Saya pernah tersesat di masjid. Bagaimana bisa? Bukankah masjid itu rumah Allah? Dan, bukankah masjid itu tempat mendapat petunjuk?
Itu memang sepenuhnya benar. Tapi itu pun tidak selalu tepat. Jadi begini ceritanya.
Satu waktu menjelang petang, hujan deras mengguyur kota Yogyakarta bilangan Jl Kaliurang Km 5-an. Saya kebetulan sedang melintas, berniat hendak ke sebuah pertemuan. Daripada basah kuyup, saya memilih berteduh.
Sejurus kemudian, waktu menunjukan bahwa maghrib telah tiba. Umat Muslim harus sembahyang. Sementara hujan masih deras. Saya terpaksa tetap sabar menunggu.
Begitu ada celah agak reda, saya berniat geser mencari masjid. Gerimis saya terobos. Alhamdulillah, ketemulah sebuah masjid di bilangan UGM. Saya pun merangsek masuk, bergegas mengambil air wudhlu, lalu mendirikan shalat maghrib.
Selepas shalat, gerimis ternyata kembali dan semakin deras, tanda bahwa ia bukan lagi golongan gerimis tetapi hujan. Alhasil, saya pun mengurungkan niat untuk melanjutkan lanjut perjalanan.
Waktu isya’ pun tiba. Azan berkumandang dengan gagahnya. Mau tidak mau, saya kudu ikut shalat berjamaah di masjid setempat. Saya yang sudah dalam kondisi batal, kembali mengambil air wudhlu dan lalu masuk ke masjid, berniat, ekhm, iktikaf—walau qalilan.
Sejauh ini situasi masih berjalanan normal.
Selang sepuluh menitan, seseorang yang sedianya duduk bersila kemudian berdiri dan menuju microphone masjid: iqomah, tanda bahwa shalat berjamaah segera dimulai. Saya lalu berdiri dan menuju ṣaf paling depan, pojok kanan.
Sang Imam yang masih terlihat cukup muda memulai takbiratul ihram, setelah sebelumnya menghimbau para jamaah untuk meluruskan dan merapatkan barisan, sesuai ajaran Nabi. Dengan sangat hati-hati dan tartil, sang Imam membaca surah al-Fātihah.
Segera setelah para makmum purna merapal āmīn…. secara kompak, si imam terdiam sejenak. Lalu dibacalah sebuah surah lain, yang merupakan salah satu kesunahan dari shalat. Dan, itulah masalahnya.
Saya mulai merasa ragu dan nyaris kehilangan fokus. Lha gimana, yang dibaca adalah tidak tanggung-tanggung, Q.S. an-Nur boskuuh!! Dan, jangann salah, itu dibaca secara penuh.
Terang saja, saya yang imannya terlampau daif ini pun semakin panik. Dan, kepanikan itu menjadi kaffah setelah menyadari bahwa si imam, sekali lagi, membacanya dengan standar MTQ: tartil dan luuuuwwamaa!!
Kepanikan serupa juga menjangkit jama’ah lain, yakni seorang bapak sepuh. Bukan maksud untuk mencari teman, tapi mau tidak mau saya pun turut menyadari kepanikannya: lha wong posisinya berada di sebelah saya persis kok.
Ya, bapak itu mulai merasa tidak nyaman. Badan yang goyang tidak jelas, lalu kaki yang mulai gemetar, dan mulut yang tak henti-hentinya menguap merupakan tanda bahwa yang bersangkutan sebetulnya sedang gelisah.
Sayang, sinyal kegelisahan dan kepanikan kami tidak ditangkap-sadari oleh si imam. Si imam dengan pongahnya terus saja merapal surah di Juz 18 itu, sambil sesekali berhenti sejenak yang, saya kira akan menunjukan tanda-tanda ruku, tapi sial, itu hanya cara dia mengingat ayat selanjutnya.
Terus terang, dalam hati saya ingin berontak dan teriak: qulhu ae lek!!!
Atau, lebih ekstrem, perut saya yang tiba-tiba tidak bisa diajak kompromi ini, ingin mengeluarkan angin kesehatan. Saya sempat terpikir untuk, maaf, kentut lalu walk out. Namun, demi kemaslahatan bersama dan kestabilan nasional, kedua niatan itu saya urungkan.
