Sudah sepuluh tahun Nabi Muhammad Saw berdakwah, menyampaikan agama Allah di kota Mekkah, tempat kelahiran yang sangat beliau cintai. Berbagai cara telah dilakukan, mulai dari sembunyi-sembunyi hingga terang-terangan, namun tiada tanda-tanda keberhasilan dakwah Sang Rasul kecuali hanya sedikit saja di antara penduduk Mekkah yang memeluk agama Islam. Sebaliknya, perlawanan kaum Quraisy Mekkah semakin merajalela. Tidak hanya menghalangi-halangi langkah dakwah Rasul, mereka juga mengejek, menghasut, dan menjelek-jelekkan Nabi Muhammad di depan atau di belakang beliau.
Tidak sampai di situ, karena tidak terima jika Nabi yang telah diramalkan di dalam kitab-kitab terdahulu itu ternyata mengusung perombakan struktur sosial, mereka menghalangi-halangi para penduduk Mekkah untuk beriman kepada Allah dan Nabi Muhammad. Mereka bahkan menyiksa dan mengancam hidup orang-orang yang menyatakan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Kaum Quraisy Mekkah pun merasa bahwa mereka sudah hampir mencapai kemenangan.
Situasi ini menimbulkan resah dan gelisah di ruang hati Sang Nabi. Sebagai orang yang sangat mencintai umatnya beliau pun merasa sedih dan serba salah, menyebarkan pesan-pesan Allah adalah tanggungjawab tapi resikonya mengorbankan keselamatan banyak pengikutnya. Maka seperti nabi-nabi sebelumnya Nabi Muhammad pun mengadukan perihal ini kepada Tuhan dan Allah dengan segera menjawab keluh-kesah kekasih-Nya. Dengan sifat kebijaksanaan-Nya Allah pun menurunkan wahyu, mengisyaratkan akan kemenangan yang akan dicapai umat Islam:
“Apakah mereka (kaum kafir Makkah) berkata, ‘Kami adalah kelompok yang menang?’ Kelompok mereka itu akan dihancurkan, dan mereka lari terbirit-birit. Sunguh, Saatnya akan datang sebagai janji kepada mereka, dan Saat itu akan sangat menyedihkan dan sangat pahit (bagi mereka).” (QS. al-Qamar: 44-46).
Bahkan ada isyarat dari al-Qur’an bahwa Nabi akan pergi dari kota tempat kelahiran yang amat dicintainya, yaitu Makkah, namun akan kembali dengan penuh kemenangan, dengan izin Allah:
“Sesungguhnya Dia (Allah) yang telah menjadikan ajaran al-Qur’an sebagai panggilan kewajiban atas engkau (Muhammad) tentulah akan mengembalikan engkau ke tempat asalmu (Makkah).” (QS. al-Qashash:85).
Selain itu, ada pula isyarat Allah yang menarik untuk dikaji. Allah berfirman:
“Bangsa Romawi telah dikalahkan. Di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa saat lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Rum: 2-4)
Telah menjadi kabar yang umum beredar di kalangan para ahli sejarah muslim bahwa bangsa Romawi adalah bangsa yang berperadaban sangat maju serta memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Adapun bangsa Arab, bangsanya Muhammad Saw, saat itu hanyalah para penonton kecil di tengah persaingan antara peradaban bangsa Romawi dan Persia.
