Orang yang Tidak Bermaksud Menghina dan Menyakiti Nabi Pantas Dihukum? Ini Penjelasan Ulama

Orang yang Tidak Bermaksud Menghina dan Menyakiti Nabi Pantas Dihukum? Ini Penjelasan Ulama

Orang yang Tidak Bermaksud Menghina dan Menyakiti Nabi Pantas Dihukum? Ini Penjelasan Ulama

Mengenai larangan untuk menghina, mencaci maki dan merendahkan derajat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam para ulama mempergunakan hujjah dari al-Qur’an dan hadis yang menunjukkan larangan menyakiti kepada beliau, salah satu di antaranya adalah ayat ini :

وَٱلَّذِينَ يُؤۡذُونَ رَسُولَ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٞ

Artinya:

“Dan orang-orang yang menyakiti Rasulullah akan mendapat azab yang pedih.” (QS: Al-Taubah ayat 61)

Perbuatan tercela seperti itu hukumnya jelas haram dan bahkan bisa menyebabkan kekafiran, dan menurut hukum Islam pelakunya boleh dibunuh. Tapi tentu saja dalam masalah menetapkan hukum kufur dan vonis hukuman mati ini tidak boleh sembarangan dilakukan oleh semua orang, namun harus diputuskan oleh Qadhi (Hakim) atau Mufti yang mengetahui dengan baik mana batas-batas kasus penghinaan atau caci maki kepada Nabi Muhammad SAW yang bisa dihukumi kufur dan bisa divonis hukuman mati, karena tidak semua kasus secara muthlak dihukumi seperti ini. Termasuk yang tidak boleh dikafirkan dan tidak divonis hukuman mati adalah pelaku yang tidak ada tujuan untuk melakukan penghinaan atau caci-maki.

Keterangan seperti ini bisa kita baca di dalam kitab as-Saif al-Maslul ‘ala man Sabba al-Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (pedang yang terhunus bagi orang yang mencaci Rasulullah SAW) karya al-Imam Taqiyyuddin ‘Ali bin ‘Abdul Kafi as-Subki:

قلت: الأذى على قسمين أذى مقصود وأذى غير مقصود، فمسطح وحمنة وحسان لم يكن مقصودهم أذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك لا يجري عليهم كفر ولا قتل، وأما ابن أبي فكان مقصوده بالأذى النبي صلى الله عليه وسلم، فلذلك يستحق القتل، ولكن الحق للنبي صلى الله عليه وسلم، فله تركه

وهذه القاعدة واعتبار القصد فيما يحصل به الأذى مما يجب التنبه له، فإن الشخص قد يفعل فعلا أو يقول قولا يحصل الآخر منه أذى لا يكون ذلك الفاعل أو القائل قصد أذاه البتة، وإنما قصد أمرا آخر ولم يحضر عنده أن ذلك يستلزم الأذى لذلك الشخص ولا كان لزومه له بينا، فهذا لا يترتب عليه حكم الإيذاء.

Artinya:

“Saya (al-Imam Taqiyyuddin as-Subki) berpendapat, menyakiti itu ada dua macam: menyakiti yang memang dikehendaki (disengaja) dan menyakiti yang tanpa dikehendaki (disengaja). Maka Sahabat Mishthah (Ibnu Utsatsah al-Muthallibi, termasuk golongan Muhajirin yang ikut perang Badar), Hamnah (binti Jahsyin al-Asadiyyah,  beliau adalah saudara Ummul Mukminîn Zainab binti Jahsyin ra) dan Hassan (bin Tsabit, salah seorang penyair Rasulullah SAW) [dalam kasus Hadits Ifki-cerita kebohongan tentang kisah sayyidah ‘Aisyah ra-] mereka tidak bermaksud untuk menyakiti Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu mereka semua tidak dihukumi kafir dan juga tidak divonis hukuman mati, sedangkan Ibnu Ubayy (Abdullah bin Ubayy bin Salul, seorang gembong gerombolan munafik) dia memang bertujuan untuk menyakiti Nabi Muhammad SAW, oleh karena itu dia berhak untuk dibunuh, akan tetapi hak prerogatif (untuk mengeksekusi) ada di tangan Nabi Muhammad SAW, maka beliau berhak pula untuk tidak melaksanakan hukuman mati tersebut.