Pendeknya, saya menaksir shalat isya’ waktu itu memakan waktu total seperempat jam, dengan rincian: kira-kira lima menit untuk raka’at pertama, kemudian lima menit pula untuk raka’at kedua, dan pada dua raka’at terakhir masing-masing dua menit setengah.
Terus terang saja, shalat isya’ itu merupakan sembahyang jama’ah terambyar yang pernah saya ikuti. Tapi, ini bukan kali pertama saya tersesat di masjid.
Sebelumnya, sekitaran Desember 2019, saya juga pernah mengalami situasi serupa. Waktu itu di bilangan Solo, saya berangkat untuk hurmat Haul Habib Ali al-Habsyi. Seperti diketahui, haul di sana dimulai selepas shalat shubuh.
Kebetulan, saya tiba di solo sekitaran pukul tiga dini hari. Saat itu, saya dan sejumlah kawan berhenti dan istirahat di kira-kira radius sepuluh kilometer dari lokasi acara. Lalu, atas dasar pertimbangan “daripada tidak dapat tempat”, kami memutuskan untuk merapat ke lokasi.
Setelah mendapat tempat parkir, kami lalu menerobos jubelan orang yang mulai memadati jalanan. Tak lama kemudian, Azan shubuh lalu berkumandang. Dengan hitung-hitungan kenyamanan sembahyang, kami memilih untuk mencari musala terdekat.
Sekiranya dua menit jalan kaki dari pusat lokasi, kami mendapati musala. Setibanya di sana, kami bergegas mengambil air wudhlu dan menunggu iqomah. Selain penduduk setempat, terdapat pula jama’ah haul lainnya yang turut sembahyang di musala tempat kami singgah.
Musala pun lekas penuh. Iqamah lalu dikumandangkan. Shalat subuh pun dimulai.
Dan, segera setelah imam marapal walaḍāllin… yang tentu saja diikuti āmīn… oleh makmum, jama’ah shalat hening sejenak, tanda sang imam menyilakan makmunya untuk membaca al-Fātihah bi sirri.
Badala betul, sewaktu membaca surah pilihan, si imam memilih membaca al-Qur’an pertengahan Juz 2, yakni Q.S. al-Bāqarah. Padahal semua juga tahu, termasuk saya yakin betul bahwa si imam sendiri sangat sadar bilamana tidak sedikit jama’ah yang waktu itu ingin buru-buru segera menunaikan kewajiban dan lalu bergegas merapat ke majelis haul.
Sudah begitu, ntah sadar atau tidak, si imam sempat kesandung lidahnya. Ya, dia keliru membaca terusan ayat. Saya yang sadar diri berada di baris belakang, mengurungkan niat untuk meralat bacaan si imam, dengan alasan khawatir membuat malu yang bersangkutan dan, bil khusus kecil kemungkinan si imam akan mendengar teguran saya.
Beruntung, itu adalah sembahyang shubuh yang hanya dua raka’at. Kendati shalat shubuh berjamaah waktu itu tergolong “menyebalkan”, setidaknya bagi saya, itu ternyata masih belum seberapa dibanding pengalaman shalat isya’ berjamaah, di awal tulisan ini.
Begini ya, bahwa mendirikan shalat itu wajib adalah benar adanya. Jama’ah adalah sunah itu juga merupakan kebenaran. Dalilnya pun sahih. Akan tetapi, itu juga tidak lantas mengizinkan kita menjadi Muslim arogan.
Seteras Sahabat Nabi saja bisa kena semprot sama Nabi Muhammad kok, gara-gara pernah menggelar shalat jama’ah tapi durasinya terlampau lama. Apalagi kita yang awam ini?
Pesan moralnya adalah, silakan Anda mau berpanjang-panjang dalam shalat. Tapi mbok ya dilihat dulu kualitas fisik d/a sikon para makmumnya. Lebih-lebih kalau itu di masjid atau musala umum, yang tidak lain adalah fasilitas publik.
Ringkasnya, ini bukan soal benar salah, tapi bijak atau tidak bijak. Istilah jawanya, “gitu ya gitu, tapi ya jangan gitu-gitu amat”. Atau, shalat berlama-lama di masjid umum itu bener, tapi ora pener (benar, tapi kurang tepat). Fahimtum?!!
Kalau masih kurang greget mengimani betapa menyebalkannya tersesat di masjid, sila simak siluet berikut.