Syaikh Abdal Hakim Murad, pendiri Cambridge Muslim College, menyampaikan kuliah umum mengenai Presiden RI ke-4, KH. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal sebagai Gus Dur. Topik ini merupakan bagian dari seri kuliah umum Paradigms of Leadership yang sedang berjalan (on going).
Sebelumnya, Syaikh Abdal Hakim Murad telah melakukan perjalanan ziarah ke Jawa, khususnya untuk menyusuri jejak Walisongo. Ia menyebutkan bahwa pusat gravitasi Islam saat ini adalah Indonesia, salah satu negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia.
Sebagai informasi, Indonesia memiliki lebih dari 10.000 pulau, 200 bahasa daerah, dan ribuan etnis yang tersebar mulai dari Sabang hingga Merauke. Negara ini merupakan salah satu tempat paling kompleks bagi penyebaran Islam.
Namun demikian, Islam berkembang pesat di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Islam memang memiliki asal yang khusus, namun pada saat yang sama, berdaya tarik universal.
“Dan salah satu bukti ajaib dari wahyu Muhammad adalah universalitasnya,” ujar Syaikh Murad.
“Kenyataannya, nilai universal Islam tetap relevan dengan kebutuhan spiritual orang-orang yang tinggal di hutan hujan Sumatera bagian selatan, kendatipun berasal dari padang pasir di Arab abad ketujuh. Dalam konteks (universalitas) seperti inilah sosok Gus Dur hadir,” dia menambahkan.
Menurutnya, ketika berbicara mengenai sejarah intelektualitas dan kepemimpinan Gus Dur, kita perlu untuk menengok latar belakang keluarga, pendidikan, dan lingkungan tempat beliau tumbuh. Berikut rangkuman dari paparan kuliah umum Syaikh Abdal Hakim Murad tentang Gus Dur sebagai seorang pemimpin besar.
Garis Nasab
Kakek Gus Dur, Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari, berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi (1860–1916) di Makkah sekitar tahun 1892. Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi termasuk ulama yang mendorong para muridnya, termasuk KH. Hasyim Asy’ari, untuk menyerukan perlawanan terhadap praktik kolonialisme.
Sepulangnya dari Makkah, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren pada tahun 1899. Beliau memperkenalkan kurikulum modern dan bahasa asing ke dalam kurikulum pesantren, sesuatu yang tidak jamak ditemui pada zaman tersebut.
Hasyim Asy’ari menjadi sosok yang vokal menentang pendudukan Belanda. Keberpihakannya kepada kaum miskin dan kepeduliannya terhadap kesejahteraan sosial, sikap oposisi terhadap kolonialisme, serta keterbukaan terhadap pendidikan ala Barat menempatkan Kiai Hasyim Asy’ari sebagai tokoh sentral pada zaman itu.
Zaman Jepang
Jepang kemudian datang ke Indonesia—pada saat itu masih bernama Hindia Belanda. Dan, secara administrasi Jepang menggantikan pendudukan Belanda. Jepang ingin rakyat Indonesia, termasuk umat Islam, tunduk kepada kaisar Jepang, bahkan dipaksa menyembahnya.
Perlawanan muncul di mana-mana. Jepang lantas mencari cara lain untuk menundukkan rakyat Indonesia, yakni dengan menyebarkan gagasan mengenai Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.
Untuk mengimplementasikan gagasan ini, Jepang membentuk sebuah organisasi dan menunjuk KH. Wahid Hasyim, putra KH. Hasyim Asy’ari sekaligus ayah Gus Dur, untuk menjadi ketuanya. KH. Wahid Hasyim melihat ini sebagai kesempatan untuk mengonsolidasikan gerakan nasionalis yang tadinya sangat direpresi oleh Belanda.
Pasca kekalahan Jepang di Perang Dunia II, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Perbincangan mengenai ideologi macam apa yang akan diterapkan di Indonesia mulai mengemuka.
Sebagai negara dengan mayoritas penduduk muslim, negara Islam menjadi ide yang populer saat itu. Namun KH. Wahid Hasyim beserta beberapa tokoh NU menolak usul mengenai pembentukan negara Islam.
