Party Switching alias Kutu Loncat: Murtad atau Mualaf Politik?

Party Switching alias Kutu Loncat: Murtad atau Mualaf Politik?

Kutu loncat dalam politik seperti biasa saja, artikel ini coba menguliknya dalam kacamata ilmu politik

Party Switching alias Kutu Loncat: Murtad atau Mualaf Politik?
Di beberapa daerah, PKS-Gerindra-PDIP memang tampak bermesraan, beda dengan di pentas nasional. Politik oh Politik.

Bolehkah orang berpindah-pindah dari satu parpol ke parpol lain? Bolehkah orang berpindah dukungan politik dari satu kekuatan ke kekuatan lain? Jawaban objektifnya: boleh. Jawaban subjektifnya: tergantung apakah dia pindah ke atau dari kubu yang sama dengan kita. Kalau dia pindah dari kubu kita, maka kepindahan itu akan kita tuding sebagai keserakahan politik atau hal-hal buruk lainnya. Tapi kalau dia pindah ke kubu kita, maka kepindahan itu adalah kehebatan dan pertanda membaiknya kesadaran si pelaku.

Untuk sebagian, ini urusannya kan serupa dengan pindah agama. Bolehkah orang pindah agama? Secara objektif ya boleh-boleh saja. Tapi secara subjektif tunggu dulu. Kalaupun kita tak bisa melarang orang pindah agama, minimal kita punya istilah untuk membedakan apakah mereka pindah ke atau dari agama Islam. Kalau pindah ke agama Islam, namanya sangat manis: muallaf. Tapi kalau pindah dari agama Islam, namanya jadi jelek: murtad.

Sampai di sini saya yakin Anda sudah sangat paham maksud saya, bahwa urusannya bukan soal apa yang senyatanya terjadi. Ini urusan pemaknaan kita atas sebuah kejadian. Tapi mari saya rampungkan tulisan ini barang sedikit.

Dalam politik, orang memang bisa berpindah haluan. Kita mungkin menyebutnya kutu loncat. Tapi dalam ilmu politik ada istilah yang lebih sopan, yakni party switching. Kata party di sini biasanya bermakna khusus, yakni political party, tapi kadang juga berarti kubu atau bagian (part). Motif orang berpindah haluan dan dukungan biasanya serupa dengan alasan orang berkoalisi. Mereka bisa berpindah karena alasan office-seeking (mengejar jabatan) atau policy-seeking (bergeser ke kelompok dengan orientasi kebijakan yang sama) (Kerevel 2014).

Jadi kalau ada politisi seperti Tuan Guru Bajang (TGB) dan Ali Mochtar Ngabalin yang berpindah haluan dukungan politik, atau bahkan pindah-pindah parpol seperti Ahok di masa lebih terdahulu, itu harus kita letakkan dalam konteks ideal di atas.

Bisa saja mereka lakukan itu karena ingin memuluskan tujuan kebijakan tertentu. Tapi bisa pula karena mereka ingin memperoleh jabatan publik.

Semakin kuat basis ideologi kepartaian di sebuah negara, semakin sedikit fenomena party switching itu. Sebaliknya semakin lemah basis ideologi kepartaian sebuah negara, semakin sering fenomena itu terlihat.

Indonesia berada di mana? Indonesia jelas masih belum memiliki sistem kepartaian dengan ideologi yang cukup solid. Hampir tak ada parpol kita yang memiliki landasan ideologi kuat dan basis sosial yang jelas. Paling hanya PDI-P dan PKS yang memiliki kejelasan dalam dua hal itu. Sisanya mungkin memiliki basis sosial jelas, namun belum tentu memiliki ideologi yang jelas.

Hal itu menyebabkan fenomena party switching cukup kerap kita jumpai. Bahkan, saya yakin Anda sering terkejut mendapati teman yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif atau pimpinan eksekutif lewat partai X. Sama sekali tak kita dengar sebelumnya bahwa dia adalah anggota partai itu.

Parpol kita memang kerap berfungsi hanya sebagai penjual tiket pencalonan bagi politisi, ketimbang rumah ideologis. Karena parpol cuma penjual tiket, maka politisi tentu mencari tiket yang paling jelas harga dan posisinya. Itu sebabnya mereka tak ragu untuk pindah-pindah parpol dan kubu politik apabila diperlukan.

Kalau yang berpindah-pindah itu adalah politisi berlingkup kecil, maka kehebohannya juga kecil. Tapi kalau mereka adalah politisi berlingkup besar, maka kehebohannya juga bisa besar. Kalau –nah ini kalau yang paling penting– politisi itu berpindah ke kubu yang kita sukai, maka bagi kita dia adalah muallaf politik. Tapi kalau dia pindah dari kubu yang kita sukai ke kubu yang lain, maka dia adalah murtad politik.

Begitulah kita. Persepsi dan sudut pandang jauh lebih menentukan ketimbang fakta. Selamat berpolitik!