Kaidah ini dan dipertimbangankannya “qashdu” (tujuan) pada perkara yang bisa menyakiti -yaitu perkara yang wajib diperhatikan baginya- bahwasanya seseorang terkadang melakukan sebuah perbuatan atau mengeluarkan statement yang bisa menyakiti orang lain dimana si pelaku atau orang yang mengeluarkan statemen tadi memang tidak bertujuan menyakiti orang lain sama sekali, yaitu dia bertujuan pada hal lain dan tidak terbesit pada dirinya bahwa hal tersebut ternyata bisa melazimkan (menyebabkan) menyakiti orang lain dan perkara yang melazimkan tersebut tidak jelas baginya, maka  kasus seperti ini tidak menyebabkan vonis hukum menyakiti baginya.”

Jadi perbuatan atau ucapan yang memang zhahirnya itu ada indikasi penghinaan atau merendahkan derajat Rasulullah SAW itu tetaplah salah dan tidak boleh dibela. Meski pelaku tidak sengaja maka tetap aja bersalah.

Namun sesuai dengan keterangan ibarat di atas, pelaku seperti itu tidak bisa disebut menyakiti Nabi Muhammad SAW dan tidak dihukumi kafir (murtad) serta tidak mendapatkan sanksi pidana hukum bunuh/mati.

Jadi dalam hal ini ada dua sikap lebai dan bodoh yang wajib dihindari:

Pertama, membela kesalahan, ini adalah bentuk kesombongan :

الكبر بطر الحق وغمط الناس

“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain.” ( HR: Muslim)

Padahal orang yang seperti ini diancam oleh Nabi Muhammad SAW dengan sabda beliau :

لا يدخل الجنة من كان في قلبه مثقالُ ذرة من كبر

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan seberat sebiji atom.” (HR: Muslim)

Kedua, tasahul (sembrono) dalam mengafirkan orang, karena konsekuensinya bisa diancam dengan hadis ini :

‎وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ

“Barangsiapa memanggil dengan sebutan kafir atau musuh Allah padahal yang bersangkutan tidak demikian, maka tuduhan itu akan kembali kepada penuduh” (HR Bukhari-Muslim)

Di dalam kitab al-Syifa yang diberi syarh (penjelasan) oleh al-Mulla ‘Ali al-Qari al-Harawi yang bermazhab Hanafi. Beliau memberi penjelasan sebagai berikut:

 قال علماؤنا إذا وجد تسعة وتسعون وجها تشير إلى تكفير مسلم ووجه واحد إلى ابقائه على إسلامه فينبغي للمفتي والقاضي أن يعملا بذلك الوجه وهو مستفاد من قوله عليه السلام ادرؤوا الحدود عن المسلمين ما استطعتم فإن وجدتم للمسلم مخرجا فخلوا سبيله فإن الإمام لأن يخطئ في العفو خير له من أن يخطئ في العقوبة رواه الترمذي وغيره والحاكم وصححه

Artinya:

“Para ulama kita berkata, ‘Jika ditemukan  99 indikasi yang mengisyaratkan tentang kekafiran seorang Muslim, tetapi masih ada satu alasan yang menetapkan keislamannya maka hendaknya seorang mufti dan hakim beramal dengan satu alasan tersebut, dan ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW,  ‘Hindarkanlah hukuman-hukuman pidana dari kaum muslimin semampu kalian, jika kalian mendapatkan jalan keluar bagi seorang muslim, maka pilihlah jalan itu. Karena sesungguhnya seorang pemimpin yang salah dalam memberi maaf itu lebih baik dari pada pemimpin yang salah dalam menghukum.’” (HR: Al-Tirmidzi dan Hakim)

Hujjatul Islam al-Imam al-Ghazali di dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad mengatakan:

 ‎وقال أبو حامد الغزالي: ‎”والذي ينبغي الاحتراز منه :”التكفير” ما وجد إليه سبيلا، فإن استباحة الدماء والأموال من المصلين إلى القبلة، المصرحين بقول لا إله إلا الله محمد رسول الله خطأٌ، والخطأ في ترك ألفِ كافر في الحياة أهون من الخطأ في سفك دمٍ لمسلم

“Agar menjaga diri dari mengkafirkan orang lain sepanjang menemukan jalan untuk itu. Sesungguhnya menghalalkan darah dan harta muslim yang shalat menghadap kiblat, yang secara jelas mengucapkan dua kalimat syahadat, itu merupakan kekeliruan. Padahal kesalahan dalam membiarkan hidup seribu orang kafir itu lebih ringan dari pada kesalahan dalam membunuh satu nyawa orang muslim.”