Sebagai gantinya, gagasan mengenai Pancasila hadir sebagai titik tengah antara negara sekuler dan negara teokratis. Pada kabinet pemerintahan pertama, KH. Wahid Hasyim dilantik menjadi Menteri Agama RI pertama. Karena hal ini Gus Dur sekeluarga pindah dari Jombang ke Jakarta.
Tokoh Berpengaruh
Di sini kita dapat melihat bagaimana Gus Dur sejak dari generasi kakek dan ayahnya selalu berada di pusat sejarah Indonesia. KH. Hasyim Asy’ari merupakan tokoh pergerakan yang dihormati. Sementara itu KH. Wahid Hasyim termasuk tokoh kemerdekaan yang berpengaruh.
Gus Dur dibesarkan oleh ayahnya dengan cara yang kosmopolit. KH. Wahid Hasyim menginginkan anaknya supaya terbuka terhadap dunia modern, di samping juga mengajarkan tradisi-tradisi pesantren. Seringkali, ia mengajak putra sulungnya itu untuk menghadiri pertemuan dan rapat-rapat politik.
Gus Dur tumbuh menjadi seorang yang gemar membaca buku, bacaannya merentang dari tema mengenai Marxisme hingga Islamisme seperti pemikiran Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb. Ia juga fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Pada saat yang sama, dia juga menekuni bahasa Arab, sebagaimana umum dipelajari di pesantren-pesantren.
Selain minatnya terhadap berbagai literatur, Gus Dur juga senang berziarah, menonton wayang, dan pergi ke bioskop. Gus Dur memiliki photographic memory yang memungkinkannya untuk mengingat secara nyaris sempurna apapun yang dipelajari.
Pergi ke Kairo
Pada November 1963, Gus Dur pergi ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan studi. Tahun 1960-an Kairo sedang berada di puncak kejayaannya.
Kairo saat itu menjadi pusat kebudayaan yang semarak, dipenuhi dengan pertunjukan bioskop dan teater. Terdapat tiga majalah surealis yang beredar di Kairo. Opera House Cairo juga merupakan salah satu objek kebudayaan yang ramai dikunjungi. Dalam suasana seperti inilah Gus Dur menempuh pendidikan di Kairo.
Selama berkuliah, Gus Dur juga bekerja sebagai penerjemah untuk kedutaan. Dengan cara itu dia mengetahui kabar terbaru dari Jakarta.
Ketika tragedi 30 Oktober 1965 pecah dengan pembantaian besar-besaran terhadap terduga komunis, Gus Dur diminta untuk mendata mahasiswa Indonesia yang mempelajari pemikiran Marx dan Engels. Ia menyadari apa yang sedang terjadi. Gus Dur lantas menulis laporan sedemikian rupa hingga tampak tidak ada yang belajar mengenai Marxisme.
Di saat bersamaan, Kairo juga berada dalam kondisi tidak stabil. Sekitar waktu inilah pengadilan Sayyid Qutb dilakukan, yang kemudian dieksekusi oleh pemerintah Nasser.
Gus Dur, dengan pemahamannya mengenai pendidikan pesantren yang mendalam dan kompleks, kurang sepakat dengan gagasan Sayyid Qutb tentang ideologi totalitarian mengenai Islam.
Namun pada saat yang sama, Gus Dur juga tidak menyetujui hukuman mati yang dijatuhkan atas Sayyid Qutb. Sebagai pernyataan sikap, ia bersama beberapa mahasiswa berdiri di luar penjara di Kairo pada waktu eksekusi dan melakukan doa bersama.
Di Kairo Gus Dur terlalu banyak menghabiskan waktu di luar ruang kelas. Dan, dia tidak lulus dari ujiannya di Universitas Al-Azhar. Gus Dur lalu mencari beasiswa baru dan melanjutkan studi di Universitas Baghdad.
