Alkisah, seorang pelacur tua, mungkin tinggal seonggok daging penuh dengan kuman penyakit kotor, tertatih-tatih menempuh perjalanan di padang pasir. Perbekalan tinggal air sekendi belaka, padahal perjalanan masih jauh.
Tiba-tiba dilihatnya seekor anjing tergeletak begitu saja di tempat sepanas itu. Tiada harapan lagi untuk hidup, karena sudah tidak kuasa berjalan lagi. Tinggal menunggu saat kematian.
Tak sampai hatinya melihat penderitaan anjing itu, pelacur tersebut lalu meminumkan airnya yang tinggal sedikit itu ke mulut makhluk sial dangkalan itu.
Makhluk hina itu lalu mampu meneruskan perjalanan, dan menyelamatkan diri dari kematian.
Menurut cerita itu, sang pelacur akhirnya mati kehausan, sang anjing selamat sampai di kota dan berhasil memelihara kelangsungan hidupnya.
Tetapi, kematian pelacur itu berujung pada kebahagiaan abadi, karena ia langsung masuk sorga abadi. Sorga tertinggi. Karena keibaannya yang tiada terhingga kepada makhluk lain, hingga melupakan keselamatan diri sendiri, ia memberikan darma bakti tertinggi kepada kemanusiaan.
Ini yang disebut kebahagiaan tanpa batas, dan dengan itu ia bermodal cukup masuk sorga. Walaupun sebelum itu, ia sudah begitu rupa bergelimang dengan dosa.
Lain lagi kisahnya sang kiai. Sewaktu akan bepergian ke kota lain, kiai bujangan yang berdiam seorang diri di rumahnya, samar-samar ingat akan kebutuhan burung peliharaannya kepada air minum.
Rasa malasnya timbul. Ah, biarkan saja, tidak apa-apa, binatang kan tahan haus. Itu pun hanya sehari. Ternyata kiai yang saleh dan berpengetahuan agama sangat mendalam itu terhambat perjalanannya, kembali ke rumah beberapa hari kemudian. Didapatinya burung tersebut sudah mati.
Karena burung toh bukan makhluk berharga tinggi, ia pun segera melupakan akan hal itu. Biasanya saja, ada makhluk lahir dan ada makhluk mati, soal kehausan hanyalah sebab belaka.
Bagaimana nasib kiai tersebut di akhirat kelak? Menurut cerita sufi itu, ia masuk Neraka Wail, neraka terdalam. Pasalnya?
Karena ia menganggap sepele keselamatan makhluk yang ada di dunia ini. Setiap makhluk, dari yang sebesar- besarnya hingga yang sekecil-kecilnya sekalipun, memiliki nilainya sendiri. Tidak hanya bagi dirinya sendiri, tetapi bagi siklus kehidupan secara umum. Bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi.
Dengan kata sederhana, sikap pak kiai saleh dan berilmu agama mendalam itu adalah sikap meremehkan pentingnya arti kehidupan secara keseluruhan. Sikap tidak menghargai keagungan dan kehebatan kreasi Allah yang sangat menakjubkan itu.
Sikap meremehkan kehendak Allah akan perlunya kehidupan dilestarikan sebagai tanda pengakuan akan keagungan dan kebesaranya sendiri. Dua dimensi dari cinta dan kasih sayang sesama makhluk, seperti dipaparkan cerita sederhana di atas, menunjukkan dengan jelas bahwa keberagamaan secara formal semata-mata belum menjamin adanya rasa keberagamaan dalam arti sesungguhnya.
Masih jauh nian, jarak antara formalitas kehidupan beragama dan kedalaman kehidupan beragama itu sendiri. Masih sangat lebar jurang antara religi dan religiusitas, antara hidup beragama dan rasa keberagamaan.
Tuntutan bagi kita sudah tentu adalah bagaimana menjembatani antara keduanya. Semata-mata mengandalkan religi, atau formalitas keagamaan belaka; kita tidak akan mencapai religiusitas. atau rasa keberagamaan, yang cukup mendalam untuk menyelamatkan diri dari godaan melupakan kebesaran Allah dan keagungan-Nya.
Ternyata tidak mudah menjadi seorang beragama yang benar-benar dapat dinamakan beragama, bukan?
*) KH. Abdurahman Wahid, tulisan ini pertama kali dimuat di Harian Pelita, 20 Juli 1988.