Ribuan orang berdatangan dan berkumpul di sebuah pondok pesantren di Gowa untuk menggelar hajatan spiritual yang luar biasa bergelar tabligh akbar. Kendati hajatan itu telah resmi dibatalkan, senyatanya mereka tetap datang dari berbagai penjuru negeri ini, sebagiannya dari luar negeri bahkan. Serupa dengan itu, dua minggu lalu, terdapat hajatan akbar di negeri Malaysia. Dan dari kerumuman massa itulah ratusan orang lalu dinyatakan positif terpapar virus Corona!
Saya menyaksikan sebaran foto-foto mereka di Facebook. Berduyun-duyun, berkelompok-kelompok, berdempet-dempetan, berdesak-desakan dengan penuh semangat. Sebuah situasi yang telah dinyatakan harus dihindari oleh semua orang di masa pegebluk Corona ini demi meminamilir sebarannya.
Jika pasca acara tabligh di Malaysia kemarin ada 150-an orang yang dinyatakan positif tertular virus ini, lalu mereka pulang ke kampung halaman dan rumah masing-masing, terbayanglah dengan mengerikan berapa kali lipat potensi penularan yang akan bertumbangan kemudian. Hal yang sama persis akan terjadi pula pasca acara tabligh di Gowa tersebut.
Sebuah unggahan di Facebook oleh seseorang yang merupakan aktivis acara tabligh tersebut membuat saya tercenung. Ia menuliskan:
“Jangan takut pada Corona, takutlah kepada Allah. Corona adalah makhluk Allah, yang takkan memberikan manfaat atau madharat apa pun tanpa izin Allah. Di manapun berada jika telah tiba waktunya mati, maka semua akan mati. Mati kini atau nanti sama saja.”
"Jemaah tidak takut pada virus. Kita hanya takut pada Allah," kata entah siapa di Ijtima Dunia Zona Asia, Gowa, SulSel. Kalo kalian siap mati dan mati beneran ya gapapa. Tapi kalian itu bisa bawa virusnya dan bikin orang lain mati! Itu masalahnya bambangggg! pic.twitter.com/Ma5nSMUqde
— Dian Paramita (@dianparamita) March 18, 2020
Saya jadi teringat pengalaman empat tahun silam kala mengikuti “kelas tauhid” yang bukan hanya mengajarkan teori, tetapi juga praktik langsung. Jika Anda bertanya-tanya dengan heran bagaimana bentuk “praktik tauhid” itu, di antara gambarannya seperti inilah yang telah saya lakukan: di tengah laut bergelombang, dari perahu kecil yang terombang-ambing, di sore yang temaram jelang Maghrib, di dekat sebuah pulau terpencil, Anda diperintah untuk terjun ke laut tanpa pengaman sama sekali. Pekikkan takbir, yakini hidup dan mati di tangan Allah, dan…. terjun!
Saya pun terjun! Dan, kelelep ditelan ombak-ombak….
Sudah pasti saya menuai sejumlah hikmah personal dari pengalaman khalwat tersebut. Tetapi tetap saja saya meringis geli setiap mengingatnya. Saya masih hidup dan bisa menulis catatan ini hari ini, tentulah mutlak karunia Allah. Itu denyar tauhidnya. Tetapi, ya Tuhan, ingatan nyebur ke laut bergelombang tanpa pengaman blas, itu sungguh konyol! Ini denyar syariatnya.
Saya kira sejenis itulah situasi orang-orang yang berkumpul dalam jumlah besar dalam acara itu, lalu memekikkannya dengan gegap gempita di sosmed sebagai kegempalan “tauhid”.
Imam Junaid al-Baghdadi pernah ditanya oleh seseorang apa itu tauhid. Beliau menjawab dengan menukil ungkapan terkenal Abu Bakar ash-Shiddiq: “Mahasuci Allah yang telah memberikanku ketidakmampuan untuk mengetahuiNya kecuali dalam ketidakmampuan itu aku diberiNya pengetahuan tentangNya.”
Coba renungkan surat an-Nisa’ ayat 49 dalam konteks ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan kepada orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah lah yang membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.”
Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah ketika ditanya tentang tauhid, beliau mengatakan: al-tabarrau minal hauli wal quwwah, terbebaskannya diri dari merasa mampu (menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan) dan merasa kuat (menjalankan kebaikan dan meninggalkan keburukan).
Tauhid, ringkasnya, atas dasar dua ajaran itu beresensi pada spirit dan ejawantah hidup yang meyakini diri ini mutlak tidak memiliki kemampuan apa pun kecuali atas kehendak Allah.
Kiraya, pun pada derajat beginianlah orang-orang itu memproklamirkan diri, hadir, dan berdesak-desakan di acara tabligh penuh risiko infeksi Corona itu. Bahwa segala peristiwa yang terjadi pada diri kita dan bumi ini telah ditentukan oleh Allah sejak di Lauh Mahfudz, termasuk pagebluk Corona. Al-Hadid 22. Tentu saja, ini benar-benar spirit esensial tauhid. Tak salah.