Belajar di Baghdad
Iklim akademik di Baghdad rupanya lebih bebas dibandingkan Kairo. Ada banyak eksil asal Mesir yang tinggal di sana. Tradisi ilmiahnya lebih menekankan pada analisis dan penulisan esai. Hal ini berbeda dengan Kairo yang cenderung lebih banyak mengulang.
Baghdad juga dipenuhi dengan situs ziarah, seperti Abdul Qadir al-Jailani dan al-Junaid. Selama belajar di Baghdad, Gus Dur berkenalan dengan direktur Pusat Kebudayaan Prancis (French Cultural Centre) yang dengannya Gus Dur banyak berdiskusi mengenai literatur Prancis. Ia juga memiliki seorang kawan Yahudi Irak bernama Ramin yang kemudian memperkenalkannya kepada Kabbalah dan mistisisme Yahudi.
Kembali Indonesia
Setelah kurang lebih 8 tahun menempuh pendidikan di luar negeri, Gus Dur kembali ke Indonesia pada 1971. Ia menggelar upacara pernikahan yang lebih layak dengan Sinta Nuriyah setelah sebelumnya melangsungkan akad dengan wakalah.
Gus Dur aktif menulis untuk Prisma, jurnal Sosiologi yang masyhur dan bergengsi, selain rutin menulis kolom di berbagai surat kabar saat itu. Ia telah memiliki nama karena menulis mengenai topik-topik kontemporer.
Resonansi intelektualitasnya pun makin dikenal setelah Gus Dur diangkat menjadi dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Hasyim Asy’ari, perguruan tinggi yang mengadopsi struktur pendidikan Barat tetapi diperuntukkan bagi lulusan pesantren. Gus Dur juga menjadi pendakwah yang populer dari kalangan Nahdlatul Ulama saat itu.
Menjadi Ketua PBNU
Karir Gus Dur di PBNU makin meningkat. Ia menjadi bagian dari syuriah PBNU dan memboyong keluarganya ke Jakarta. Pada periode ini, NU menghadapi kesulitan luar biasa di bawah rezim militeristik Soeharto karena sikapnya yang represif terhadap kelompok Islam. Gus Dur beberapa kali ditahan semalaman karena berbagai kritiknya terhadap pemerintah.
Namun demikian, NU juga melakukan berbagai siasat supaya tidak dilarang oleh pemerintah, seperti melalui penerimaan terhadap Pancasila. Alih-alih bersikap oposisi, Nahdlatul Ulama berusaha untuk mengarahkan interpretasinya ke arah yang lebih Islami.
Tahun 1984, Gus Dur terpilih menjadi ketua umum. Pada masa kepemimpinannya, ia memprioritaskan reformasi pesantren dan peningkatan standar pendidikannya. Kebanyakan lembaga pendidikan yang terafiliasi dengan NU berjalan secara informal, tanpa ada kurikulum maupun asesmen yang baku.
Pertumbuhannya yang organik merupakan salah satu alasan NU bertahan seiring zaman. Namun, Gus Dur menginginkan supaya pesantren-pesantren dijalankan dengan lebih terstruktur. Selain itu, Gus Dur juga berusaha menghadirkan perspektif NU yang cenderung tradisionalis di antara perdebatan yang didominasi oleh kelompok Islam modernis-reformis.
Menghadapi Rezim Militer
Di titik ini, Gus Dur merupakan seorang puncak pimpinan dari organisasi keislaman terbesar di negara dengan penduduk Muslim terbanyak, bersamaan dengan kuatnya rezim militer yang pro-Barat, serta konflik yang merajalela di Aceh, Ambon, dan Papua Barat.
Indonesia saat itu berada dalam situasi yang sangat tidak stabil. Dalam banyak situasi konflik yang terjadi, Gus Dur kerap kali turun untuk bantu memediasi masalah.
Soeharto, menjelang akhir masa pemerintahannya, menunjukkan sikap yang lebih lunak terhadap kelompok Islam. Ia menunaikan ibadah haji, juga mendukung pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang diketuai oleh B.J. Habibie, wakil presiden saat itu. Gus Dur diajak untuk turut terlibat di dalamnya. Alih-alih bergabung, ia mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sebagai tandingan.
