Meminta Keberkahan pada Hujan Asam

Meminta Keberkahan pada Hujan Asam

Meminta Keberkahan pada Hujan Asam
Foto: Antara

Dalam ajaran Islam, hujan bukan sekadar fenomena turunya air dari langit ke bumi. Pasalnya, banyak doa dan kepercayaan yang dihadirkan tiap hujan turun. Doa saat hujan turun pun dengan jelas menyebutkan tentang permintaan agar air yang turun itu menjadi manfaat.

Allahumma shayyiban naafi’an – Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat.

Selain itu, hujan juga selalu diidentikan dengan turunya keberkahan dan menjadi salah satu waktu yang mustajabah untuk berdoa. Intinya, hujan adalah pertanda baik untuk segala mahluk di muka bumi, begitu kira-kira konsepnya.

Namun, benarkah hujan yang turun ini memang membawa hal baik? bukankah saat ini kita mudah demam dan pilek kalau terkena air hujan? Apakah kita harus selalu percaya bahwa keberkahan itu turun bersama air hujan, toh masuk angin adalah hal dekat untuk orang yang kehujanan.

Kita juga sering diingatkan oleh sanak famili dan handai taulan “mandi dan keramaslah setelah kehujanan, biar kepala tidak pusing”, “mandi setelah kehujanan, biar tidak masuk angin”. Apakah ini bentuk keberkahan?

Ditilik dari kondisi keasaman air hujan dalam kacamata ilmu kimia, yang mana ini bukanlah hal baru juga untuk anda semua, saya yakin banyak diantara pembaca semua yang minimal sudah pernah mendengar istilah ini; hujan asam.

Ya benar, saat ini kondisi hujan kita memang sudah tidak sedang baik-baik saja. Hujan asam sudah menjadi fenomena yang terus membersamai kita saat hujan turun.

Sebelumnya, mungkin perlu kita urai dulu sedikit terkait apa itu makna asam atau basa. Asam adalah kondisi di mana dalam suatu zat terdapat persenyawaan hidrogen positif yang banyak, sementara basa adalah kebalikannya. Asam biasa kita kenal dengan rasa kecut, sementara basa umumnya pahit. Jus jeruk adalah contoh asam yang ada di sekitar kita, sementara basa kita kenal ada pada sabun.

Kembali ke soal hujan asam. Pada kondisi yang wajar dan alamiah, sebenarnya hujan kita memang sudah dalam kondisi asam. Hal ini dikarekanan langit-langit kita mengandung CO2. Yang mana CO2 ini dalam prosesnya ketika bereaksi dengan uap air akan menambah jumlah hidrogen positif di udara, dan ketika hujan turun, kandungan hidrogen positif juga ikut bersama air hujan. Namun, keadaan asam yang terjadi masih berada di skala yang aman dan tidak membahayakan mahluk di muka bumi. Skala untuk membatasi hujan asam dan hujan normal adalah sekitar 5.

Perlu diketahui juga, dalam menyebutkan tingkat keasaman dan kebasaan dalam medium air, skala keasaman diukur dengan nilai pH dari skala 1 sampai 14. Nilai 7 adalah batas tengah. 7 ke bawah adalah asam, 7 ke atas adalah basa.

Merujuk kembali ke kondisi hujan asam, ketika kondisi normal atau ketika udara langit kita bersih, kondisi hujan masih dalam skala di atas 5. Namun saat ini keadaanya telah berubah. Apalagi setelah manusia melumat habis rahim bumi dan menggunakannya sebagai bahan bakar. Penggunaan bahan bakar fosil telah meningkatkan nilai keasaman hujan.

Dulu, yang menjadikan hujan memiliki nilai di bawah 7 atau sedikit asam adalah gas CO2 (karbon dioksida), namun setelah manusia memerkosa bumi dan membakar isinya untuk turbin peradaban modern, gas yang beredar di langit bukan hanya CO2, tetapi NOx (nitrogen oksida) dari gas buang kendaraan bermotor dan SOx  (sulfur oksida) proses produksi industri yang menggunakan smelter. Kedua gas ini beredar di langit atas peran besar pembakaran bahan bakar fosil oleh ulah tangan manusia modern.

