Pendakwah Salafi Yazid bin Abdul Qadir Jawas Sebut Menabuh Bedug Kebiasaan Orang Kafir, Benarkah?

Pendakwah Salafi Yazid bin Abdul Qadir Jawas Sebut Menabuh Bedug Kebiasaan Orang Kafir, Benarkah?

Akhir-akhir ini viral sebuah video ceramah Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang mengharamkan bedug. Dalam beberapa pernyataannya dalam video tersebut, Ustadz Yazid mengatakan bedug sama dengan alat musik lainnya, bahwa barang tersebut haram untuk ditabuh.

Pendakwah Salafi Yazid bin Abdul Qadir Jawas Sebut Menabuh Bedug Kebiasaan Orang Kafir, Benarkah?
Bedug Istiqlal menjadi salah satu ornamen unik dalam Istiqlal sekaligus penanda tradisi Islam di negeri ini. Pict by Elik Ragil

Akhir-akhir ini viral sebuah video ceramah Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas yang mengharamkan bedug. Dalam beberapa pernyataannya dalam video tersebut, Ustadz Yazid mengatakan bedug sama dengan alat musik lainnya, bahwa barang tersebut haram untuk ditabuh. Malah, Ustadz Yazid ini berpendapat bedug bukan syiar Islam, bedug disukai oleh iblis dan setan, bedug tidak disukai Nabi dan pernyataan negatif lainnya mengenai bedug.

Sebagai masyarakat muslim Indonesia yang akrab dengan bedug tentu kita akan merasa aneh dengan pendapat ustadz kontroversial tersebut. Bagaimana bisa beliau tanpa tedeng aling-aling mengharamkan tradisi dan budaya yang sudah melekat di kalangan muslim Indonesia.

Sejarah Bedug

Berdasarkan laman facebook Perpustakaan Nasional, bedug yang kita kenal sekarang berasal dari India dan China. Menurut legenda, Laksamana Cheng Ho yang berasal dari China datang ke Semarang, Jawa Tengah dengan membawa bedug. Kedatangan Laksamana tersebut disambut baik oleh Raja Jawa kala itu. Kemudian karena merasa dirinya diperlakukan baik, Laksamana Cheng Ho ketika hendak pulang, menawarkan hadiah kepada Raja. Iktikad baik dari Laksamana Cheng Ho diterima oleh Raja dia tidak menginginkan apapun dari Cheng Ho selain bedug yang ia bawa. Raja ternyata hendak menjadikan bedug sebagai pertanda waktu salat.

Menurut penuturan Kees Van Djik sejarawan Belanda dalam bukunya Perubahan Kontur Masjid bahwa masjid di Asia Tenggara tidak memiliki menara untuk mengumandangkan Adzan, maka sebagai gantinya masjid dilengkapi dengan bedug. Hingga akhirnya bedug menjadi hal yang tak terpisahkan dari masjid-masjid di Nusantara khususnya.

Imam Besar Masjid Istiqlal, Obama dan Bedug

Pada tahun 2010 silam, Kiai Ali Mustafa Yaqub, Imam Besar Masjid Istiqlal waktu itu kedatangan tamu tidak biasa, Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Kiai Ali Mustafa berkesempatan menjadi tour guide Obama ketika dia bermaksud mengunjungi Masjid Istiqlal. Peristiwa ini direkam dengan baik oleh penulis buku KH. Kiai Ali Mustafa Yaqub : Menjaga Sunnah Mengawal Akidah karya AM. Waskito. Dalam sebuah wawancara, Kiai Ali menceritakan dengan cukup detail bagaimana beliau “memamerkan” bedug kepada Obama.

Kiai Ali berujar bahwa bedug adalah simbol budaya Indonesia dan bukan berasal dari Islam. Akan tetapi meski demikian Islam datang bukan untuk memberantas budaya, jika memang budaya tersebut tidak bertentangan dengan syariat, Islam akan menyikapinya dengan baik. Bahkan bedug sudah menjadi simbol integrasi Islam dan budaya Indonesia.

Dalam kesempatan lain Kiai Ali berkata ketika ditanya bagaimana sebaiknya umat muslim menyikapi budaya: “Sepanjang budaya tidak bertentangan dengan ajaran Islam, maka kita boleh mengambilnya. Ini masuk wilayah muamalah. Silakan ikuti budaya Arab, silakan pakai sorban. Tapi jangan mengatakan orang yang tidak pakai sorban, tidak mengikuti Nabi. Saya pukul kalau ada orang yang mengatakan seperti itu. Silakan makan roti karena mengikuti budaya Nabi. Tapi jangan mengatakan orang yang makan nasi, tidak mengikuti Nabi. Demikian juga budaya Nusantara. Sepanjang budaya Nusantara tidak bertentangan dengan Islam, silakan ambil. Islam sangat memberikan peluang bagi budaya, selama budaya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam, boleh kita ambil. Silakan berkreasi dan ambil budaya apapun, selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.”

Sebab itu, ada baiknya Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas perlu banyak mempelajari sejarah Islam di Nusantara, supaya tidak keliru dalam menghukumi tradisi yang berlaku di Indonesia.