Dengan terjadinya krisis finansial yang melanda nyaris seluruh negara di Asia Tenggara, kondisi Indonesia berubah menjadi rusuh. International Monetary Fund (IMF) memberikan dana darurat kepada Indonesia yang sebagian besarnya hanya mengalir kepada keluarga Soeharto. Kerusuhan dan demonstrasi mahasiswa terjadi di mana-mana.
Berhadapan dengan keadaan ini, Soeharto mengundang ulama senior ke istana untuk meminta dukungan mereka. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan di antara yang terdepan mengatakan supaya Soeharto mengembalikan dana yang telah ia selewengkan karena sudah di tahap ekstrem.
Soeharto lalu mengambil keputusan untuk mengundurkan diri. Pasca turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, Habibie mengambil alih kekuasaan. Ia membuka keran demokrasi lebih lebar dan mengizinkan berbagai partai politik untuk berdiri.
Namun demikian, kekerasan komunal masih terjadi di mana-mana. Konflik di Aceh dan Ambon masih terus berlangsung. Kekerasan di Timor Timur makin menjadi-jadi.
Dalam kondisi serba kacau dan muram itu Gus Dur mencalonkan diri sebagai presiden. Dia dianggap sebagai figur yang bisa menyatukan. Banyak orang memercayai Gus Dur karena rekam jejaknya sebagai oposisi dari Soeharto dan kebijakan-kebijakannya yang dianggap moderat. Golongan minoritas pun menaruh kepercayaan dan hormat padanya.
Kebijakan Presiden
Segera setelah dilantik, Gus Dur membubarkan Menteri Penerangan karena kontrolnya yang berlebihan terhadap diskursus publik. Ia juga membatasi kewenangan Kementrian Agama karena intervensinya dalam khutbah dan pemimpin keagamaan di masjid maupun gereja.
Selain itu, Gus Dur berupaya melakukan rekonsiliasi dengan Irian Jaya, serta memohon maaf atas kekerasan yang terjadi di Timor Timur. Juga, Gus Dur mencabut larangan ekspresi budaya etnis Cina.
Sebelumnya, karakter Hanzi (aksara Cina) dilarang untuk ditampilkan di publik. Tahun Baru Cina menjadi hari libur nasional. Ia juga menjadikan Konfusianisme menjadi agama resmi ke-6 di Indonesia, atau yang sekarang dikenal sebagai Konghucu.
Banyak orang menilai Gus Dur menjadi presiden di tengah sistem pemerintahan dan hukum yang sangat kotor. Para politisi korup dari pemerintahan sebelumnya yang tak ingin kekuasaannya diganggu berusaha memaksa Gus Dur untuk mengundurkan diri. Media massa, yang kepemilikannya didominasi oleh kroni Soeharto, menerbitkan banyak berita yang menyudutkan Gus Dur.
Berbagai perubahan yang dianggap terlalu mendadak itu membuat banyak pihak kemudian semakin kepanasan dengan Gus Dur. Tidak hanya media, militer dan parlemen juga berbalik memunggunginya. Ia kemudian dimakzulkan oleh parlemen.
Bersahaja Meninggalkan Istana
Pada hari terakhir Gus Dur di istana kepresidenan, banyak pemuka agama mengunjunginya. Demikianlah ia turun dari kekuasaan, sangat bersahaja dan diberkati oleh para tokoh dari berbagai agama.
Gus Dur merupakan seseorang yang lahir dan dibesarkan dengan latar belakang pesantren tradisional di Jombang. Ia menempuh pendidikan di salah satu universitas klasik dunia yakni di Universitas Al-Azhar dan Universitas Baghdad.
Namun ia juga banyak membaca karya-karya kontemporer, seperti Dostoyevsky dan Marx. Meski berasal dari lingkungan yang “konservatif”, Gus Dur mampu menjalankan pemerintahan sebuah negara modern yang terdiri dari elemen masyarakat yang sangat kompleks.