Pada akhir tahun 628 atau tahun ke-6 hijriyah, posisi nabi Muhammad di Madinah semakin kuat sebagai pempimpin. Meski demikian, mengingat nabi masih dicap sebagai musuh Mekah oleh suku Quraisy, beliau belum bisa leluasa untuk bepergian ke Mekah. Namun ada beberapa kelompok suku Quraisy bersikap lunak, yang lelah terhadap peperangan. Bahkan ada opini yang berkembang jika Mekah bisa berdamai dengan musuhnya (Madinah) akan sangat menguntungkan dari segi perniagaan (Taufik Adnan Amal, 2013).
Mendengar kondisi tersebut, nabi berinisiatif berkunjung ke Mekah umrah. Ia mengajak serta pengikutnya menuju ke Madinah tahun itu juga, 628 Masehi. Beberapa sumber menyebut rombongan nabi saat itu berjumlah 1400 orang, meskipun juga ada yang menyebut 1300, 1600 dan 1800. Ketika rombongan mendekati Mekah, pasukan Quraisy keluar dan bermaksud menghadang. Mendengar berita itu, nabi memutuskan berhenti dan berkemah di wilayah Hudaibiyah. Nabi menghindari bentrokan dengan mengirim Utsman bin Affan sebagai delegasi Muslim untuk bernegosiasi.
Ketika tidak ada kabar tentang Utsman, muncul desas-desus kalau bahwa Utsman dibunuh di sana. Merespon hal tersebut, nabi mengumpulkan pengikutnya dan meminta mereka untuk bersumpah setia memerangi kaum Quraisy. Mendengar itu, kaum Quraisy melepas Utsman. Tak hanya itu mereka juga setuju untuk berunding. Rasulullah sendiri hadir dalam perundingan tersebut dengan menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai sekretaris delegasi Muslim. Sementara delegasi dari Quraisy dipimpim Suhail bin Amr. Setelah melalui proses diskusi dan negosiasi panjang dan menegangkan, akhirnya kedua belah pihak menyepakati dan menandatangi kesepakatan damai yang terkenal dengan Perjanjian Hudaibiyah, pada bulan Dzulqodah tahun ke enam hijriyah (628 M). Hudaibiyah diambil sebagai nama perjanjian, merujuk sebagai tempat penadatanganan perjanjian.
Adapun isi dari Perjanjian Hudaibiyah adalah sebagai berikut:
- Kedua belah pihak setuju untuk mengadakan gencatan senjata
- Barang siapa dari kaum Quraisy yang tidak seizin walinya menyeberang ke pihak Rasulullah, maka ia harus dikembalikan kepada mereka.
- Barang siapa dari pengikut Rasulullah menyeberang ke pihak Quraisy, ia tidak akan dikembalikan kepada Rasulullah saw.
- Barang siapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Rasulullah diperbolehkan, dan barang siapa dari masyarakat Arab di luar perjanjian mengadakan persekutuan dengan Quraisy diperbolehkan
- Nabi dan kaum Muslim harus kembali ke Madinah dengan ketentuan akan kembali ke Mekah pada tahun berikutnya dengan syarat mereka tinggal selama tiga hari di Mekah dan senjata yang dapat mereka bawa adalah pedang yang tersarung.
Paska penandatangan perjanjian, nabi mencium aroma kekecewaan sebagian sahabat atas strategi perjuangan melalui perjanjian yang digambarkan seperti kalah sebelum berperang. Salah satu konsekuensinya diantaranya adalah umat Muslim harus menunda umrah-nya samapai setahun mendatang. Nabi sendiri menyadari bahwa konsekuensi dari strateginya tersebut bisa memicu kekecewaan dan juga perpecahan di kalangan muslim sendiri. Di tengah situasi tersebut, turunlah firman Allah dalam surat al-Fath ayat 1-3, “Sesungguhnya telah Kami bukakan kemenangan yang nyata kepadamu.Karena Allah akan memberi ampunan kepadamu terhadap dosa-dosamu yang telah lalu dan yang akan datang, dan akan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memberi petunjuk kepadamu jalan yang lurus. Dan Allah akan menolong kamu dengan pertolongan yang kuat”.
Seketika Nabi menyampikan ayat tersebut kepada Umar bin Khattab dan para sahabat yang sedari awal belum seratus persen menerima perjanjian. Oleh karenanya ketika mendengar ayat tersebut, Umar bin Khattab langsung bertanya kepada nabi Muhammad, “Ya Rasulullah, apakah perjanjian tersebut merupakan suatu kemenangan?”. Dengan tegas beliau menjawab “Ya”. Barulah kemudian Umar bin Khattab dan para sahabat legowo menerima perjanjian Hudaibiyah untuk dipatuhi.
Setahun berlalu paska perjanjian, umat Muslim Madinah mendapat kebebasan beribadah haji maupun umrah di Mekah. Itu artinya sebuah kemenangan diplomatik yang menegaskan pengakuan hak beragama Islam di jazirah Arab, tanpa tekanan dengan peperangan atau kekerasan. Tidak hanya itu, perjanjian ini telah membuka akses kaum Muslim untuk mengembangkan syiar agama Islam tanpa tekanan dari kaum Quraisy.