Pusat Kajian Islam Nusantara Pascasarjana UNUSIA Jakarta kembali mengadakan pengajian rutin atas kitab tafsir al-Ibriz. Pengajian tafsir karangan Kiai Bisri Musthafa ini dibaca oleh Gus Ulil Abshar Abdalla, salah satu dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta.
Pada seri kedua ini, Gus Ulil melanjutkan pembacaan tadarus sebelumnya, tepatnya QS al-Baqarah ayat 17. Ayat ini menjelaskan tentang ciri-ciri orang munafik.
Dalam ayat ini Kiai Bisri menerjemahkan kata “matsal” dalam redaksi ayat “matsaluhum kamatsalilladzistawqada an-nara” dengan “tepo” (Jawa). Arti “tepo” sendiri menurut Gus Ulil yang sebelumnya sempat menanyakan langsung kepada Kiai Mustafa Bisri (Gus Mus) yang merupakan putera muallif tafsir ini adalah kiasan. Jadi, dalam ayat ini, Allah SWT sedang menggambarkan ciri-ciri orang munafik dengan menggunakan kiasan atau perumpaan.
Jika kita membaca kitab-kitab tafsir standar yang dijadikan rujukan seperti tafsir Baidhowi misalnya, di sana dijelaskan bahwa keberadaan orang munafik adalah fenomena baru dalam masyarakat Islam. Ia muncul setelah Nabi hijrah ke Madinah sebagai reaksi atas munculnya Islam yang secara sosial-politik terlihat secara dominan dimana orang-orang munafik ini tidak berani melakukan perlawanan secara terbuka.
Orang-orang munafik ini melakukan perlawan secara sembunyi-sembunyi. Meski demikian, kata Gus Ulil, meskipun Nabi Muhammad SAW mengetahui identitas personal orang-orang munafik yang diperoleh melalui malaikat Jibril, Nabi tidak pernah menungkapkan identitas mereka dan mengidentifikasinya secara personal. Ini merupakan sesuatu yang menarik dan bisa dijadikan teladan bagi umatnya, bahwa ketidaksetujuan kita terhadap sebuah kelompok tidak serta merta kemudian dengan seenaknya menjelek-jelekkan mereka apalagi menunjuknya secara personal.
Dalam sesi tanya-jawab, terjadi diskusi yang cukup menarik. Salah satu dosen Pascasarjana UNUSIA Jakarta, Dr. Hamdani, menanyakan seberapa penting tafsir al-Ibriz ini dikaji dari sudut vernakularisasi? Menurut Gus Ulil, sudut vernakularisasi dari kitab tafsir ini bisa dilihat dari sejarah penulisan kitab ini dimana Kiai Bisri memperuntukkan kitab ini untuk masyarakat awam. Artinya bahwa Kiai Bisri melakukan penyerapan pemahaman al-Quran kemudian disajikan dan dijelaskan dalam bahasa Jawa dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat awam.
Pengajian tafsir ini selain dihadiri sekitar tujuh puluh orang baik dari mahasiswa S1, S2, para peminat pengajian di sekitar Jakarta, juga disiarkan secara langsung melalui sejumlah akun media sosial seperti facebook dan Instagram yang dinikmati oleh para santri online dari berbagai daerah baik dalam maupun luar negeri. [IM]