Kemarin pagi sehabis olahraga, saya mendapati sebuah status Facebook teman saya yang menampilkan potongan foto dari akun instagram seorang pendakwah di Sulawesi. Dalam potongan foto tersebut disebutkan bahwa sang ustaz menyatakan kegembiraannya karena telah berhasil menutup restoran, yang menjual menu makanan yang diharamkan dalam Islam.
Tanggapan beragam pun muncul dalam kolom komentar di akun Facebook teman saya tersebut, dari penolakan hingga hujatan yang dialamatkan pada pemilik restoran. Kejadian ini adalah fakta tentang keberislaman kala beririsan dengan ruang publik, terutama ruang publik digital, cenderung memaksakan ajaran agama kita sebagai narasi dominan.
Dari kejadian di Makassar yang tersebar luas di media sosial, agama Islam tidak dapat dipungkiri sebagai agama paling eksis di media sosial, terutama di Indonesia. Jika ditelisik lebih dalam kejadian di atas, maka ada hal yang harus diperhatikan serius karena isu di atas bisa berdampak negatif jika terus dibiarkan berlangsung.
Selain sisi hukum (baca: fikih), bau makanan yang dikomplain sang ustaz karena dianggap termasuk sesuatu yang diharamkan, yang lebih mengkhawatirkan adalah persoalan residu kebencian. Inilah yang lebih saya khawatirkan dari dampak pemberitaan dan produksi pengetahuan atas kejadian tersebut, yang malah lebih destruktif, bahkan melebihi penutupan yang dilakukan oleh ustaz tersebut. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Dengan mengajukan atas nama adat dan alasan ajaran agama, sang ustaz memang berhasil mendorong pengelola mall menutup atau menghentikan operasi dari restoran tersebut. Pemberitaan dari kejadian tersebut bisa menghasilkan atau memproduksi pengetahuan akan dominasi yang liar di kalangan muslim dalam keragaman warga negara.
Dominasi liar yang terpendam dalam imajinasi masyarakat muslim kemudian bisa dipelihara dan terus dikembangbiakkan, terkhusus pada mereka yang sudah memiliki pemahaman soal segregasi dan privilege atas warga negara dari pilihan agama yang dipeluknya.
Dengan kemajuan teknologi, ruang publik masyarakat sudah banyak berubah dari model kehidupan masyarakat masa lalu. Interaksi fisik manusia yang mulai tergantikan oleh media sosial dan teknologi internet berdampak pada ruang publik, yang dulunya dihasilkan oleh kemajuan teknologi transportasi. Arkian, ruang publik yang dipahami sebagai bagian dari interaksi antar warga negara tidak lagi dipahami secara kaku karena telah banyak perubahan yang terjadi.
Dalam kondisi perubahan ruang publik itulah produksi pengetahuan atas kelompok yang dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bisa berubah dalam sekejap. Sebab, perasaan dominasi atas warga yang lain telah ditumbuhkan dan dipelihara lewat berbagai pemberitaan yang beraroma pamer kekuasaan atau kekuatan masyarakat muslim sebagai mayoritas di media sosial.
Namun, memang tidak mudah membuktikan asumsi tersebut, seperti dampak dari status Instagram sang ustaz memang tidak bisa dibuktikan secara positivistik, tapi residu kebencian yang ditanamkan dari dominasi, represi dan paksaan bisa dilihat dari sikap setuju dari mayoritas warganet atas apa yang dilakukan oleh sang ustaz.
Jika ditelisik lebih dalam, sebuah restoran yang hadir dengan menu makanan yang dilarang oleh satu agama dengan pemeluk mayoritas di Indonesia, harus memerlukan teknik marketing yang cerdas karena menyasar segmen sangat spesifik.
Kondisi tersebut jelas memaksa sang pemilik atau manajer harus memperhatikan wilayah yang tidak boleh dilanggar, seperti proses produksi yang bisa menimbulkan protes, sebagaimana yang telah terjadi di Makassar. Jadi, protes ustaz di atas bukan hanya soal dominasi di wilayah interaksi antar warga di ruang publik tapi juga menyentuh produksi pengetahuan yang juga mendominasi, merepresi dan memaksa kelompok minoritas untuk mematuhi kehendak mayoritas.
Melihat persoalan yang terjadi di Makassar, umat Islam seharusnya mulai memperhatikan dampak dari residu kebencian yang diproduksi dari kejadian seperti di Makassar. Sebab, tanpa disadari kejadian tersebut akan memupuk persoalan baru yaitu kebencian kepada warga negara lain semakin meningkat. Kebencian ini yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menginginkan konflik tersebut terjadi.
Absennya negara dalam persoalan di atas jelas perlu dipertanyakan, dalam hal ini MUI sebagai otoritas dan representasi negara yang menghasilkan label halal dalam setiap produk yang dikonsumsi masyarakat, harus bisa menghentikan proses dominasi, represi dan paksaan terhadap minoritas.
Kasus Makassar yang telah terjadi kemarin harusnya tidak boleh terulang lagi. Karena, dampak destruktif dari persoalan itu tidak hanya soal satu restoran ditutup, tapi residu kebencian dan perasaan dominan bisa menyilaukan sebagian pihak yang merasa mayoritas, sehingga bisa dijadikan dalil untuk menyerang, merepresi dan menuntut hak previledge sebagai warga negara.
Dalam konsep negara-bangsa, seharusnya tidak ada warga negara yang terlalu mendominasi representasinya di ranah berbangsa dan bernegara. Namun, sekarang dominasi sebagian kelompok mayoritas juga berevolusi dalam bentuk dominasi narasi di media sosial.
Sikap dominan akhirnya dipupuk dalam bingkai digital yang bisa merambah hingga ranah paling privat dan lebih lentur sehingga lebih sulit diidentifikasi. Oleh sebab itu, pekerjaan rumah bagi seluruh kalangan otoritas keislaman untuk memikirkan untuk menghilangkan residu kebencian yang melekat pada perilaku masyarakat muslim di ranah ruang publik, termasuk ruang publik digital.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin