Keutamaan Hari Jumat: Sebuah Tinjauan (Agak) Sosiologis

Keutamaan Hari Jumat: Sebuah Tinjauan (Agak) Sosiologis

Keutamaan hari Jumat tidak sekedar salat dan seberapa penuh Masjid, namun di sisi lain, juga menghadirkan resepsi yang berbeda-beda.

Keutamaan Hari Jumat: Sebuah Tinjauan (Agak) Sosiologis

Ada banyak alasan bagi masyarakat Muslim untuk merindukan hari Jumat. Bagi kebanyakan “Budak Korporat”  (istilah populer di media sosial untuk menyebut mereka yang bekerja di kantor), tidak ada hari yang begitu dirindukan seperti Jumat selain akhir pekan. Bagaimana tidak, menurut mereka, hari Jumat adalah awal akhir pekan atau hari libur.

Di tengah tekanan kerja yang sangat kompetitif dan dibombardir dengan berbagai deadline yang tidak rasional, hari Jumat seakan membuka asa bagi “Budak Korporat” tersebut untuk melepaskan sejenak kepenatan dan beban kerja selama hari kerja.

Jika kita pergi ke berbagai pelayanan publik yang dijalankan oleh Negara, maka Jumat bisa jadi menghadirkan kerumitan sendiri. Bagaimana tidak, para ASN biasanya mengisi pagi hari Jumat dengan olahraga, sehingga pelayanan publik sedikit banyak tertunda. Walaupun, hari ini sudah banyak perbaikan terkait ini.

Namun, tidak berhenti di sana, masa istirahat bagi para ASN untuk menunaikan salat Jumat yang cukup panjang juga memperpendek masa aktif pelayanan publik kita. Tapi, selain waktu istirahat yang panjang, apa yang membuat kita merindukan hari jumat?

Pertanyaan di atas mungkin sekali dianggap merendahkan keistimewaan hari Jumat dari sudut pandang agama, khususnya Islam. Sebelum kita jadi emosi jiwa atau udah kriting jari gara-gara menulis rasa dongkol kita, sebaiknya kita benar-benar membuka diri atau pandangan dalam mengulas hari yang disebut sebagai “Sayyidul Ayyam” tersebut, khususnya dari beragam hal yang terjadi di sekitar kita pada hari tersebut.

Sebab, wacana agama tidak hanya satu-satunya atau utama yang terjadi di sepanjang hari Jumat. Ada banyak hal yang berkelindan dengan wacana agama terkait hari Jumat.

Jumat, sepertinya, memiliki warna tersendiri bagi sebagian besar masyarakat muslim, baik di kota atau pedesaan. Sewaktu masih di pondok pesantren, saya senang sekali jika menghadapi hari Jumat. Hari Jumat menjanjikan makan enak. Sebab, masyarakat kota Marabahan sering sekali mengadakan perjamuan bagi jemaah salat Jumat di masjid sekitar rumah mereka. Selain itu, makan siang pada hari Jumat di Pondok Pesantren itu kemungkinan besar itu lauknya enak.

Bukan hanya itu, jam pelajaran juga lebih sedikit dibanding hari-hari biasa. Tentu hal ini juga memberikan waktu istirahat yang panjang. Jumat, selain hari Sabtu, juga biasanya menjadi waktu bagi para santri untuk izin keluar dari wilayah pesantren.

“Cuci Mata” begitu kami melabeli momen keluar wilayah Pondok Pesantren tersebut. Jika bisa keluar wilayah pondok di hari Jumat, khususnya jika sebelum salat Jumat dilaksanakan, maka hal itu adalah berkah tersendiri bagi kami, karena bisa memilih rumah yang menyediakan makan enak selepas salat jumat.

Pengalaman saya dan fenomena di hari Jumat di atas mungkin tidak terjadi di hari-hari lain. Keutamaan hari Jumat dalam ajaran Islam adalah faktor cukup krusial dalam menghadirkan beragam ekspresi keberagamaan di hari tersebut.

Misalnya, dalam dua atau tiga tahun terakhir, lewat pantauan via media sosial, saya menjumpai banyak dari masyarakat Banjar berlomba-lomba memberikan sarapan pagi dan makan siang di sekitaran kota Banjarmasin. Biasanya, paket sarapan dan makan siang tersebut berisi nasi bungkus lengkap dengan air mineral ukuran gelas.

Kebangkitan kelas menengah muslim yang berkelindan dengan model kesalehan publik yang khas dari kelas sosial tersebut, telah mewarnai ragam ekspresi keberagamaan kita, termasuk soal hari Jumat. Lihat saja, sumbangan atau sedekah makanan di hari Jumat menjadi semakin massif dan menembus batas-batas wilayah pemukiman di sekitar rumah sang donatur.

Sebab, sebagian kelas menengah Muslim yang menjadi donatur atau penyumbang nasi bungkus tersebut, biasanya bermukim di model perumahan gated community, istilah yang merujuk pada bentuk komunitas perumahan yang berisi pintu masuk yang dikontrol secara ketat dan sering kali dicirikan oleh perimeter dinding dan pagar yang tertutup. Kondisi ini jelas tidak memungkinkan mereka untuk berbagi sarapan pagi atau makan siang dengan menu sederhana, sebagaimana yang dibagikan setiap hari Jumat.

Oleh sebab itu, mereka biasanya membagi-bagikan memakai mobil atau sepeda motor besar sembari keliling kota Banjarmasin. Bahkan, dalam pantauan saya lewat media sosial, kegiatan ini semakin massif sehingga setiap pagi banyak warga yang menunggu pembagian nasi bungkus, bahkan tidak sedikit mereka disebutkan menunggu sebelum salat Subuh.

Kisah-kisah di atas hanya secuil cerita yang ada di hari Jumat. Sebagai sesama masyarakat muslim saja mungkin memiliki cerita dan pengalaman yang berbeda-beda terkait hari Jumat. Memang, Jumat tak lagi sekedar hari yang bisa dilewati begitu saja. Ada banyak hal yang terjadi di dalamnya yang menjadi bagian dari keseharian masyarakat Muslim.

Apa yang terjadi di hari Jumat hanya sepotong cerita bagaimana Islam dalam keseharian muslim. Jumat tidak sekedar salat dan seberapa penuh Masjid, namun di sisi lain, juga menghadirkan resepsi yang berbeda-beda. Bahkan, di saat bersamaan, ada banyak irisan dengan dalam fenomena masyarakat Muslim menjalani hari Jumat yang turut mewarnai keberagamaan kita, dari resepsi, negosiasi, kontestasi, reinterpretasi, saling meminjam, hingga mendobrak tradisi di masa lalu. Bagaimana cerita hari Jumat anda?

Fatahallahu alaina futuh al-Arifin