Saat mengiringi para calon jemaah haji di titik embarkasi pemberangkatan, banyak yang mengucapkan: “Semoga menjadi haji yang mabrur ya.” Di sisi lain banyak pula para pengantar yang turut mendoakan agar senantiasa diberikan keselamatan dan kesehatan selama melaksanakan ibadah haji. Adapula yang hanya menangis terisak-isak sebab tak kuasa menahan kesedihan ditinggal oleh keluarga maupun handai tolannya yang lebih dulu menyempurnakan rukun Islam yang kelima tersebut.
Kendati “Haji mabrur” itu banyak diucapkan oleh banyak orang, lalu apa yang dimaksud dengan ungkapan ‘mabrur’ dalam konteks ibadah haji?
Berikut ulasan lebih lanjut terkait definisi dan ciri-ciri haji mabrur menurut tinjauan ulama fiqih dan hadis.
Definisi Haji Mabrur
Pelaksanaan ibadah haji yang mabrur tidak ada balasan yang layak baginya kecuali surga. Dari sahabat Jabir ibn ‘Abdillah Rasulullah Saw. bersabda:
الْحَجُّ الْمَبْرُوْرُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةَ، قِيْلَ: وَمَا بِرُّهُ؟ قَالَ: إِطْعَامُ الْطَّعَامِ وَطِيْبُ الْكَلاَمِ
Artinya: “Haji mabrur tidak ada balasannya kecuali surga. Dikatakan (kepada beliau): Apakah bentuk bakti dalam ibadah haji itu? Lantas beliau menjawab: Memberi makanan dan perkataan yang baik.” (H.R. Ahmad, At-Thabrani, Ibn Khuzaimah, Al-Baihaqi dan Al-Hakim)
Kata mabrur yang ditampilkan dalam hadis di atas memiliki ragam penafsiran ulama. Menurut pandangan pakar hadis terkemuka Syekh Ibn Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) haji mabrur diartikan dengan:
حَجٌ مَبْرُوْرٌ أَيْ مَقْبُوْلٌ … وَقِيْلَ الْمَبْرُوْرُ الَّذِيْ لَا يُخَالِطُهُ إِثْمٌ وَقِيْلَ الَّذِيْ لاَ رِيَاءَ فِيْهِ
Artinya: “Haji yang mabrur, maksudnya ibadah haji yang diterima ialah yang tidak tercampuri oleh perbuatan dosa dan tidak terdapat unsur riya (pamer) di dalamnya.” (Ahmad bin Ali bin Hajar Al-Asqalani, Fath Al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhori [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], vol. 2, h. 74)
Sedangkan Imam An-Nawawi (w. 676 H) memberikan penjelasan yang lebih lengkap dalam kitabnya Syarh An-Nawawi Ala Muslim:
الْأَصَحُّ الْأَشْهَرُ : أَنَّ الْمَبْرُوْرَ هُوَ الَّذِيْ لَا يُخَالِطُهُ إِثْمٌ مَأْخُوْذٌ مِنَ الْبِرِّ وَهُوَ الْطَّاعَةُ ، وَقِيْلَ : هُوَ الْمَقْبُوْلُ ، وَمِنْ عَلاَمَةِ الْقَبُوْلِ أَنْ يَرْجَعَ خَيْرًا مِمَّا كَانَ ، وَلاَ يُعَاوِدُ الْمَعَاصِيْ ، وَقِيْلَ : هُوَ الَّذِيْ لاَ رِيَاءَ فِيْهِ ، وَقِيْلَ : الَّذِيْ لاَ يُعَقِبُهُ مَعْصِيَةٌ ، وَهُمَا دَاخِلاَنِ فِيْمَا قَبْلَهُمَا
Artinya: “Menurut versi kaul paling sahih yang populer, haji mabrur ialah pelaksanaan ibadah haji yang tidak tercampuri oleh dosa, sebab diksi mabrur dikutip dari kata ‘al-birr’ yang berarti ketaatan. Menurut versi yang lain: Ialah pelaksanaan ibadah haji yang diterima di sisi Allah. Dan sebagian dari pertanda diterimanya ibadah haji ialah kembali kepada kebaikan dan tidak mengulangi perbuatan maksiat. Menurut versi yang lain ialah haji yang tidak terdapat unsur riya (pamer) di dalamnya. Ada juga pendapat yang menyebutkan bahwa haji mabnrur adalah haji yang setelahnya tidak melakukan kemaksiatan kembali. Dua pendapat ini masih termasuk dalam pernyataan ulama yang sebelumnya.” (Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarh An-Nawawi Ala Muslim [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], vol. 5, h. 101)
