Gus Dur pernah menulis satu kolom berjudul “Lalu Mereka Membuat Surau”. Kurang tahu kapan pastinya tulisan itu lahir, yang jelas tulisan itu terdapat di buku Tuhan Tidak Perlu Dibela. Beberapa dasawarsa kemudan, tepatnya kemarin sore, teman-teman Santri Gus Dur mengangkat tulisan ini jadi topik diskusi mingguan.
Tulisan tersebut singkat, sederhana, bahkan ada yang bilang tulisan remeh. Tidak seperti tulisan lain yang menampakkan sisi intelektual Gus Dur, tulisan ini cukup santai, dengan Bahasa yang sederhana dan storytelling yang kuat. Khas Gus Dur.
Melalui tulisan tersebut Gus Dur berbagi pandangannya tentang corak keberislaman diaspora pelajar (atau sarjana) Muslim Indonesia yang menetap di Eropa, khususnya Belanda. Beberapa di antara mereka bahkan punya kemampuan ilmu agama yang cukup mumpuni, yang membuat “layak di-kiai-kan” di rantau.
Hidup di rantau jelas tidak gampang. Identitas keindonesiaan saja kadang tidak banyak menolong karena banyak sebab. Sehingga kemudian identitas yang dipilih adalah ‘perjuangan Islam’, atau kerja dakwah di negeri orang. Perjuangan dakwah ini lalu mewujud dalam berbagai bentuk, antara lain upaya iuran untuk membuat mushola (surau, yang dijadikan judul oleh Gus Dur) di negeri orang. Gus Dur mengistilahkan perjuangan ini sebagai satu ‘kiprah yang indah’, sebagaimana kiprah rakyat kecil kebanyakan.
Nuansa yang dituturkan Gus Dur justru mengingatkan saya tentang tesis Olivier Roy di tahun 2000an, Globalized Islam. Tesis ini menggarisbawahi realita bahwa sepertiga Muslim di dunia ini hidup sebagai migran minoritas, yang tercabut dari tanah airnya. Sama halnya Gus Dur, Roy mengindikasikan munculnya semangat perjuangan Islam di kalangan Muslim minoritas ini sebagai bagian dari efek globalisme. Perjuangan Islam ini lah yang menghasilkan gerakan-gerakan Islamis dan neo-fundamentalis dengan segala spektrumnya.
Kiranya cukup jelas posisi Gus Dur dalam memandang diaspora Muslim Indonesia ini. Jika Roy banyak mengamati dari aspek ideologis-politis diaspora Muslim dalam konteks globalisme, dalam hal ini Gus Dur setia di garis tradisi. Tradisi, dengan pengalaman dan daya tahan selama berabad-abad tidak lantas lekang digerus globalisme atau kehidupan bermasyarakat di Barat.
Mungkin aspek seperti ini yang banyak disebut sebagai “glokalisasi”, yang sependek pemahaman saya berarti lokalitas yang masih bertahan dan berkelindan dengan globalisme.
Sederhananya seperti ungkapan masyhur Hamengkubuwana IX, “Setinggi-tinginya aku sekolah di Belanda, toh aku masih orang Jawa”. Atau dengan kata lain, Gus Dur berpesan “Setinggi-tinginya kalian dapat beasiswa dan bisa kuliah Ph.D mentereng di Eropa, toh kalian akan selalu nyaman sarungan dan Tahlilan”.
Bicara tentang diaspora, jelas ada aspek yang tidak dibahas Gus Dur maupun Roy. Yakni diaspora buruh migran Indonesia di berbagai negara yang sering disebut TKI baik di sektor formal atau non formal.
Coba sesekali anda cek video pengajian Anwar Zahid, Habib Syech atau penceramah lain di YouTube. Tidak akan sulit menemukan kiriman kekangenan para diaspora TKI kolom komentar. Tidak hanya di dunia maya, kerinduan ini pun mewujud jadi majelis pengajian dalam rangka ‘perjuangan Islam di negeri orang’ yang disebut Gus Dur tadi. Majelis pengajian TKI di luar negeri juga menjadi ceruk pasar tersendiri bagi penceramah Indonesia yang sedang naik daun. Belum lagi menyebut inisiasi pembentukan cabang ormas-ormas Islam Indonesia di luar negeri seperti cabang-cabang istimewa yang dimiliki NU.
Daerah asal saya, Kendal, merupakan daerah pemasok TKI yang cukup tinggi. Ketika kemampuan sedekah penduduk sekitar sudah mencapai titik jenuh, keberlangsungan pembangunan masjid sangat bergantung dari kedermawanan tetangga sekitar yang memilih bekerja di rantau. Dan kedermawanan ini tidak hanya sekali dua kali. Banyak TKI yang menyisihkan penghasilannya lantas dikirim secara rutin ke Kiai di kampung yang mereka percaya, untuk ditasharufkan ke madrasah diniyyah yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.
“Perjuangan Islam” ala diaspora TKI saya rasa tidak kalah dengan “perjuangan Islam” ala diaspora kalangan terpelajar Indonesia. Malah dalam beberapa hal lebih konkret dan bisa dirasakan maslahatnya oleh komunitasnya di kampung halaman.
Kiprah yang seperti ini tak kalah indah. Seindah semua kiprah rakyat kecil.