Tetapi, mari jangan sepenggal-penggal saja dalam memahami kehakikian tauhid karena niscaya akan memberikan dampak nyata yang tak sederhana sama sekali buat diri kita dan juga liyan. Syekh Abdul Qadir al-Jailani qaddasahuLlah masih melanjutkan keterangannya bahwa untuk menggapai derajat rohani tinggi tersebut (al-tabarrau minal hauli wal quwwah), terlebih dahulu kita mesti menapaki tangga-tangga syariatnya. Begitu hierarki ajaran sufistiknya. Dan pokok ajaran sufistik beliau sangat jelas dan sederhana: makrifat harus ditegakkan di atas kaki syariat; tidak ada makrifat tanpa syariat. Baru kemudian ikhlas kepada takdir Allah.
Pertama, syariat menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Kedua, syariat mengetahui tujuan (makna dan hikmah) dari menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Ketiga, mengarungi ilmu hikmah (beliau mengistilahkan demikian). Yang dimaksudkan hikmah ialah mengenal diri sebagai jalan untuk mengenal Allah. (Imam Ghazali dengan esensi sejenis menarasikannya dalam maqalah: man ‘arafa nafsahu faqad ‘araha qalbahu waman ‘arafa qalbahu faqad ‘arafaLlah, siapa yang mengenal dirinya maka ia telah telah hatinya dan siapa yang mengenal hatinya maka ia telah mengenal Allah).
Usai menjalani ketiga tangga ini, di situlah letak kehakikian tauhid itu berdenyar-denyar. Dan, selanjutnya, terserah Allah….
Saya akan fokus kepada tangga ketiga saja.
Ilmu hikmah yang dimaksudkan beliau merupakan buah rohani dari perjalanan panjang nan istiqamah atas kepatuhan amaliah syariat (pertama) yang lalu diikuti dengan penggalian pemahaman yang mendalam kepada makna-makna dan tujuan-tujuannya (kedua).
Kita ambil contoh amaliahnya: Shalat. Dikatakan dalam al-Qur’an bahwa shalat berguna untuk mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Dikatakan dalam hadis bahwa siapa yang baik shalatnya maka baiklah seluruh amal perbuatannya tanpa kecuali.
Lalu cek surat al-Furqan ayat 63 ini: “Dan Hamba Sang Rahman ialah orang-orang yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati….”
Memperbandingkan secara tematik ajaran tersebut membuhulkan suatu pemahaman bahwa kerendahan hati atau tawadhu’ merupakan esensi dari proses panjang amaliah shalat yang pelan demi pelan menyublim ke dalam batin kita. Sublimasi itu lalu meruahkan perasaan-perasaan batin yang mengkerangkai perilaku-perilaku lahir untuk senantiasa selaras dengan asas kerendahan hati tersebut. Masuk akal sekali bila sang mushalli yang telah berada di derajat demikian akan senantiasa tanha ‘anil fahsya’ wal munkar.
Ternyata, sublimasi nilai-nilai amaliah shalat yang dijalankan dengan istiqamah dan diringi dengan pemahaman atas makna-maknanya itu pada tataran hikmah berikutnya merembeskan proses pengenalan diri (tangga ketiga) yang membawa kepada pengenalan kepada Allah. Diri adalah sekadar wujud yang dhaif, lemah, fana, Allah adalah Wujud Yang Maha Agung, Perkasa, dan Abadi. Sifat-sifat diri adalah sekadar sifat-sifat ketakberdayaan, sifat-sifat Allah adalah sepenuh-penuhnya Kemahabesaran. Tawajjuh kepada semata Kemahaan Allah ini menimbulkan konsekuensi rohani berupa negasi kepada selain-Nya, mulai diri eksistensi diri, liyan, hingga seluruh dunia dan isinya. Itulah hakikat ikrar tauhid la ilaha illaLlah.
Sekali lagi, masuk akal sekali bila ejawantahnya kemudian di dalam rohani diri semata adalah ketundukan kepada-Nya tanpa syarat dan ke luar diri (lahiriah, mualamah) adalah ketawadhuan cum akhlak karimah kepada sesama dan seluruh makhluk-Nya (haunan).
Sampai di sini, ternampakkan bahwa acara tabligh yang mengumpulkan ribuan orang dengan kerawanan luar biasa tinggi terpapar Corona itu selaras dengan esensi tauhid di atas. Terkena infeksi Corona atau tidak, ikhlaskan saja kepada ketetapan Allah semata kelak. Pada satu sisi. Tepatnya, sisi batiniah, rohaniah.
Apa itu sudah cukup?
Jawabannya: TIDAK.
Setidaknya ada lima prinsip pada sisi lain yang terabaikan dari gelaran tabligh itu pada aspek berkumpulnya ribuan orang di tengah kerawanan pagebluk Corona ini.
