Resensi Buku Islamisasi Indonesia Timur: Melampaui Islam Nusantara yang Jawa-sentris

Resensi Buku Islamisasi Indonesia Timur: Melampaui Islam Nusantara yang Jawa-sentris

Islamisasi di Indonesia masih kental dengan narasi Walisongo yang Jawa-sentris. Buku Islamisasi di Indonesia Timur ini melampauinya.

Resensi Buku Islamisasi Indonesia Timur: Melampaui Islam Nusantara yang Jawa-sentris

Kita ketahui bahwa Islamisasi di Nusantara membangun hampir seratus lima puluhan kesultanan (kerajaan Islam) yang tersebar di seluruh wilayah di Nusantara, tak terkecuali di wilayah Indonesia Timur. Namun, realitasnya masih minim sekali dokumentasi atau tulisan yang mengkaji kesultanan Islam sebagai jejaring Islamisasi di Nusantara. Padahal, ini merupakan warisan sejarah yang tak ternilai harganya.

Teks dan khazanah sejarah Islamisasi di Indonesia Timur masih jarang sekali kita temukan. Tentu, ini menjadi satu refleksi kita bersama bahwa khazanah Islam Nusantara kita masih cukup Jawa-sentris. Hal ini kita lihat dari melimpahnya teks-teks dan literatur yang membahas proses Islamisasi Walisongo di tanah Jawa sebagai tokoh sentralnya. Akan tetapi masih minim sekali kajian yang fokus membahas kajian proses-proses Islamisasi di wilayah Indonesia Timur.

Hadirnya buku ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Ahmad Baso dalam bukunya Islam Pasca Kolonial;Perselingkuhan Reformis Agama, Kolonialisme dan Liberalisme bahwa suara-suara orang yang selama ini termarjinalkan oleh intelektual barat, juga layak kita dengar dan dituliskan. Buku “Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur” merupakan suara pencarian jati diri seorang penulis muda Hilful Fudhul Sirajudin Jaffar sebagai seorang Muslim dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Dia menyadari bahwa hasil pembacaan atas sejarah lokal itu penting dituliskan, setidaknya sebagai usaha bersuara atas dirinya sendiri bukan atas asumsi orang lain.

Buku ini menjadi sebuah jawaban bahwa proses penyebaran Islam di Nusantara tidak terputus antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. Hilful Fudhul dalam bukunya menggambarkan hal tersebut salah satunya melalui Panambo Lombok, dimana Datuk ri Bandang yang merupakan santri Sunan Giri hadir menjadi salah satu tokoh sentral dalam proses Islamisasi di wilayah Indonesia Timur. Hal itu bisa kita lihat pada bagian awal buku, Hilful Fudhul melalui esai-esainya yang merupakan hasil pembacaan atas berbagai refrensi yang didapat mengupas jaringan Islamisasi di wilayah Indonesia Timur mulai dari Gowa, Tallo, Maluku, Bima, Sumbawa dan Lombok. Pada bagian awal buku ini sangat kaya akan kajian naskah dan manuskrip lokal sebagai pendukung data penulis.

Beberapa esainya pada bagian awal, Hilful Fudhul menyajikan kajian Lontara Gowa, Lontara Wajo, BO Sangaji Kai, yang mana ini juga merupakan usaha menyingkap tabir orientalis dalam penulisan sejarah kita, yang hari ini cukup melekat pada narasi sejarah kontemporer bangsa Indonesia. Begitupun dalam buku karya Hilful Fudhul menyampaikan keresahannya bahwa tidak saja kekayaan alam macam rempah-rempah, perubahan jalur ekonomi, dan perubahan tata kelola bangsa yang berubah di era kolonial, melainkan jati diri sebuah bangsa yang hilang bersamaan dengan dirampasnya manuskrip serta naskah-naskah peninggalan bangsa (hlm. 21).

Di bagian awal buku ini, kita mampu melihat bahwa secara umum jaringan Walisongo tidak hanya terpusat di Jawa saja tetapi menyebar ke seluruh penjuru Nusantara. Hal inilah yang nantinya dihancurkan oleh para penjajah yang memecah-belah dan mengaburkan kesatuan jaringan yang ada. Tidak berhenti pada Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro saja sesuai yang tertulis pada Bo Sangaji Kai, pada bagian kedua buku ini Hilful Fudhul juga mengupas tuntas terkait Jaringan Ulama yang ikut andil dalam Islamisasi wilayah Indonesia Timur. Pada bagian kedua penulis menyuguhkan jaringan dan sanad keilmuan antara Ulama Indonesia Timur dengan ulama-ulama di seluruh penjuru Nusantara. Dari sinilah kita bisa melihat peta pengaruh perkembangan Islam di berbagai daerah di Nusantara.