Allah mengabarkan bahwa orang-orang yang beriman akan mendapat kemenangan layaknya orang-orang Romawi yang sempat jatuh namun Allah memastikan mereka akan berjaya lagi. Bangsa Romawi bisa bangkit, maka umat Muhammad pun bisa bangkit. Hanya saja, untuk meraih kemenangan itu umat haruslah bersabar. Para ulama pernah berujar bahwa sabar adalah menunda kesenangan saat sekarang untuk kebahagiaan yang lebih besar pada saatnya kelak. Para ulama seperti Imam al-Ghazali juga menyebut sabar dalam Ihya-nya adalah terhindarnya manusia dari perbuatan maksiat saat ia sedang berada dalam musibah. Dengan demikian, bersabar mengandung unsur kesadaran, kecermatan, ketelitian dan rencana yang matang untuk mengatasi berbagai masalah serta mencari letak penyebab kekeliruan, memperbaikinya, dan mengambil langkah-langkah tepat lagi cermat untuk bangkit lagi. Sabar bukanlah berdiam diri dan hanya menerima kemalangan apa adanya, tetapi juga berusaha untuk bangkit dengan cara-cara yang baik, cermat, dan tepat.
Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad Saw sehingga isyarat-isyarat Allah dalam al-Qur`an itu memang benar-benar terjadi. Tak lama setelah itu Nabi beserta para pengikutnya dengan petunjuk Allah Swt melakukan migrasi besar-besaran, bukan untuk mundur dari pertarungan, melainkan mengatur kembali strategi dan merencanakan dengan baik langkah-langkah apa yang keliru dan harus diperbaiki serta langkah-langkah baru bagaimana yang harus dilakukan agar agama Allah mencapai kemenangannya.
Pilihan jatuh kepada kota Yatsrib, atau yang kita kenal sekarang dengan kota Madinah, kota yang masyarakatnya lebih cerdas, lebih berfikiran terbuka sehingga bisa menerima kehadiran Nabi yang dirindukan itu, kota yang masyarakatnya terdiri dari berbagai macam latar belakang ras, suku, bangsa, dan agama, namun hidup berdampingan dengan rukun, kota yang sangat berbeda dengan Mekkah yang masyarakatnya tak beragam, sehingga sulit melepaskan diri dari sifat kesukuan dan ketertutupan diri.
Menurut para cendekiawan kita, orang yang terbiasa hidup di lingkungan masyarakat yang berbeda latar belakang dan golongan akan mudah bertoleransi dan menerima perbedaan, sebaliknya orang yang hidup di tengah masyarakat yang sewarna akan sulit menerima perbedaan dan selalu merasa bahwa golongannyalah yang paling benar. Karena itu wajarlah jika Allah dan Rasul-Nya menyuruh kita untuk memperluas pergaulan, menjalin silaturrahim kepada siapa saja dan menghukumi dosa orang yang tak memutus tali silaturrahim. Tujuannya adalah agar kita mampu menerima perbedaan yang sudah menjadi takdir Allah itu. Lalu dalam perbedaan kita saling bekerjasama, gotong-royong, kayuh baimbai, membangun masyarakat kita.
Inilah yang disebut dengan masyarakat madani, masyarakat yang serupa dengan masyarakat kota Madinah. Dengan sifat masyarakat Madinah yang demikian itu Nabi Muhammad Saw menjadi inspirasi bagi terciptanya peradaban besar Islam yang tercatat dalam sejarah dunia.
Umat Islam di Yatsrib, yang kemudian namanya diganti Rasulullah menjadi Madinah itu, setelah hanya dalam beberapa tahun membangun basis masyarakat yang makmur dan sentosa, akhirnya menaklukkan Mekkah dalam sebuah peristiwa yang disebut fath al-Makkah dan Nabi Muhammad pun dengan penuh kebahagiaan sembari memuji-muji Allah dan beristighfar kepada-Nya kembali ke kampung halamannya yang ia cintai. Peristiwa ini tercatat dalam al-Qur`an:
“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan penuh kejayaan. Maka bertasbihlah memuji Tuhanmu dan beristighfarlah. Sesungguhnya Ia Maha Pemberi Taubat.” (QS.al-Nashr: 1-3)
Inilah ringkasan cerita Hijrah yang keagungannya dibuatkan sebuah monumen oleh Umar ibn Khaththab, agar kita selalu ingat dan mengambil pelajaran darinya, dalam bentuk sebuah penanggalan yang kita gunakan saat ini, yakni kalender hijriyah.