Al Ma’mun, atau lengkapnya Abū Jaʿfar Abdullāh al-Ma’mūn ibn Hārūn al-Rashīd, khalifah ketujuh dari Dinasti Abasyiah itu berdiri di balkon Bait al-Hikmah yang megah, yang dibangun berdasar saran para ahli nujum dan arsitek terbaik zaman itu. Dinasti Abasyiah tengah berada di puncak kejayaannya setelah sekitar seabad lalu berhasil menggulung kekuasaan para keturunan Abu Sufyan.
Di hadapannya membentang kota Baghdad yang sentosa. Orang-orang meriuh lalu lalang. Menara-menara menjulang. Suara azan berkumandang dari kejauhan menandai maghrib yang datang bersama semburat lembayung yang muncul di langit sebelah barat.
Pandangan Al-Ma’mun menatap lurus ke arah gurun besar yang terhampar di sebelah kota Bagdad. Ke sanalah ia mengutus tim ekspedisi khusus yang dibentuknya demi memenuhi ambisi dan keingintahuannnya yang paling dalam sejak masa kanak: berapa besar sebenarnya ukuran bumi ini?
Dari salah satu kitab yang ditulis Ptolomeus, ia membaca bahwa panjang keliling bumi adalah sekian ribu shades. Tapi apa itu shades? Benarkah klaim Ptolomeus itu? Para ahli bahasa, penerjemah, dan para ilmuwan yang dipanggilnya hanya memberi jawaban yang berbeda-beda dan malah membuatnya semakin bingung.
Tim ekspedisi itu berangkat menuju gurun Sinjar di dekat kota Mosul. Di sana mereka mulai mengerjakan pemetaan bumi, mengukur satu derajat lingkaran bumi, melanjutkan upaya yang pernah dilakukan ahli matematika Yunani kuno, Eratosthenes, untuk kemudian menghitung panjang lingkaran bumi. Tim ilmuwan itu menyusuri garis meridian sambil membawa alat pengukur berbasis sinar matahari.
Sambil membelai rambut janggutnya yang sebagian sudah mulai memutih, maghrib itu al-Ma’mun menunggu laporan para penelitinya. Sebuah penelitian yang—satu abad kemudian—oleh al-Biruni dianggap sebagai metode usang yang tidak perlu. Mewarisi pengetahuan yang dirangkum di dalam Bait al-Hikmah yang didirikan al-Ma’mun, di sebuah puncak dunung di daratan Hindustan, al-Biruni menemukan cara trigonometrik untuk mengukur keliling bumi tanpa harus berpanas-panasan di atas gurun pasir seperti yang dilakukan para peneliti al-Ma’mun. Hal-hal serupa temuan al-Biruni inilah barangkali yang diimpikan al-Ma’mun, yang kadang tak sempat dipetiknya sendiri: pengetahuan yang melimpah dan berkembang tanpa batas.
Kegandrungan Al-Ma’mun dan keingintahuannya pada “hal-hal sepele” (seperti ukuran bumi, letak bintang tertentu, ukuran lintasan matahari, dan semacamnya), membuat proyek ilmu pengetahuan saat itu melampaui apa yang menjadi tugas utamanya.
Jika sebelumnya para ilmuwan hanya bergelut dengan upaya-upaya teknis pemetaan dan astronomi demi kebutuhan relijius: menentukan arah kiblat yang tepat (ingat, semakin jauh orang islam dari tanah Mekah maka semakin rumit pula mereka menentukan arah kiblat), di bawah perintahnya pencarian pengetahuan menjadi upaya besar untuk meneruskan jejak para bijak Yunani kuno yang dengan konyol dicampakkan bangsa Romawi.
Mata tajam al-Ma’mun di balkon itu masih menatap turunnya Maghrib. Di benaknya tersimpan beribu pertanyaan dan keingintahuan. Kekuasaan besar yang ia raih pada tahun 813 melalui pertikaian penuh darah dengan saudara tirinya—al Amin—ia dedikasikan betul pada upaya-upaya ilmu pengetahuan.
Ia gelontorkan begitu banyak uang demi ambisi intelektualnya, mendirikan dan mengembangkan Bait al-Hikmah, sebuah institusi ilmu pengetahuan paling maju di zamannya. Ia mengirim satu pasukan khusus menuju Romawi Timur hanya untuk berbelanja buku, termasuk buku bekas.
Di bawah kuasanya, pengetahuan seperti lebih penting daripada hal lain. Pampasan perang berupa buku lebih dihargai daripada pampasan harta benda. Bahkan, konon, buku kuno Almagest karya Ptolomeus, adalah syarat perdamaian dengan Kekaisaran Bizantium. [bersambung]
Heru Prasetya, Penulis Lepas.