinta.
Penghargaan Doktor kepada Ibu Sinta adalah inspirasi. Di usianya yang tak lagi muda, Ibu Sinta masih aktif berjuang, memberdayakan masyarakat, dan terus meraih pencapaian baru dalam bidang pengetahuan. Ibu Sinta adalah role model Muslimah Indonesia.