Banyak sudah teori tentang pendidikan anak usia dini, bagaimana membuatnya berkarakter Islami, membentuk akhlak budiman, dan menimbulkan kesadaran sejak kecil tentang agama Islam.
Hal yang saya praktikkan ialah bagaimana menanamkan rasa beragama kepada anak. Dengan apa? Yaitu dengan mendekatkannya dengan ritual agama, tradisi yang mempunyai nilai-nilai luhur agama dan adat, dan ikut membawanya dalam majelis-majelis orang alim dan shalihin.
Bagi saya, anak kecil, dengan tingkat pemahamannya masih rendah, tidak akan mampu menyerap dogma-dogma agama, hukum-hukum teoritik, dan segudang ilmu nazhari. Tentu hal ini tidak akan mampu diserap oleh akal si-kecil, karena ini bukan makanannya. Ibaratnya seorang anak bayi, yang lambungnya cocok dengan makanan-makanan lembut, maka dibuatkan baginya bubur dan nasi tim.
Alangkah gegabah memberi makan nasi bulat untuk bayi, yang belum cukup umur. Tentunya makanan tadi membuat mudharat padanya. Begitu pula anak-anak, bila sudah dipaksakan sejak kecil untuk memahami halal haram, sah batal, dengan dalil-dalilnya, barangkali bukan malah membuat mereka faham, malah mungkin membuat bingung.
Lalu bagaimana? Yaitu menanam rasa beragama. Anak kecil ini mesti lekat dengan dan atau melihat ragam ibadah dan tradisi-tradisi keislaman, agar “agama” itu tertanam sejak kecil di alam bawah sadarnya. Ketika rasa agama sudah tertanam, maka samalah kita mengalirkan air pada pembuluh, tidak ia akan terbuang sia-sia.
Asalkan rasa agama sudah ada, niscaya ilmu agama apapun nanti yang diajarkan padanya, niscaya akan ia serap dengan sebaik-baiknya, karena sudah ada pondasi kuat pada pribadinya. Bagaimana mungkin air akan mengalir tanpa ada tempat alirannya. Jika dipaksa mengalirkan air, tentu air tadi meluber kemana-mana, artinya sia-sia.
Begitulah ijtihad saya dalam mendidik. Maka si-kecil ini dibawa ke surau, diajak shalat berjama’ah (meski ia tertidur di sana), dibawa berziarah ke makam ulama-ulama, dibawa ke hadapan guru dan tuan syaikh, diajak pula pergi ceramah agama, diikutkan serta mencoret-coret kitab, dan lain-lain.
Begitu juga dengan tradisi agama, seperti silat. Silat Oyah Balubuih misalnya, dengan kearifan dan pengamalan yang kental dengan nuansa agama itu, dapat membentuk karakter seorang. Kenapa tidak? Silat ini mengajarkan pengamalnya wajib shalat bila akan melangkah, banyak zikir, berlaku sabar, bersikap optimis dan tidak putus asa, harus berlaku rendah hati dan dermawan, dan lain-lain, bahkan “kata putus” dari silat ini ialah zikir semata-mata. Meskipun si-kecil hanya bisa meniru-niru langkah sebagai keceriaan di bawa ke surau. Setidaknya ia telah dekat dan sangat meresapi tradisi agama dan adat ini. Tinggal kita mengalirkan air saja lagi.
Ini semua ikhtiar belaka. Ikhtiar dihabis-habiskan untuk kebaikan. Namun ketentuan, “ditangan” Allah jualah kenyataannya.