Akhir-akhir ini ramai di media sosial terkait pernyataan Din Syamsuddin yang menyebut tiga syarat yang bisa dijadikan alasan untuk pemakzulan presiden atau pemimpin. Syarat-syarat ini diklaim oleh Din dikutip dari al-Mawardi, yang akhir-akhir ini sering dijadikan “rujukan” kelompok HTI.
Dalam pernyataannya Din menyebutkan bahwa ada dua syarat yang membuat seorang pemimpin bisa dimakzulkan. Pertama, ketidakadilan; Kedua, ketiadaan ilmu pengetahuan. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menuturkan, apabila seorang pemimpin menciptakan ketidakadilan atau menciptakan kesenjangan sosial di masyarakat maka sangat mungkin untuk dimakzulkan.
“Apabila tidak adil di masyarakat, hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya dari yang lain, ada kesenjangan sosial ekonomi, sudah dapat makzul,” katanya.
Sedangkan syarat ketiga, menurut Din adalah ketiadaan kemampuan atau kewibawaan pemimpin dalam situasi kritis; kondisi itu kerap terjadi ketika seorang pemimpin tertekan kekuatan dari luar. Ia mengibaratkan kondisi itu seperti suatu negara yang kehilangan kedaulatan akibat kekuatan asing.
“Apabila pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul,” ungkapnya sebagaimana dikutip dari Kronologi.id
Seorang guru besar dari UIN Sunan Kalijaga, Muhammad Machasin mencoba menelisik kembali sumber kitab yang disebutkan oleh Din ini. Machasin memang menemukan beberapa penjelasan terkait perubahan seorang pemimpin yang menjadikannya dianggap tidak layak untuk melanjutkan tampuk kepemimpinannya
“Ku buka al-Aḥkām al-ṣulṭānīyah, karya al-Māwardī dan kutemukan beberapa penjelasan berikut ini:
وَاَلَّذِي يَتَغَيَّرُ بِهِ حَالُهُ فَيَخْرُجُ بِهِ عَنِ الْإِمَامَةِ شَيْئَانِ:
أَحَدُهُمَا: جَرْحٌ فِي عَدَالَتِهِ. وَالثَّانِي: نَقْصٌ فِي بَدَنِهِ.
“Perubahan keadaan pemimpin yang menyebabkannya tidak layak lagi memimpin ada dua: (1) luka pada keadilannya, (2) kekurangan dalam fisiknya,” tulis Machasin dalam akun Facebook resminya.
Dari dua hal ini, terlihat bahwa masterpiece al-Mawardi ini tidak menjelaskan tiga syarat yang disebutkan oleh mantan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antaragama dan Peradaban Jokowi ini.
Hal ini juga dipertanyakan oleh Machasin. Machasin pun mempertanyakan alasan Din mengutip al-Mawardi yang selama ini sering dijadikan rujukan terkait khilafah islamiyah ini.
” Pertama, mengapa al-Mawardi yang menulis bukunya untuk Khilafah Islam digunakan Din Syamsuddin sebagai rujukan untuk menimbang kepemimpinan Indonesia, yang dibangun tidak atas dasar satu agama tertentu, melainkan Pancasila? Kedua, dari mana ketiga syarat pemakzulan presiden di atas diambil?” tulis Machasin.
Dalam catatannya tersebut, Machasin menyebut, memang ada 10 hal yang disebutkan al-Mawawrdi terkait tugas pemimpin (khalifah dalam ungkapan al-Mawardi) dalam urusan publik, yaitu:
- Menjaga agama,
- Menerapkan hukum di antara orang-orang yang bertikai,
- Menjaga keamanan negara (al-baiḍah wal-ḥarīm),
- Melaksanakan hukuman (al-ḥudūd),
- Menjaga perbatasan,
- Memerangi orang yang menentang Islam setelah didakwahi,
- Menarik royalty dan pajak (al-fai’ wal-ṣadaqāt)
- Membagi bantuan kepada yang berhak
- Mengangkat pejabat dan pegawai serta penasehat yang layak dan terpercaya, dan mencukupi gaji mereka sehingga dapat bekerja dengan baik,
- Melakukan pengawasan dan mengetahui keadaan umat dan tidak mengandalkan orang lain.
Machasin menduga, bisa jadi yang disebut oleh Din Syamsuddin terkait syarat tersebut bukan dari kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah, melainkan dari kitab al-Mawardi yang lain.
“Kelihatannya bukan dari kitab al-Mawardi yang ini,” tulis mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini.
Dalam kesempatan yang berbeda, mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah yang lain, Syafii Maarif juga menyayangkan pernyataan terkait pemakzulan presiden ini. Menurut Buya, panggilan akrabnya, pernyataan terkait pemakzulan presiden ini dikhawatirkan malah menambah beban rakyat yang sedang menderita akibat pandemi.
Baca juga: Pemakzulan Presiden Menurut al-Mawardi dan an-Nawawi
“Amatlah tidak bijak jika ada sekelompok orang yang berbicara tentang pemakzulan presiden yang dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas. Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan bisa menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat,” ungkap Buya Syafi’i Ma’arif. (AN)
Tulisan ini telah mengalami beberapa suntingan dari redaksi setelah dimuat pertama kali di Islamidotco