Istilah حزب الله dan حزب الشيطان digunakan Al-Qur’an sebagai alegori untuk kelompok yang menerima vs. kelompok yang menentang risalah Nabi (lihat QS al-Maidah/5: 56; QS al-Mujadilah/58: 19). Namun, istilah ini digunakan secara politis pertama kali oleh Omar Abdurrahman. Dia adalah pendiri organisasi pecahan Ikhwanul Muslimin (IM) yang bernama Al-Jama’ah Al-Islamiyah (JI).
Sekitar tahun 80-an awal, Abdullah Sungkar dan Abubakar Bakar Ba’asyir bertemu dengan para tokoh dan aktivis JI di Afghanistan. Mereka cocok dan tertarik dengan ideologi JI. Ketika pecah kongsi dengan NII faksi Ajengan Masduqi, Sungkar dan Ba’asyir pada 1991 mendirikan organisasi dengan nama yang sama: Jama’ah Islamiyah.
Induk dari seluruh ideologi pecahan Ikhwan garis keras bermuara pada konsepsi Sayyid Qutb tentang Hâkimiyyatullâh. Intinya: yang berhak mengatur kehidupan kita itu Allah. Aturan yang dipakai harus aturan Allah dan Rasul-Nya. Qutb menyebut seluruh sistem politik yang menggunakan aturan manusia adalah jahiliyah.
Jadi, meskipun orang salat dan haji, mereka jahiliyah kalau berhukum kepada hukum buatan manusia. Mereka dianggap murtad dan boleh diperangi. Dari konsepsi induk ini, setelah dikejar dan diburu oleh Gamal Nasser sejak 1954, Ikhwan pecah menjadi banyak faksi. Yang paling keras dan terkuat empat: Syabâb Muhammad, Jamâ’atul Muslimîn alias Ahlut Takfîr Wal Hijrah, Jamâ’atul Jihâd, dan Jamâ’ah Islâmiyah.
Keempat-empatnya telah melakukan amaliah yang menggoncang politik Mesir seperti uji coba pembunuhan terhadap Gamal A. Nasser (1954), percobaan kudeta (1974), membunuh Menteri Wakaf (1977), dan membunuh Presiden Mesir Anwar Sadat (1981).
Keempat faksi ini pecah karena perbedaan ideologi minor. Tetapi, konsepsi induknya sama, kelanjutan ideologi yang diwariskan Sayyid Qutb. Omar, misalnya, mengecam keterlibatan IM moderat yang bersedia ikut pemilu pada 1984. Pemilu, partai politik, dan demokrasi adalah perangkat laskar setan yang tidak bersumber dari hukum Allah. Menurut Omar, hanya ada dua partai di dunia ini: Partai Allah dan Partai Setan.
Partai Allah berlandaskan pada hukum Allah. Partai Setan berlandaskan pada hukum buatan manusia. Penjelmaan dari Partai Allah adalah Khilâfah Islâmiyah yang di dalamnya berlaku syariat Islam dalam semua aspek kehidupan. Sistem apa pun yang tidak sesuai harus diperangi. Pemimpin politik yang tidak menerapkan hukum Allah, meski Muslim, mereka adalah kafir. Omar menyebut Anwar Sadat dan Hosni Mubarak sebagai Fir’aun dan melaknat Menteri Dalam Negeri sebagai Haman.
Di Indonesia, waktu Pilpres kemarin, idiom Fir’aun dan Partai Setan juga muncul. Yang saya heran, idiom Partai Allah dan Partai Setan muncul dari orang yang sangat paham IM dan ideologi faksi-faksi pecahannya yang rusak. Disertasinya di University of Chicago (1981) berjudul: “The Muslim Brotherhood in Egypt: Its Rise, Demise and Resurgence.” Pecahan IM garis keras ini hobinya mirip Khawarij, seperti dicirikan Ibn Umar:
انهم انطلقوا الى ايات نزلت في الكفّارِ فجعلوها على المؤمنين
“Mereka gunakan ayat-ayat yang turun untuk orang kafir dan dipakai untuk menyerang kaum mukmin.”
Jelas yang diperangi kelompok seperti Jamâ’ah Islâmiyah itu sesama ahlul qiblat. Nasser dan Sadat Muslim, begitu juga dengan Jokowi. Tetapi, membuat idiom Partai Allah dan Partai Setan dalam kontestasi 01 dan 02 kemarin itu betul-betul rusak. Itu adatnya Khawarij yang diteruskan kelompok-kelompok jihadis pecahan Ikhwan.
Dan sekarang, partai yang didirikannya—yang mungkin dibayangkan sebagai Partai Allah, menggelar Kongres dengan jalan begini: Kursi Terbang, Kacah Pecah, 10 Orang Luka. Semua dalam rangka berebut kursi kekuasaan biasa. Apa kata dunia? Karena itu, berpolitik itu biasa sajalah. Tidak perlu menyakralkan politik.
Politik itu ujungnya kekuasaan. Kekuasaan dipakai untuk akumulasi kekayaan. Prakteknya begitu! Semua partai, yang basisnya agama, kadang-kadang ingat Allah, kadang-kadang jadi temannya setan. Tidak ada yang mutlak. Ini penting saya utarakan, biar orang tidak mudah dibohongi pakai agama!