Ketika Allah Tak Peduli Tampangmu

Ketika Allah Tak Peduli Tampangmu

Bagaimana jika Allah tidak peduli denganmu?

Ketika Allah Tak Peduli Tampangmu

Saat sebagian orang tampak begitu bersemangat merias diri, bahkan hingga melakukan berbagai usaha berlebihan untuk mengakali kenyataan, Tuhan rupanya malah menegaskan bahwa Ia tak peduli soal penampilan. Tuhan juga tak tertarik untuk melirik manusia berdasarkan timbunan harta.

Di mata Tuhan, penampilan dan harta kekayaan tak akan bisa digunakan untuk membeli kasih sayang, sebab, sebagaimana diriwayatkan Bukhori dari penjelasan nabi, Tuhan lebih mementingkan isi hati dan amal kebaikan.

إِنَّ اللهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَلاَ إلَى أَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ (رواه البخارى)

“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat penampilan dan kekayaan kamu, akan tetapi melihat hati dan amalanmu.” (HR al-Bukhari).

Lebih lanjut Rasul menjelaskan bahwa kita sebaiknya berusaha agar menjadi manusia terbaik, dan itu semua tidak bergantung pada penampilan dan harta kekayaan. Siapapun, termasuk anda dan saya, bisa menjadi manusia terbaik. Kita hanya perlu melakukan empat hal berikut; (1) rajin membaca Alquran, (2) bertaqwa kepada Tuhan, (3) menyeru kebaikan dan mencegah keburukan, serta (4) menyambung silaturahmi.

4 hal di atas bersumber pada hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal. Kala itu, datang seorang pemuda kepada Rasul mengajukan pertanyaan perihal siapakah orang yang paling baik? Apakah orang yang berpenampilan menawan ataukah orang yang bergelimang harta kekayaan? Lantas bagaimana dengan kebanyakan orang yang tak memiliki kedua keistimewaan di atas, masih bisakah mereka menjadi manusia paling baik?

Dengan empat hal yang dijelaskan Rasul di atas, beliau seperti menampik anggapan bahwa Tuhan lebih menyenangi kemewahan, sebab Tuhan adalah sumber dan pusat segala kemewahan.

Bagi Rasul, syarat pertama untuk menjadi manusia yang paling baik adalah kecintaan pada Alquran. Itu sebabnya beliau meletakkan “Rajin membaca Alquran” di urutan pertama. Tentu tidak dalam artian sebatas melakukan aktivitas membaca saja, melainkan juga mempelajari dan meresapi setiap ajaran yang ada di kitab suci ini dengan sepenuh hati.Untuk kemudian dipraktekkan dalam laku hidup sehari-hari.

Dengan kata lain, Alquran tidak difungsikan sebatas bacaan, melainkan panduan. Rasul mencontohkan ini, hingga saat ditanya seperti apakah akhlak Rasul, Aisyah R.A segera menjawab, “inna khuluqahu al-Qur’an (Sesungguhnya akhlak Rasulullah Saw adalah al-Quran itu sendiri). (HR al-Bukhari).

Syarat kedua untuk menjadi manusia paling baik adalah taqwa. Secara bahasa, taqwa berarti “takut”; orang-orang yang taqwa selalu meliputi dirinya dengan rasa takut, namun bukan takut akan ancaman siksa neraka, melainkan takut jika Tuhan tak lagi sayang dan berhenti meridhoi. Melalui QS Al Hujarat 13 Allah menegaskan bahwa manusia yang paling mulia adalah mereka yang paling bertaqwa, bukan yang berharta atau berparas mempesona.

Syarat ketiga, menyeru kebaikan dan mencegah keburukan. Manusia yang baik adalah mereka yang paling bermanfaat untuk sesamanya. Yakni, orang yang tidak berhenti menyeru kebaikan dan tak berdiam diri saat keburukan terjadi. Namun perlu diperhatikan, dua hal di atas harus dilakukan dengan dasar kasih. Itu sebabnya, kebaikan tak boleh ditegakkan dengan keburukan, begitu pula memerangi keburukan yang tidak boleh dilakukan dengan keburukan pula.

Allah secara tegas melarang kita membuat kerusakan, bukan saja kerusakan dalam hal fisik atau bangunan, namun juga kerusakan pada rasa aman dan tentram. Karenanya, selalu landasi setiap perilaku kita dengan rasa kasih dan ditujukan semata-mata untuk mendapat ridho dari Allah.

Syarat terakhir (keempat) untuk menjadi manusia yang paling baik adalah menjaga silaturahmi. Meski terkesan mudah, nyatanya menjaga silaturahmi tak selalu gampang untuk dilakukan, terutama jika sudah ada banyak kepentingan, jalinan persaudaraan bisa begitu saja putus di tengah jalan. Padahal Rasul sudah pernah menjamin, “siapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung silaturrahim” (HR al-Bukhari).

Menyambung silaturahmi sebaiknya tak hanya ditujukan kepada orang-orang yang sudah dekat secara hubungan saja, tetapi juga kepada orang-orang yang jauh atau bahkan menjauhkan diri dari kita. Tetap besarkan hati untuk lebih mudah memaafkan, sebab silaturahmi perlu keikhlasan, bukan pencitraan, apalagi tampilan penuh riasan. Sebab Tuhan tak peduli tampangmu.