Tanda-Tanda Haji Mabrur
Mengenai pertanda haji mabrur, Syekh Badruddin Al-Aini (w. 855 H) dalam karya monumentalnya Umdah Al-Qari Syarh Sahih Al-Bukhori menyatakan:
وَمِنْ عَلاَمَاتِ الْقَبُوْلِ أَنَّهُ إِذَا رَجَعَ يَكُوْنُ حَالُهُ خَيْرًا مِنَ الْحَالِ الَّذِيْ قَبْلَهُ
Artinya: “Ciri-ciri orang yang ibadah hajinya diterima (mabrur) adalah haliyyah (tindakan) orang tersebut lebih baik dari sebelumnya, dan tidak melakukan perbuatan yang negatif.” (Badruddin Abi Muhammad Mahmud Al-Aini, Umdah Al-Qari Syarh Sahih Al-Bukhori [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], vol. 1, h. 299)
Pernyataan yang senada juga dikemukakan oleh Mufti Tarim Hadramaut Yaman Syekh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi (w. 1320 H) dalam kompilasi fatwanya beliau menegaskan bahwa kriteria ataupun pertanda haji seseorang itu mabrur ialah terdapat peningkatan dari segi kualitas akhlaknya (berakhlak mulia), tidak mendekati perbuatan dosa, memandang semua mahluk dengan sama rata dalam arti tidak saling merendahkan, justeru saling menghormati satu sama lain, dan tidak lagi memperebutkan harta dunia hingga akhir hayat:
فَائِدَةٌ : قَالَ الْخَوَاصُّ رَحِمَهُ اللهُ : مِنْ عَلَامَاتِ قَبُوْلِ حَجِّ الْعَبْدِ وَأَنَّهُ خَلَعَ عَلَيْهِ خُلْعَةُ الرِّضَا عَنْهُ أَنَّهُ يَرْجِعُ مِنَ الْحَجِّ وَهُوَ مُتَخَلِّقٌ بِالْأَخْلَاقِ الْمُحَمَّدِيَةِ ، لَا يَكَادُ يَقَعُ فِي ذَنْبٍ ، وَلَا يَرَى نَفْسَهُ عَلَى أَحَدٍ مِنْ خَلْقِ اللهِ ، وَلَا يُزَاحِمُ عَلَى شَيْءٍ مِنْ أُمُوْرِ الدُّنْيَا حَتَّى يَمُوْتُ
Artinya: “Faidah: Imam Al-Khowas berkata: Sebagian dari tanda-tanda diterimanya haji seseorang ialah ia telah menyandang atau memakai mahkota keridhoan, yaitu apabila ia kembali dari berhaji ia beretika dengan etika yang terpuji, tidak terjatuh dalam perbuatan dosa, tidak melihat dirinya sendiri lebih baik ketimbang lainnya sebagai sesama mahluk Allah, dan tidak memperebutkan sesuatu dari perkara dunia hingga akhir hayatnya.” (Abdurrahman bin Muhammad bin Husain Al-Masyhur, Bughyatul Mustarsyidin Fi Talkhis Fatawa Ba’dil Aimmah Minal Ulama Al-Mutaakhirin [Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah], h. 143)
Dari penjelasan di atas, ada beberapa tanda haji mabrur:
- Tindakannya lebih baik dari sebelum haji
- Terdapat peningkatan dari segi kualitas akhlaknya (berakhlak mulia)
- Tidak mendekati perbuatan dosa, apalagi melakukannya
- Memandang semua mahluk dengan sama rata dalam arti tidak saling merendahkan
Kesimpulan
Walhasil, dari ragam pendapat yang diutarakan oleh berbagai ulama fiqh maupun hadis diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa haji mabrur ialah pelaksanaan ibadah haji yang diterima disisi Allah serta tidak mengandung unsur-unsur yang tercela didalamnya seperti maksiat, pamer, dengki dan lain sebagainya baik saat maupun setelah pelaksanaannya. Adapun pertanda ibadah hajinya seseorang diterima (mabrur) adalah haliyyah (tindakan) orang tersebut lebih baik dari sebelumnya, entah itu dari segi kualitas ibadah maupun akhlaknya serta tidak melakukan kembali perbuatan-perbuatan yang cenderung dianggap jelek atau negatif menurut pandangan syariat. Wallahu a’lam bis shawab.
(AN)