Sejak mulai beraktivitas di bilangan Bendungan Hilir, saya sering membeli ketoprak buatan pak sahiri. Umur beliau tidak lagi muda, sejak istrinya meninggal ia berjualan ketoprak untuk menyambung hidup. Saya pun kerap bertukar cerita dengan beliau.
“Aslinya orang mana, Pak?” Tanya saya.
“Ortega mas,” jawabnya.
“Wah, daerah mana itu, Pak?”
“Orang Tegal asli, Mas..hahaha”, terkekeh dengan kancing baju terlepas.
Kami pun saling bertukar pertanyaan dan jawaban. Dari sekian pertanyaan dan pernyataan, ada yang membuat saya tertegun.
“Saya dulu mondok di Babakan-Tegal, ngaji dengan kyai Malik. Setelah peristiwa Gestapu 1965, saya pindah ke pesantren kauman, kaliwungu, kendal”, ungkapnya.
Pikiran sayapun menerawang ke Gus Aqib Malik. Sosok ustadz muda yang bersahaja, rendah hati dan tidak sombong.
“Dulu saya jualan nasi warteg mas, sekarang semuanya dipegang anak. Anak saya tiga, cucu saya tujuh. Sejak istri saya wafat, saya mulai berjualan ketoprak. Saya merantau ke jakarta sejak tahun 1973,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca sambil mengingat istrinya yang telah mendahuluinya.
” Bapak kan sudah punya 3 warteg, kenapa masih jualan ketoprak? Kan mestinya bapak cukup terima setoran saja,” tanya saya.
“Saya tidak mau merepotkan anak mas, biar saja warteg itu jadi sumber penghidupan mereka. saya biar mulai dari awal, mudah-mudahan saya masih bisa bantu ngasih uang jajan cucu yang sekarang mondok di Sirampog, brebes”, jawabnya sambil tersenyum.
“Bapak masih hafal alfiyah?”, tanya saya lagi.
“Insya allah masih hafal sebagian. Ilmu itu seperti pisau mas, kalau tidak diasah bakal tumpul”, tandasnya.
“Masnya pernah mondok dimana?” Tanyanya.
“Ah, saya sih bukan ahli agama pak. Saya lagi ikhtiar di pemilu. Mohon do’anya ya pak Sahiri,” timpal saya.
“Amiinn…insya allah ati bagus, Allah qabul,” tutupnya.
Luar biasa ilmu yang diajarkan pak Sahiri ini. Saya sendiri sampai malu.