KH. Ali Mustafa Yaqub: Sulit Mencari Dalil yang Mengharamkan Menari dan Menyanyi

KH. Ali Mustafa Yaqub: Sulit Mencari Dalil yang Mengharamkan Menari dan Menyanyi

Dalil yang mengharamkan menyanyi dan menari secara tegas hampir tidak ada, karena itu masuk dalam ranah muamalah.

KH. Ali Mustafa Yaqub: Sulit Mencari Dalil yang Mengharamkan Menari dan Menyanyi

Ajaran Islam universal. Relevan dengan setiap kondisi masa dan tempat. Islam juga mengapresiasi budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Mantan Imam Besar Istiqlal Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub menegaskan bahwa kita harus arif terhadap budaya lokal. Kalau tidak bertentangan dengan syariat Islam, tidak harus ditolak. Sebaliknya, apa yang dilakukan Rasulullah yang berkaitan dengan budaya tidak mesti juga diikuti.

Almarhum KH. Ali Mustafa Yaqub memberi contoh dalam hadis shahih dikatakan a’linun nikaha bil dhufuf (umumkan pernikahan dengan rebana). Rebana itu alat musik yang dikenal pada masa Rasulullah SAW. Rebana adalah bagian dari budaya. Kalau muslim Indonesia mengadakan pesta pernikahan dengan mengundang group rebana itu boleh, tapi ingat bukan wajib. Kalaupun tidak mau rebana, tapi menggunakan alat musik lokal itu juga tidak apa-apa. Sebab apa yang disampaikan Rasul dalam hadis itu berkaitan dengan budaya, bukan agama.

Terkait praktik kesenian, seperti menari dan menyanyi, menurut pendiri Pesantren Ilmu Hadis Darus-Sunnah ini sulit mencari dalil yang mengharamkannya. Beliau mengakatan, “Saya mencontohkan menari atau menyanyi misalnya, kalau kita cari, dalil yang mengharamkan sulit untuk mencari dalil yang mengharamkan menari. Maka seorang istri boleh aja menari untuk suaminya di dalam kamar.”

Dalil yang mengharamkan menyanyi dan menari secara tegas hampir tidak ada, karena itu masuk dalam ranah muamalah. Kaidah mengatakan, “Al-Ashlu fil Mu’amalah al-Ibahah/asal hukum dari muamalah adalah boleh”. Menyanyi dan menari masuk dalam kategori muamalah. Hukumnya boleh selama tidak ada dalil yang melarang. Menari dan menyanyi bisa masuk pada ranah keharaman bila kandungan syair, cara bernyanyi, dan menarinya, tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam.

“Dalil yang mengharamkan tidak ada. Itu masuk wilayah yang namanya muamalah, al-ashlu fil mu’amalah al-ibahah. Menyanyi juga demikian, tapi kalau menyanyi itu syairnya kalimat-kalimat yang batil, kalimat yang mengandung kemusyrikan misalnya, penampilannya, yang menyanyi perempuan misalnya dengan busana yang sangat minimalis, ditonton oleh mata laki-laki, melupakan shalat dan sebagainya, itu baru, keharamannya sangat jelas sekali” Tegas KH. Ali Mustafa Yaqub.

Tarian dan nyanyian itu perlu dilihat dari dampaknya, kalau dampaknya positif dan praktinya tidak melanggar syariat Islam hukumnya boleh, tapi kalau dampaknya negatif dan mengarah pada kemaksiatan, serta praktik dan ekspresinya bertentangan dengan nilai-nilai Islam, hukumnya haram.