Pertama, narasi hikmah di atas seyogianya semata berdenyar di dalam batin, rohani, bukan dikampanyekan, dipropagandakan bagai menantang terik matahari. Mari senantiasa mengerti bahwa selalu ada jarak makna rohani yang membentang antara pekikan takbir dengan renungan takbir.
Kedua, jangan pernah abaikan mekanisme tarekat (jalan) dalam menggapai ilmu hikmah tauhid itu. Tangga-tangga syariatnya sama sekali tidak sah dicampakkan. Pada konteks pagebluk Corona ini, di antara syariatnya ialah menghindarkan spot kerumunan sebagaimana telah direkomendasikan para ahlinya, dalam hal ini “ulama” kesehatan.
Sekali lagi, ilmu syariatnya mengatakan hendaknya menghindarkan spot kerumunan, semacam acara tabligh itu. Laku tarekatnya ialah riyadhahkan fatwa tersebut, amaliahkan. Adapun di relung batin, rohani, tetaplah selalu tawajjuhkan segala apa yang akan terjadi kelak pada diri kita masing-masing kepada kehendak Allah. Clear and distinct.
Ketiga, kepatuhan kepada ulil amri merupakan kewajiban syariat, hanya segaris di bawah kepatuhan kepada Rasulullah Saw. Dalam khazanah tafsir, derajat kepatuhan kepada ulil amri hanya boleh ditinggalkan jika ulil amri memerintahkan suatu maksiat yang bertentangan dengan syariat. Mari renungkan: di mana letak maksiat perintah pemerintah yang telah diruahkan jauh-jauh sebelumnya agar kita menghindarkan spot kerumunan untuk mencegah risiko rawan terinfeksi Corona itu? Tak ada.
Keempat, tidak ada syariat yang diperintahkan-Nya dengan melanggar syariat lainnya. Allah mustahil paradoksal; syariatNya karena itu mustahil pula kontradiktif. Cek surat al-Haj 78. Dalam khazanah hadis Bukhari Muslim, hal sejenis juga tersedia luas.
Ketika Allah menurunkan pegebluk Corona jelas itu ketetapan-Nya. Siapa yang akhirnya terinfeksi, itu pun ketetapan-Nya. Ini asas perintah tauhidnya. Tetapi ikhtiar menghindarkan risiko paparan virus tersebut (hadisnya tersedia, riwayat dari Umar bin Khattab juga ada, kaidah Ushul Fiqhnya sangat berlimpah) adalah syariat-Nya. Menjadikan kedua perintah tersebut bertabrakan, paradoksal, jelas semata akibat dari ketidakjangkepan pemahaman kita dalam merelasikan tauhid dan syariat seara holistik. Buahnya lalu adalah ketidaksinambungan integrasi keduanya. Ini tak selaras dengan prinsip umum tauhid yang mesti selalu ditegakkan di atas kaki syariat. La ma’rifata illa bi al-syariah, tidak ada kemakrifatan (ketauhidan) tanpa kepatuhan syariat.
Kelima, seluruh syariat semata bertujuan untuk menegakkan kemaslahatan kita, lahir dan batin. Kita bisa menggalinya melalui ilmu Maqashid al-Syariah. Syariat menghindarkan kerumuman massa merupakan ikhtiar tarekat untuk merawat maslahat keselamatan kita semua. Menjaga keselamatan diri dan orang lain adalah perintah syariat yang mutlak. Sebaliknya, memantik madharat kepada liyan dalam bentuk apa pun –apalagi ini perkara keselamatan hidup (hifdz al-nafs)—jelas bertentangan dengan syariat-Nya, tuntunan Rasul-Nya Saw, dan seluruh ajaran para ulama Islam sejak dulu kala.
Teranglah kini bahwa seluruh bangunan Islam yang rahmatan lil ‘alamin ini memang seharusnya dijalankan dengan berbasis keilmuan yang mendalam, rasionalitas yang bermoral, dan kebijaksanaan yang menenteramkan. Esensi kerahmatan Islam yang dirumuskan dalam al-Qur’an dan dituntunkan Rasulullah Saw dalam rupa-rupa pembumian syariat (mahdhah dan mu’amalah) seyogianya selalu kita jalankan dengan istiqamah dalam berlandas basis-basis tersebut. Semakin terhindarkan kita dari potensi dan risiko kemadharatan dalam proses ejawantah syariat, itu isyarat nyata bagi semakin dekatnya kita kepada kemaslahatan, yakni kerahmatan.
Terakhir, mari kita renungkan pelan-pelan surat al-Baqarah 204 ini: “Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya membuatmu kagum dalam kehidupan dunia ini dan dia (bahkan) mempersaksikan Allah (sebagai penjamin) atas (kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantangNya yang sangat keras.”
Semoga Allah selalu menghidayahi kita semua dalam tauhid yang bijaksana demikian. Semoga Allah segera mengangkat pagebluk Corona ini dan menyelamatkan kita semua, bisnis, dan pekerjaan kita semua. Amin ya rabbal ‘alamin.