Pergumulan Iman-Nalar (Bag.1)

Pergumulan Iman-Nalar (Bag.1)

Pergumulan Iman-Nalar (Bag.1)

Sebelum memperoleh pencerahan sekali pun, seseorang akan mengetahui bahwa segala sesuatu bisa membuktikan keberadaan Tuhan. Namun, naluri fitriah ini akan hilang ketika ia mulai berbaur dengan masyarakat yang korup, karena urusan duniawi telah mencegahnya untuk mengarungi samudra wawasan tak terpermanai. (al-Ghazali)

Kita telah membangun sebuah peradaban yang di dalamnya elemen-elemen terpenting sangat bergantung pada sains dan teknologi. Kita juga telah menyusun segalanya, hingga hampir tidak ada orang yang bisa memahami hakikat sains dan teknologi. Inilah jalan menuju bencana. Kita mungkin bisa hidup dengan itu semua untuk sementara waktu, tetapi cepat atau lambat campuran ketidaktahuan dan kekuasaan yang mudah terbakar ini akan meledak di wajah kita. (Carl Sagan)

“APA Islam menolak teori Darwin?” tanya Nidhal Guessoum. Dia seorang Guru Besar Fisika dan Astronomi di American University of Sharjah, Uni Emirat Arab (UEA). Sebagai pembuka dalam esai ini, aku ingin mencuplik, pokok pikiran sarjana (yang Muslim) ini, tentang al-Qur’an dan teori evolusi Darwin. Menurut Guessoum, kita tidak punya pilihan selain menerima fakta yang telah terbukti kuat, dan evolusi adalah sebuah fakta alam yang telah dibuktikan melalui metode yang berbeda-beda. Teori Darwin tentu saja bukan teori final perihal subjek ini, seperti halnya teori gravitasi Newton, kemudian diikuti teori yang sangat kuat, kecuali dalam beberapa aspek kecil. Sekarang, masalah bisa datang dari dua arah: (1) pemafhuman materialistis terhadap teori evolusi, yang meniadakan segala bentuk rencana atau tujuan Ilahi di balik proses itu, dan (2) pemahaman harfiah terhadap sejumlah ayat al-Qur’an, khususnya yang berkenaan dengan penciptaan manusia perdana: Adam dan Hawa (Guessoum, 2014: 580).

Kebanyakan, bila tidak semua, konflik nyata itu bisa diredam melalui bacaan dan penalaran yang tidak terlalu kaku, baik terhadap al-Qur’an maupun terhadap teori ilmiah itu. Sebenarnya, menurut Guessoum, yang bertentangan dengan teori evolusi Darwin itu ialah penafsiran sejumlah individu terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an sejatinya tidak menafikan proses evolusi di mana pun, sekalipun ia mengedepankan konsep Adam dan Hawa. Sudah ada banyak penelitian yang membahas isu ini (misalnya, apa yang dikenal dengan “Hawa-nya Mitokondria”–Mithochondrial Eve), dan kita tidak perlu kaget bila nanti di masa depan kita mungkin menetapkan bahwa Adam dan Hawa penuh berada di sana! Hingga masa itu, kita harus mengakui bahwa evolusi sebagai sebuah proses yang berada berlangsung dan niscaya (lihat Mayr, 2010 dan Olson, 2004).

Menurut Guessoum, Tuhan memilih pasangan tertentu di antara Homo Sapiens lelaki dan perempuan, lantas meniupkan ruh kepada mereka, sehingga mereka berbeda dari rekan-rekan mereka. Ia juga mengartikan makan buah terlarang sebagai kesadaran mereka akan bentuk peralihan mereka dari sekadar ‘binatang’, menjadi benar-benar manusia yang punya tingkat pemahamanan yang tinggi (Guessoum, 2014: 581). Tapi, tidak seorang pun tahu pasti apa atau bagaimana segala sesuatunya pernah terjadi. Lantas, apakah sains secara umum dapat berdampingan dengan agama?

*
Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Namun, fenomena ini adalah penyimpangan modern. Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia. Itu adalah peran logos. Tugas agama, sangat mirip dengan seni, ialah membantu kita hidup secara kreatif, damai dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah didedahkan dan pelbagai masalah yang tidak bisa kita pecahkan: kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan pada ketidakadilan dan kekejaman kehidupan.

Selama berabad-abad, orang-orang di semua budaya menemukan bahwa dengan mendorong kekuatan penalaran mereka sampai pada batasnya, membentang bahasa sampai ujungnya, dan hidup sedapat-dapatnya tanpa pamrih dan penuh kasih, mereka mengalami suatu ‘transendensi’ yang memungkinkan mereka merangkul penderitaannya dengan tenang dan berani.

Rasionalitas ilmiah dapat memberi tahu kita mengapa kita menderita kanker, bahkan dapat menyembuhkan kita dari penyakit. Tetapi tidak dapat meredakan kengerian, kekecewaan dan kesedihan yang datang bersama diagnosis itu, juga tak dapat membantu kita untuk mati dengan baik. Itu tidak berada dalam wewenangnya. Akan tetapi, agama tidak akan bekerja secara otomatis; ia membutuhkan upaya besar dan tidak akan berhasil, jika ia dangkal, palsu, memberhala, atau memperturutkan kehendak sendiri (lihat Conner, 2005).

