Sesaat menjelang proklamasi kemerdekaan pada saat dasar negara ini dirumuskan, beberapa orang mengusulkan rumusan dasar negara dalam sidang BPUPKI, salah satunya adalah Sukarno yang berpidato pada tanggal 1 juni 1945, judul pidato Sukarno itu oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat lalu diberi judul “Lahirnya Pancasila”. Rumusan dasar negara kemudian dimusyawarahkan kembali dalam sidang Panitia Sembilan, terjadi debat soal kepentingan golongan, tentu dalam setiap musyawarah hal ini adalah niscaya.
Ketika Panitia Sembilan melahirkan Piagam Jakarta, muncul aspirasi untuk tidak mencantumkan identitas agama secara formal dalam dasar negara, kemudian para perumus yang terdiri dari wakil-wakil golongan itu mencapai kompromi. Sehingga rumusan Pancasila yang terkandung dalam mukaddimah UUD 1945 akhirnya disepakati.
Titik Temu
Munculnya kembali kelompok keagamaan yang ingin mengganti Pancasila sebagai dasar negara, tentu saja menciptakan kegaduhan di tengah-tengah masyarakat. Langkah yang diambil pemerintah untuk membubarkan organisasi yang menolak kesepakatan bernegara, sudahlah tepat. Sebab, menolak konsensus bernegara yang dirumuskan oleh para founding fathers/mothers, sama halnya menafikan eksistensi negara Indonesia itu sendiri.
Mendudukkan Pancasila dan agama dalam oposisi-biner, adalah sebuah salah kaprah, karena justru Pancasila adalah hasil kristalisasi nilai-nilai agama menjadi falsafah bangsa dan ideologi negara. Sebagai sebuah falsafah dan ideologi terbuka, Pancasila tentu tidaklah anti kritik, kritik dalam makna upaya terus-menerus untuk mengkajinya sebagai hasil pikiran manusia, sambil berusaha mewujudkannya dalam berbagai dimensi kehidupan berbangsa-bernegara.
Jika coba dicermati, difahami dan dihayati, nilai-nilai yang terkandung di setiap sila dalam Pancasila, sungguh sejalan dengan ajaran agama-agama, sehingga dapat dikatakan bahwa mengamalkan nilai-nilai Pancasila adalah setali tiga uang dengan menjalankan ajaran agama yang luhur. Atau dengan kata lain, mengamalkan ajaran agama -yang difahamai secara baik- tidak akan bertentangan dengan Pancasila. Jika hal itu tidak terjadi, bisa disebabkan oleh dua hal. Pertama, karena ekslusifisme pemikiran keagamaan. Kedua, karena ketidakpahaman terhadap Pancasila itu sendiri.
Adakah satu dasar negara yang dapat mengakomodir kepentingan agama-agama dalam satu titik temu, selayaknya Pancasila? Silahkan mencari kemungkinan-kemungkinan lain, sembari tetap menghargai buah ikhtiar dari para pendiri negeri.
Tokoh-tokoh agama telah meneladankan, bahwa penerimaan terhadap Pancasila sebagai dasar negara dan pedoman hidup berbangsa, adalah sebuah bentuk kepatuhan terhadap nilai-nilai agama yang luhur. Benar bahwa Pancasila tidaklah mencakup keseluruhan ajaran agama, karena Pancasila adalah dasar negara, olehnya secara fungsional ia menjadi semacam “agama” publik, pedoman berbangsa dan bernegara. Sedang agama yang berintikan pada ajaran-ajaran luhur, dengan seperangkat normanya masing-masing, tentu lebih universal dari dasar negara.
Tidak semua hal yang berkaitan dengan agama dapat diatur dan dicampuri oleh negara, karena negara sebagai institusi politik, lebih berdimensi publik, berkewajiban menciptakan kemaslahatan bersama dengan prinsip-prinsip yang terdapat pada ajaran agama. Sedang agama, memiliki dimensi yang lebih kompleks, karena terkait dengan keduniaan dan keakhiratan serta berdimensi publik dan privat sekaligus, yang tak semuanya mampu dijangkau oleh tangan-tangan negara yang hanya mengurusi aspek legal-formal.
Pancasila Final
Finalisasi terhadap Pancasila dan NKRI, bukan seperti melakukan sakralisasi terhadap agama, tetapi lebih kepada upaya membangun komitmen berbangsa dan bernegara, agar semua warga negara memiliki tanggungjawab moral-politik untuk mempertahankan negaranya dan ikut dalam usaha membangun bangsanya. Karena untuk apa membuat sebuah perjanjian, jika tidak diiringi komitmen bersama?
Analogi sederhananya, bisa kita saksikan dalam peristiwa pernikahan, dua orang membuat akad (perjanjian) untuk hidup bersama, perjanjian itu harus disakralkan, bahkan difinalisasi. Sebagai sebuah bentuk komitmen bersama. Walaupun perjalanannya kemudian dalam rill kehidupan berkeluarga banyak terjadi persoalan, namun ketika komitmen terhadap perjanjiannya kuat, maka setiap masalah akan diupayakan sebisa mungkin untuk diselesaikan. Di lain sisi, adapula keluarga yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya, lalu mulai kehilangan komitmen terhadap akad (perjanjian), kemudian perceraian menjadi pilihan. Dalam konteks negara, kenyataan itu misalnya terjadi pada negara-negara Balkan eks-Uni Soviet.
Analogi sederhana ini bisa digunakan dalam akad (perjanjian) bernegara, walaupun tentu tingkat kompleksitasnya jauh lebih tinggi. Jadi, Indonesia bisa dilihat dalam konteks di atas, tetap bertahan menjadi keluarga besar, atau berakhir dengan perpecahan karena menguatnya sektarianisme golongan. Juga, akibat ketidakadilan yang terus diproduksi oleh sistem yang dikuasi kelompok oligarki, melalui tangan-tangan negara.
NKRI adalah rumah bersama, dan Pancasila merupakan perjanjian bersama untuk hidup dalam naungan negara-bangsa Indonesia. Bagi penulis, tak ada alasan untuk mengganti bentuk dan dasar negara Indonesia. Apa yang harus dilakukan, adalah berjuang untuk memperbaiki yang rusak dan melawan “tikus-tikus” yang menggerogoti republik.