Kesadaran pada keadaan ini membuat para peneliti, Salah satunya Anita Singh dari Ecology Research Laboratory Banaras Hindu University, India, menyelidiki tentang beberapa efek hujan asam untuk kehidupan di bumi, dan terbukti bahwa hujan asam dengan pelan-pelan akan mempengaruhi kondisi ekosistem air, tahan, pertumbuhan pohon, tanaman kecil sampai kesehatan manusia.

Selain itu, para peneliti juga akhirnya memberikan batas antara hujan dengan kategori asam atau normal yakni 5, ada juga peneliti lain yang mengusulkan 5,6. Nilai ini berarti apabila hujan memiliki nilai asam di bawah 5, alias jumlah hidrogen positifnya sangat banyak karena yang berperan tidak hanya CO2 tetapi juga NOx dan SOx dengan jumlah yang besar.Hal ini sudah dikategorikan menjadi kondisi yang berbahaya.

Dirisis oleh BMKG pada desember 2019 dari pengamatan di 52 stasiun yang dimiliki, kondisi hujan rata-rata di Indonesia masuk kategori hujan asam. BMKG memilih skala 5,6 sebagai batas antara hujan normal ideal dengan hujan asam, dan yang lolos dari angka 5,6 atau yang bisa disebut ideal hanya hujan di area stasiun Cibeureum, Koba, Lasiana, Ngurah Rai, Supadio dan Yogyakarta. Sementara 46 stasiun pemantauan lain milik BMKG melaporkan bahwa hujan masuk kategori asam, dengan nilai terburuk dicatat di stasiun Mutiara dengan nilai pH sampai 4,39.

Teringat pengalan lirik lagu RAN, “meskipun kau kini jauh di sana – kita memandang langit yang sama – jauh di mata namun dekat di hati”. Lirik tersebut cukup mengambarkan tentang apa yang terjadi pada fenomena hujan asam ini, persoalan hujan asam tidak bisa diatasi oleh satu-dua orang. Langit di atas kita adalah tanggung jawab kita bersama.

Saat kita menginginkan kondisi hujan tetap menjadi manfaat dan penuh keberkahan, tentu kita bersama-sama harus bertanggung jawab agar jumlah gas NOx dan SOx di langit tidak semakin banyak. Cara yang paling simpel adalah dengan meminimalkan pembakaran bahan bakar fosil dan menyebabkan terrilisnya gas NOx dan SOx ke udara. Yang pasti adalah gas NOx itu berasal dari knalpot motor kita, sehingga kita bisa lebih bijak menggunakan kendaraan bermotor.

Sadar kesehatan ekologi seperti ini lah yang perlu ditumbuhkan dan dibicarakan di tengah-tengah doa kita ketika hujan turun. Bukankah ajaran Islam juga telah dengan jelas memberikan manusia tugas menjadi khalifah di bumi? Sehingga saat kondisi atmosfer sedang tidak baik-baik saja, tentu peran penting dari tangan kita sebagai khalifah yang ditunggu, bukan malah menjadi pengeruh kondisi.

Terlebih lagi, Islam juga mengajarkan bahwa Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kalau ia tidak berusaha, sehingga kesehatan ekologi tidak hanya selesai di meja diskusi kita, tetapi juga harus kita usahakan dengan maksimal agar alam tetap baik. Sebagai orang Islam yang sadar betul atas tugas ini, sudah sewajarnya kita harus lebih-lebih-lebih perhatian pada kondisi ekosistem. Dan tentu menjadi paradoks kalau kita tidak mau berbenah.

Begini maksud saya, yang berdoa hujan agar menjadi manfaat dan berharap keberkahan turun bersama hujan adalah kita, namun kondisi hujan yang sedemikian buruk adalah ulah tangan kita. Dengan kata lain, kita meminta sesuatu hal yang baik pada sesuatu yang sudah kita rusak sendiri. Aneh tapi nyata, bukan?