Menurut Prof. Azyumardi Azra dalam pengantar buku Politik Kelas Menengah Muslim karya Wasisto Raharjo Jati (2017), jumlah kelas menengah mencapai lebih dari 50 persen, yang notabene secara nasional jumlah penduduk yang beragama Islam mencapai 88%. Artinya adalah dari besaran jumlah kelas menengah tersebut adalah kaum muslim.
Dalam buku tersebut, Wasisto juga menyoal tentang perilaku keberagamaan kelas menengah muslim tanah air yang mempunyai kecenderungan keberislaman yang simbolik dan instan. Kecenderungan yang demikian tersebut merupakan sebuah tantangan dan berpotensi membawa malapetaka bagi masa depan kehidupan keberagaman kita. Dengan pola beragama yang cenderung simbolis tersebut berdampak pada rendahnya kemampuan literasi media kita. Dimana mereka kurang selektif terhadap segala informasi yang berseliweran di sekitarnya.
Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama yang digelar oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’ (PBNU) di Lombok, Nusa Tenggara Barat kemarin (23-26/11). Dalam agendanya itu, salah satu yang menjadi pembahasan adalah tentang ujaran kebencian atau hate speech. Dalam bahtsul masailnya, ulama NU sepakat bahwa haram hukumnya melakukan hate speech. Sebagaimana diketahui, bahwa belakangan ini dunia media sosial dipenuhi berita hoax dan ujaran kebencian.
Perilaku ujaran kebencian memang menjadi fenomena yang perlu diperhatikan, terutama berkaitan dengan kelas menengah muslim. Secara kuantitas jumlah kelas menengah cukup besar, dan kelas menengahlah yang mampu menjangkau akses teknologi dan informasi. Penggunaan teknologi dan informasi ini, yang dalam bentuk media sosial, belakangan memang telah menjadi tempat tumbuh suburnya perilaku ujaran kebencian.
Dalam menggunakan media sosial atau lebih populer dengan sebutan medsos, membutuhkan sebuah kearifan dan ‘unggah-ungguh‘ tersendiri. Hal ini bukan dimaksudkan untuk menghambat kebebasan dan hak seseorang dalam menggunakan akses privatnya. Tetapi agar saling menghargai pengguna medsos yang lain. Mengapa penting memperhatikan demikian? Karena faktanya, sering terjadi saling serang secara personal, fitnah, dan bentuk ujaran kebencian yang berbau SARA tanpa ada pertanggungjawaban dari si pengguna.
Fakta yang muram seperti ini menjadi tantangan tersendiri bagi masa depan keberagamaan kita, terutama bagi kelas menengah muslim, yang mana merekalah yang menjadi pemain utama dalam dunia medsos kita. Pola perilaku ujaran kebencian tersebut harus segera ditinggalkan.
Kalau selama ini perilaku ujaran kebencian ini dimulai dengan tuduhan terhadap mereka baik personal ataupun kelompok secara negatif yang tidak berdasarkan bukti yang benar atau bisa dikatakan sebagai fitnah. Yang menjadi tantangan adalah harus merubah pola itu dan menggantinya dengan pembiasaan perilaku yang beradab, yaitu dengan kritik yang bertanggung jawab. Tidak sembarangan menghujat orang lain tanpa bukti.
Etika yang relevan untuk digunakan dalam kehidupan medsos kita adalah etika ilmiah ilmu pengetahuan. Sebuah etika kritik yang berbasis fakta, objektif dan bertanggungjawab. Selain kritik, juga perlu untuk secara seksama siap untuk mendengarkan pendapat orang lain. Kita tidak terburu-buru untuk menyerang seseorang tanpa adanya tabayun terlebih dahulu.
Etika kritik yang mengarah kepada etika ilmiah ini penting. Selain untuk meminimalisir perilaku fitnah dan ujaran kebencian, diperlukan juga pembentukan budaya ilmiah dikalangan umat. Tentunya kita semua mendambakan kebangkitan peradaban ilmu pengetahuan Islam, syaratnya adalah bernalar saintifik. Sebagaimana tradisi yang pernah dipraktikkan pada zaman Ibn Rusd, Ibnu Sina dan zaman keemasan Islam pada saat itu. Wallahhu a’lam.
M. Fakhru Riza, penulis adalah pegiat literasi di Islami Institute Jogja.