Agama adalah disiplin amaliah, dan wawasannya tidak berasal dari spekulasi abstrak, namun dari latihan spiritual dan gaya hidup yang berdedikasi. Tanpa amalan seperti itu, musykil untuk mamafhumi kebenaran ajarannya. Hal ihwal ini juga berlaku untuk filsafat rasionalisme. Orang-orang datang kepada Socrates bukan untuk belajar sesuatu–dia selalu menekankan bahwa dia tidak punya apa-apa untuk diajarkan kepada mereka–melainkan untuk mengalami perubahan pikiran. Peserta dialog Socrates menemukan berapa sedikit yang mereka ketahui dan bahwa makna proposisi yang paling sederhana sekalipun, tak dapat mereka rengkuh. Kejutan kebodohan dan kebingungan itu, serupa dengan perubahan ke arah kehidupan filosofis, yang tidak bisa dimulai sampai anda terjaga, bahwa anda tidak tahu apa-apa.

Tetapi, sekalipun itu memakzulkan sisa-sisa kepastian pamungkas yang sampai saat tersebut merupakan landasan kepastian bagi kehidupan banyak orang, sawala Socrates tidak pernah agresif. Diskursusnya dilakukan dengan sopan, lembut dan penuh pertimbangan. Jika dialog membangkitkan kebencian atau dendam, ia akan gagal! Tidak ada pemaksaan agar lawan bicara memerima sudut pandang anda: sebaliknya, masing-masing menawarkan pendapatnya sebagai hadiah kepada orang lain dan memungkinkan mereka untuk mengubah sudut pandang sendiri. Socrates, Plato dan Aristoteles, para pendiri rasionalisme Barat, tidak melihat pertentangan antara akal dan yang transenden. Mereka mengerti bahwa kita merasakan kebutuhan mendesak untuk mendorong kekuatan penalaran kita ke titik, di mana mereka tidak bisa pergi jauh lagi dan masuk ke dalam kondisi ketidaktahuan yang bukannya membuat frustasi, melainkan merupakan sumber ketakjuban, kekaguman dan kepuasan (Doren, 1999).

Agama bukanlah hal ihwal yang instan. Kita telah melihat upaya besar yang dilakukan oleh para yogin, Kabbalis, mufasir, rabi, ritualis, rabib, cendekiawan, filsuf, sang perenung, serta orang-orang awam dalam liturgi ketaatan sehari-hari. Semua mampu mencapai tingkat ‘ekstasis’ dengan memperkenalkan kita pada jenis cara mengetahui yang berbeda, “mendorong kita keluar dari diri kita sendiri”. Pada periode modern pun, para ilmuan, rasionalis, dan filsuf telah mengalami sesuatu yang serupa. Einstein, Wittgenstein dan Popper, yang tidak memiliki “keyakinan” agama konvensional, cukup nyaman berada di antara rasionalitas dan yang transenden. Pemahaman agama tidak hanya menuntut upaya intelektual yang berdedikasi untuk melampaui “berhala-berhala pikiran”, tetapi juga gaya hidup penuh kasih yang memungkinkan kita keluar dari prisma ideologis.

Logos yang agresif, yang berusaha untuk menguasai, mengontrol dan membunuh oposisi, tidak dapat membawakan wawasan transenden ini. Pengalaman membuktikan bahwa ini hanya mungkin jika orang menumbuhkan sikap reseptif, mendengarkan, tidak berbeda dengan kita mendekati seni, musik atau puisi. Agama memerlukan kenosis, ‘kapabilitas negatif’, dan hati yang ‘mengalami dan menerima’.

Kekonsistenan pelbagai agama dalam menekankan pentingnya sifat-sifat ini menunjukkan bahwa mereka, entah bagaimana, telah melekat di dalam cara manusia ‘mengalami’ dunia. Jika tidak dibangkitkan oleh agama, mereka dihidupkan kembali oleh para penyair, novelis dan filsuf.
Dalam kebanyakan budaya pramodern, ada dua cara berpikir, berbicara dan memperoleh pengetahuan yang diakui. Orang Yunani menyebutnya mythos dan logos (Armstrong, 2005).

Keduanya penting dan tidak satu pun yang dianggap lebih unggul dibanding yang lain; keduanya tidak bertentangan, tetapi saling melengkapi. Masing-masing memiliki bidang kompetensi dan dianggap tidak bijaksana untuk mencampurbaurkan keduanya. Logos (‘nalar’) adalah cara berpikir pragmatis yang memungkinkan individu untuk berfungsi secara efektif di dunia. Ia, karenanya, harus bersesuaian secara akurat dengan kenyataan eksternal.
Manusia membutuhkan logos untuk membuat senjata yang efisien, mengatur masyarakat atau merencanakan sebuah ekspedisi. Logos berpandangan visioner, terus-menerus mencari cara-cara baru untuk mengendalikan lingkungan, meningkatkan wawasan lama, atau menciptakan sesuatu yang baru. Logos penting bagi keberlangsungan hidup spesies kita. Namun, ia memiliki keterbatasan: ia tidak dapat melipur kesedihan manusia atau menemukan makna tertinggi dari perjuangan hidup. Untuk itu, manusia beralih kepada mythos atau ‘mitos’ (Trefil, 2012).

Hari ini, kita hidup dalam masyarakat logos yang ilmiah dan mitos telah jatuh ke dalam kehinaan. Dalam bahasa populer, sebuah ‘mitos’ adalah sesuatu yang tidak benar. Namun, pada masa lalu, mitos bukanlah sekehendak hati; melainkan seperti logos, ia membantu orang untuk hidup secara kreatif di tengah dunia kita yang membingungkan, meskipun dalam cara yang berbeda. Mitos mungkin telah menyampaikan pelbagai kisah tentang dewa-dewi, namun sesungguhnya mitos berfokus pada aspek yang lebih sukar dimengerti, membingungkan dan tragis dari keadaan manusia yang berada di luar kewenangan logos. Mitos telah disebut sebagai bentuk primitif psikologi. (bersambung).⁠⁠⁠⁠