Gus Dur, tak bisa tidak, memang menjadi magnet yang luar biasa. Ia adalah sosok pemimpin dengan visi yang luar biasa. Oleh banyak pihak, ia dianggap sebagai presiden terbaik di masa reformasi. Dengan durasi kepemimpinan yang amat singkat, ia mampu memberikan kemajuan besar bagi iklim sosial-politik tanah air.
Di masa kepemimpinannya, ia membubarkan departemen penerangan yang di masa orde militeristik sering dijadikan alat untuk mengekang kebebasan pers. Juga, Gus Dur menjadi aktor penting dalam memperjuangkan penetapan tahun baru imlek sebagai hari libur nasional, mengeluarkan banyak kebijakan terkait penyelesaian masalah HAM, serta mempraktikkan diplomasi dialog dalam setiap penyelesaian konflik sosial saat itu.
Gus Dur bahkan sempat membuat langkah berani dengan mengusulkan pencabutan TAP MPRS no. XXV tahun 1966 tentang Pembubaran PKI dan Pelarangan Penyebaran Paham Komunisme, Marxisme dan Leninisme sebagai usaha untuk mendorong kebebasan dalam berideologi.
Maka, tak mengherankan jika ketika ia lengser, orang-orang menganggap bahwa Indonesia belum siap punya pemimpin seperti Gus Dur.
Sebagai penduduk sipil pada umumnya, saya tentu tak pernah punya pengalaman berinteraksi dengan Gus Dur, namun saya tak bisa menafikan, Gus Dur punya dampak yang besar dalam pergulatan hidup saya.
Hubungan asmara saya berjalan dengan sangat baik, salah satunya karena Kalis, istri saya, bergabung di Gusdurian, sebuah organisasi sosial yang melanjutkan nilai-nilai perjuangan almarhum Gus Dur, organisasi yang mula-mula sempat saya salah sangkakan sebagai komunitas anak kiai yang menyukai durian (saya mengira Gusdurian adalah Gus-Durian, bukan Gusdur-ian).
Bergabungnya Kalis ke komunitas Gusdurian membuatnya pindah dari Solo ke Jogja, dan karena hal itulah, kami kemudian dekat dan bahkan menikah.
Hubungan tersebut secara tak langsung juga membuat saya bergaul dengan orang-orang yang saling tertaut karena lingkar pertemanan dan jaringan di Gusdurian. Hal itu pula yang membuat saya mau tak mau ikut tertular dengan nilai-nilai keteladanan Gus Dur, tahu kisah-kisah Gus Dur, hingga akhirnya membawa saya pada fase mengidolakan Gus Dur, meski tidak militan dan fanatik.
Hal itu membuat pandangan saya tentang banyak hal menjadi agak ke-Gusdur-Gusdur-an. Dalam mengelola toko buku Akal Buku, misalnya, buku-buku yang saya stok umumnya adalah buku-buku yang punya keterkaitan pandangan dengan nilai-nilai yang dibawa Gus Dur.
Dalam pergaulan sosial, saya selalu mencoba untuk bisa bergaul seperti bagaimana Gus Dur bergaul. Ia bisa berkumpul dengan banyak kalangan, selalu mencoba menjadi pemecah kekakuan, selalu menjadi pihak yang ingin menggembirakan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Dalam urusan politik pun demikian. Di momentum pemilu seperti sekarang ini, salah satu pertimbangan saya dalam memilih presiden atau wakil presiden adalah yang berbasis Gus Dur. Siapa yang paling bisa mendekati Gus Dur, atau setidaknya, paling dipercaya oleh Gus Dur.
Ini sama halnya seperti orang-orang yang mengidolakan Jokowi dan kemudian memutuskan akan mencoblos capres/cawapres yang paling “direstui” oleh Jokowi, yang mana semua pasangan capres/cawapres, baik Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud, apalagi Prabowo-Gibran, berusaha memperebutkannya.
Soal “yang paling Gus Dur” ini, saya tentu tidak peduli Jokowi mau merestui siapa. Yang saya pedulikan adalah capres/cawapres mana yang punya kadar “Gus Dur” yang paling besar. Sesederhana itu pilihan saya.
Prabowo-Gibran punya modal Gus Dur, sebab Prabowo pernah mendapat testimoni dari Gus Dur sebagai orang yang tulus atau ikhlas. Anies-Muhaimin pun demikian, mereka diusung PKB, partai yang dibesarkan oleh Gus Dur. Sementara Ganjar-Mahfud punya modal ke-gus-dur-an sebab ada Prof Mahfud MD di sana, sosok yang semua orang tahu, adalah salah satu orang yang sangat dipercaya oleh Gus Dur.
Mana yang akan saya pilih?
Saya masih belum tahu, nanti di bilik suara akan mencoblos siapa. Namun sejauh ini, saya masih menjatuhkan pilihan pada Ganjar-Mahfud. Saya tidak terlalu cocok dengan Ganjar, namun kehadiran Prof Mahfud adalah poin plus tersendiri.
Saya suka dengan cara memimpin Gibran, namun saya tak suka dengan bagaimana ia naik. Maka, saya merasa perlu mengeliminasinya.
Saya juga sempat mempertimbangkan Anies-Muhaimin. Mereka pasangan yang menarik, luwes, dan lucu. Konten-konten mereka di media sosial amat menyenangkan. Namun penandatanganan pakta integritas pasangan capres/cawapres ini beberapa waktu yang lalu dengan Ijtima Ulama, di mana salah satu poinnya adalah menjalankan secara konsisten amanat TAP MPRS no. XXV tahun 1966 cukup membuat saya patah hati, sebab, TAP ini oleh Gus Dur justru diperjuangkan agar dicabut.
Maka yang tersisa adalah pasangan Ganjar-Mahfud. Apakah ini pasangan terbaik? Entahlah. Namun yang pasti, Prof Mahfud adalah sosok yang sangat dipercaya oleh Gus Dur, dan karena alasan itu, sebagai orang yang mengidolakan Gus Dur, saya merasa agak ringan jika harus memilihnya di Pilpres nanti.
Saya merasa, negeri ini perlu sosok seperti Prof Mahfud. Saya suka dengan sikap blak-blakannya, saya suka dengan cara dia menggertak politisi lain dengan gaya bicara yang sangat Madura itu, juga suka dengan cara dia berkompromi dengan berbagai kondisi. Pada titik tertentu, walau tentu saja tidak mungkin, saya bahkan berharap agar Prof Mahfud yang jadi capres, sedangkan Ganjar jadi cawapresnya.
Tentu saja Prof Mahfud tidak akan bisa menjadi Gus Dur, namun seharusnya ia paham, bagaimana Gus Dur memimpin, dan semoga ia mampu untuk sedikit menirunya, dengan gayanya sendiri.
Gus Dur, dalam banyak hal, memang selalu mampu menjadi benchmark yang sempurna. Ia sosok yang selalu memberikan manfaat kepada banyak orang. Bukan hanya saat dia hidup, tapi bahkan setelah ia meninggal.
Uang kotak infaq di area makamnya hingga kini rutin mengumpulkan setidaknya 2 miliar rupiah setiap tahunnya yang diberikan kepada orang-orang miskin yang berada di sekitar Pondok Pesantren Tebuireng.
Ah, bahkan dalam wujud yang sudah tiada, Gus Dur masih terus memberi. Begitu susah untuk tidak mengidolakannya.