Hadirnya buku ini juga memberi data mengenai beberapa ulama berpengaruh di wilayah Indonesia Timur yang membentuk jaringan Ulama di wilayah Indonesia Timur serta singgungannya dengan wilayah lainnya di Nusantara. Hal ini terjadi lagi-lagi disebabkan oleh konstruksi orientalisme yang sangat kental dalam teks-teks sejarah kita. Saya beranggapan bahwa dalam bagian kedua buku ini menyuguhkan urgensi buku ini, yakni menyambung mata rantai khazanah Islam Nusantara. Akan tetapi, pada bagian kedua buku ini kurang detail menjelaskan terkait periodisasi perkembangan Islam di wilayah Indonesia Timur.

Bagian ketiga buku ini mengingatkan saya pada buku Kesultanan Serdang;Perkembangan Islam pada Masa Pemerintahan Sulaiman Shariful Alamsyah yang di dalamnya dikatakan bahwa kajian suatu kasultanan tidak bisa dilepaskan dari pusat kebudayaan. Masing-masing kasultanan dan kerajaan Islam memiliki dan mengembangkan berbagai ekspresi seni budaya, adat-istiadat, etika sosial, budaya keagamaan dan sebagainya. Berbagai jenis dan unsur budaya ini secara masif dikembangkan ke berbagai kota dan desa yang menjadi wilayah kekuasaan, yang kemudian menjadi ciri dan identitas budaya lokal yang bernilai tinggi dan harus dilestarikan.

Hilful Fudhul menyuguhkan tradisi dan budaya masyarakat Bima di bagian ketiga. Penulis menegaskan bahwa akulturasi budaya antar daerah di Nusantara cukup kuat, hal itu menjadi salah satu bukti otentik bahwa jejaring keislaman, jejaring kebudayaan di Nusantara merupakan satu kesatuan yang utuh. Selain itu, Hilful Fudhul juga menyampaikan pesan dalam beberapa esainya pada bagian ketiga ini, bahwa perkembangan zaman menjadi tantangan pelestarian budaya-budaya lokal, penulis menggambarkan pada era hari ini tradisi dan budaya para pendahulu merupakan hal yang rawan sekali memudar jika tidak dirawat dan dilestarikan.

Dominasi kaum orientalis dalam memberi pandangan atas keislaman orang Nusantara berlangsung ratusan tahun lamanya, pandangan yang seakan tidak memberikan peluang untuk kita berfikir berbasis data manuskrip dan naskah-naskah kuno peninggalan leluhur Bangsa Indonesia. Buku “Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur” karya Hilful Fudhul Sirajudin Jaffar merupakan satu naskah baru khazanah Islam Nusantara di Indonesia Timur terutama Islam di Bima.

Dalam konteks akademik, buku ini jelas menjadi pemantik membuka perdebatan panjang proses Islamisasi di Indonesia Timur, serta mendorong kepenulisan sejarah lokal berbasis manuskrip dan naskah para leluhur di berbagai daerah di Nusantara. Hal tersebut penting dilakukan sebagai satu ikhtiar pencarian jatidiri Bangsa dalam menyingkap sejarah di Indonesia Timur yang masih buram.

Selain kuatnya narasi orientalis terhadap literatur sejarah bangsa Indonesia, juga terdapat narasi kelompok Islamis yang menggiring opini sejarah Islam di Indonesia ada di bawah sebuah kekhalifahan global. Kesultanan-kesultanan di Nusantara dinarasikan sebagai bagian dari kesultanan Turki. Narasi tersebut bernada konspirasi, bias data, tapi cukup menjadi bahan untuk propaganda atas ideologi khilafah yang selalu digemborkan di Indonesia hari ini. Maka dari itu, hadirnya buku ini menjadi penting untuk dibaca dan disebarkan, juga buku yang bertemakan serupa untuk dipropagandakan supaya mendapat gambaran sejarah Islam di Nusantara secara menyeluruh.

Judul               : Jaringan Ulama dan Islamisasi Indonesia Timur

Penulis            : Hilful Fudhul Sirajudin Jaffar

Penerbit           : IRCiSoD

Tahun              : 2020

Tebal               : 131 Halaman

ISBN               : 978-623-7378-80-8