Bagaimana perempuan dan tasawuf justru saling mendukung, tapi dalam sejarah malah tidak banyak membicarakannya. Bagaimana bisa terjadi?
Sufyan At-Tsauri, sufi cum pemuka fikih, menemui (sowan istilah pesantren) perempuan suci, Rabiah al-Adawiyah. “Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu, Ya allah anugerahkanlah keselamatan (assalamah)”.
Mendengar ucapan At-Tsauri, Rabiah menangis tersedu. “Kenapa engkau menangis?”.
“Bagaimana tidak. Keselamatan (assalamah) itu adalah meninggalkan dunia dan isinya, sedangkan kamu masih berkutat (muthollihun) di dalamnya.”
Cerita ini adalah pembuka dari kitab hagiorafi pertama tentang perempuan dan tasawuf, tentang perempuan-perempuan suci dalam sejarah Tasawuf, Dzikrun Nisaail Muta’abbidaat fit Tassawufi, karya Syeikh Abdurrahman Assulami.
Rabiah, perempuan yang dibebaskan dari cengkraman perbudakan di Basrah, sebuah kota yang menjadi sentral asketisme pada masa awal Islam. Oleh hagiographer, Rabiah digambarkan memiliki kesempurnaan manusiawinya; ujung jari-jarinya bersinar bagai lampu-lampu pada malam hari; dan santriwatinya pernah memintanya keluar dari kamar khalwatnya karena kekaguman melihat aura kesempurnaan munusiawinya.
“Keindahan Tuhan (Jamalul Allah) terletak di dalam bathin, dan apa aspek zahir (fisik) hanyalah pemendaran aspek bathin,” dhawuh Rabiah kepada santriwatinya.
Tidak cukup tempat menjelaskan bagaimana pujian para sufi dan hagiographer terhadap perempuan suci dari kota Basrah, Irak ini, Maulan Rumi berulang kali menyebutnya dala Matsnawi. Begitupun Syaikh Fariduddin Attar dalam Illahinamma. Dalam hal pencapaian ruhani, Rabiah “jelas lebih unggul dibandingkan banyak pria, dan itulah mengapa ia disebut sebagai ‘mahkota para pria’,”kata Muhammad Zihni dalam Masyaharin Nisaa.
Masih banyak perempuan lain dengan kesempurnaan manusiawinya dalam sejarah Tasawuf. Maryam Al-Basriyah (santriwati Rabiah); Bahriyah Al-Mausuliyah; Rihana Waliha; Rabiah As-Syamiyah; Sya’wana; Fathimah An-Naisyafur;Rabiah binti Ismail; Fathimah Al-Kattani; dan banyak lainnya. Tidak ada sufi besar yang lepas dari pendaran aura perempuan suci. Hasan Al-Bashri tidak bisa dilepaskan dari Rabiah al-Adawiyah; Imam Ghazali dari cerita Sya’wana; Abu Hafs al-Suhrawardi (pengarang Awaariful Maarif) dari seorang pengamen bersuara merdu yang ditemuinya di dekat Ka’bah; Hagiogarfer dan teoritukus Tasawuf At-Tirmizdi didampaingin istrinya yang terkenal asketiik.
Syaikhul Akbar Ibn Arabi yang terkenal karena sikapnya yang terbuka dan berani soal perempuan memiliki hubungan ruhani dengan sejumlah perempuan suci. Pada masa awal perjalanan suluknya, sang kibrit Ahmar menceritakan kekagumannya pada gurunya,Fathimah Valencia (aslinya Fathimah binti Al-Mustannah) yang kepadanya beliau menyimak dan mendaras surat Al-Fatehah. Kemudian kisah pertemuannya dengan Fahrun Nisaa, saudara gurunya Abi Syuja’ bin Rustam, juga putri sang guru Sayyidah Nizam (lady Nizam) yang karena kekuatan ruhani keduanya sehinga mengilhami Ibn Arabi menulis kitab syair Tarjumanul Asywaq (penyintas kerinduan) yang masyhur kerumitan susunan kata dan artinya itu.
Dalam khazanah suluk, tidak dikenal pembagian gender seperti dalam khazanah fikih ataupun ushuludin, yang keduanya memiliki status sebagai ilmu di bawah peringkat suluk. Tidak ada laki-laki dan perempuan berdasarkan kelamin. Tidak sulit membuktikannya. Saya ambil penjelasan ahli tasawuf dari Iran, Laleh Bachtiar, yang merangkum perdebatan soal keperempuanan dan kelelakian dalam khazanah tasawuf.
Keperempuanan dan kelelakian adalaha potensi pada setiap orang, baik berkelamin laki-laki maupun perempuan. Maskulunitas dan feminitas adalah potensi batin setiap manusia. Unsur yin dan yang seperti dibabar oleh Sechiko Murata dalam buku tebalnya. Suluk atau perjalanan membersihkan bathin adalah sebuah perjalanan yang digambarkan sebagai perjanan yang feminim, yaitu perjalanan dalam kepekaan, kerinduan,kesabaran, dan kesiapan menanggung beban menuju penyempurnaan diri. Pengelolaan dan pelatihan unsur feminim pada setiap orang pada saatnya akan berkoneksi dengan unsur maskulin dalam dirinya, dan dua kutub bathin itu yang mengantarkan manusia kepada Tuhannya.
Dalam khazanah fikih, fakta bahwa ada ulama fikih yang menangkap semangat syariah mengenai ekualitas perempuan dan laki-laki, tetapi sangat sulit merubah narasi fikih yang bias laki-laki. Sangat berbeda dengan suluk atau tasawuf. Berikut ini beberapa contoh penjelasan ulama tasawuf tentang status kesetaraan perempuan dan laki-laki.
Ayat 34 surat an Nisaa, Ar-Rijaalu Qowwamun ‘ala nisaa. Artinya, laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan. Menurut Syaikh Abdul Qodir Jaelani dalam kitab tafsirnya,kata ar-rijaalu adalah al-musta’dilatul mustaqimatul ‘uquuli atau kurang lebih “mereka yang memiliki kematangan intelektual” adalah “ar-Rijaal”. Ar-Rijaal tidak menunjuk samasekali gender biologis.
Syeikh Abul Qasim bin Abdul Karim bin Hawazin Al-Qusyairi an-Naishaburi dalam kitab tafsirnya, Lathaaiful Isyaarat,ayat 34 dari surat An-Nisa menunjukkan bahwa kata ar-rijaalu menujukkan keutamaan yang disebabkan oleh kekuatan (al-Quwah) sebagai penopang tanggung jawab (hamlun), dan tanggung jawab tidak selalu terkait dengan fisik dan diri (kelamin) tetapi dengan kekuatan hati dan keteguhan (himam). Jadi kata ‘rojulun’ atau pria (mard dalam bahasa Persia)
Sementara Syaikhul Akbar Ibn Arabi dalam tafsirnya mengatakan bahwa Ar-Rijaalu adalah al-Afraad al-Waashilun atau “ pribadi-pribadi yang telah sampai (pada pencerahan, makrifat dan tahapan selanjutnya). Bahkan dalam kitab lainnya, Ibn Arabi (dalam Insanul Kamil) beliau menyitir hadist Kanjeng Nabi SAW yang jarang disebutkan, Kamula min rijaali katsiiruna wa kamulat min nisaai Maryamu bintu ‘Imran wa Aasiyah imroatu Firaunu (Banyak kaum laki-laki mencapai kesempurnaan, dan telah (sampai) kesempurnaan (dari kaum perempuan) dicapai Maryam bint Imran dan Asiyah istrinya Firaun).
Tidak itu saja, orang Sufi dari Barat (Spanyol) ini, menegaskan bahwa aspe bilogis adalah permukaan terkasar dari hakikat manusia. Setiap manusia memiliki kesempatan dan hak yang sama dalam menyempurnakan kualitas dirinya tanpa bebab gender biologis.
Para sufi seperti Ibn Arabi memandang bahwa kehidupan ini sebagai perjalanan dakik dan mendaki (yang berat) menuju Allah SWT yang digambarkan dengan citra kefeminiman, bahkan (pungkas beliau) Allah SWT sendiri mengingatkan manusia bahwa hakikatnya yang tidak terjamah manusia adalah feminism, yakni dzat. Wallahu’Alam bis Shawab