Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Bagaimana Status Hukuman Mati Pasca KUHP Baru?

Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Bagaimana Status Hukuman Mati Pasca KUHP Baru?

Indonesia merupakan satu dari beberapa negara yang masih menggunakan hukuman mati. Hukuman mati di Indonesia diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Ferdy Sambo Divonis Hukuman Mati, Bagaimana Status Hukuman Mati Pasca KUHP Baru?

Diskusi hukuman mati akan menjadi topik yang panjang. Kita tidak akan tau sampai kapan kontroversi ini berakhir. Selama diskusi soal hak untuk hidup berlaku mutlak tanpa kecuali belum berakhir, selama itu pula hukuman mati akan terus menjadi kontroversi. Beberapa negara sudah mengambil langkah menghapus hukuman mati. Sedangkan beberapa negara lain masih menggunakan hukuman mati, termasuk Indonesia, yang diatur dalam Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 10 mengatur bahwa pidana mati  masuk dalam kategori pidana pokok. Ketika seseorang melakukan tindak pidana tertentu yang memenuhui unsur dan syarat-syarat pemidanaan maka dia dapat dijatuhi hukuman mati.

Keberadaan hukuman mati tidak lepas dari teori pemidanaan.  Topo Santoso membagi tiga macam falsafah pemidanaan, yaitu: absolut, relatif dan gabungan (relatif dan absolut). Teori absolut ini menginginkan orang yang berbuat kejahatan dihukum, karena semata-mata dia melakukan kejahatan. Setiap orang yang melakukan kejahatan sepatutnyalah ia menerima hukuman. Seperti orang membunuh maka sepatutnya dia mendapat hukuman seberat-beratnya, seperti hukuman mati. Untuk itu teori ini disebut juga sebagai teori retributif.

Teori kedua yaitu relatif ini adalah hasil dari kritik teori absolut. Menurut teori ini masing-masing pidana memilki tujuannya sendiri-sendiri. Orang dipidana bukan semata karena dia melakukan kejahatan, tapi ada tujuan tertentu orang dipidana. Di antara teori yang masuk dalam kelompok ini adalah rehabilitasi, pencegahan, menjerakan, isolasi, mencegah untuk mengulangi kejahatan, dll.

Teori ketiga, teori gabungan. Kelompok ini menginginkan pembalasan terhadap perbuatan di samping juga tetap memperhatikan tata tertib masyarakat. Andi Hamzah mengatakan bahwa pidana mati saat ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya tindak kriminal. Awal mula pidana mati bertujuan untuk pembalasan, namun dalam penerapannya harus selektif.

Terakhir, teori yang belakangan banyak diperbincangkan adalah restoratif justice. Ada berbagai penjelasan terkait dengan teori ini. Secara ringkas teori ini menggunakan pendekatan pemecahan masalah dengan melibatkan korban, pelaku, jejaring sosial, lembaga peradilan dan masyarakat. Fokus utamanya adalah penanganan kerusakan akibat kejahatan yang terjadi. Jika dilihat dalam teori pidana Islam, salah satunya adalah pemaafan pada tindak pidana qishash (tindak pidana terhadap nyawa dan badan).

Eksistensi hukuman mati dalam KUHP dijatuhkan kepada kejahatan serius. Ada tujuh kejahatan yang dapat dijatuhkan hukuman mati. Pasal 104 (maka membunuh presiden), Pasal 111 ayat (2) mengajak negara asing memerangi Indonesia, Pasal 124 ayat (3) membantu musuh Indonesia dalam perang, Pasal 140 ayat (3) (makar terhadap nyawa), Pasal 340 (Pembunuhan Berencana), Pasal 365 ayat (4) pencurian dengan kekerasan, dan Pasal 44 (pembajakan).

Di tengah kontroversi isu hukuman mati, Indonesia memperluas jangkauan hukuman mati. Selain di KUHP beberapa Undang-undang lain yang mengatur pidana mati yaitu UU Narkotika, Peradilan Hak Asasi Manusia, UU Tindak Pidana Korupsi, UU Terorisme. Sejalan dengan semangat untuk mengurangi hukuman mati. Kejahatan-kejahatan yang dapat dijatuhi hukuman mati adalah kejahatan yang luar biasa.

Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia

Bagaimana dengan konstitusi Indonesia, bukankah Pidana mati dalam KUHP warisan Belanda bukankah bertentangan dengan UUD 1945? Beberapa kali uji materi terhadap tindak pidana mati ini dilakukan. Pasal yang dijadikan sebagai penguji adalah Pasal 28A UUD NRI 1945. Setidaknya ada empat putusan MK terkait uji materi hukuman mati, yaitu:

Pertama, Putusan MK No.  15/PUU-X/2012  menguji KUHP Pasal  365  ayat  (4)  yang mengatur hukuman mati bagi pelaku pencurian disertai dengan kekerasan yang mengakitabkan kematian atau luka berat bagi korban.

Kedua, Putusan MK RI No. 21/PUU-VI/2008 yang diputuskan pada 21 Oktober 2008 menolak permohonan pengujian UU No 2/PNPS/1964. Walau pengajuan ini mengenai formil, tapi dalam putusannya juga menyinggung isu formil pidana mati.

Ketiga, Putusan MK RI No. 2/PUU-V/2007, dan keempat, Putusan No.3/PUU-V/2007 kedua putusan ini menguji UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika.

Kesemua putusan menekankan bahwa hukuman mati tidak bertentangan dengan konsitusi. Penggunaan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 sebagai dasar pengajuan uji materil ditolak. Secara konstitusional hak-hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UUD NRI 1945 dapat dibatasi oleh UU dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agaman, keamanan dan ketertiban umum sebagaimana diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 28J. Untuk itu pidana mati masih berlaku di Indonesia.

Walau kritik terhadap putusan-putusan MK tersebut masih menjadi topik diskusi. Mengingat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), mengakui hak hidup setiap manusia yang tidak dapat dikurangi sebagaimana tertuang Pasal 6 Ayat (1) ICCPR. Tidak dapat dikurangi dengan alasan apapaun.

Pasca KUHP Baru

KUHP baru telah disahkan DPR RI dengan UU No 1 tahun 2023, namun baru efektif berlaku tiga tahun setelah disahkan, tahun 2026. Sampai KUHP baru ini berlaku efektif, maka KUHP lama akan menjadi dasar menjatuhi hukuman mati.

Di KUHP baru hukuman mati masih ada, namun bukan sebagai pidana pokok, tapi sebagai pidana alternatif. Ini merupakan kompromi dari dua kubu yang menolak hukuman mati dan yang menerima hukuman mati.

Pasal 100 KUHP baru mengatur penjatuhan hukuman mati dengan masa percobaan 10 tahun. Apabila terpidana bersikap dan berperilaku terpuji  maka pidana mati dapat berubah menjadi penjara seumur hidup dengan keputusan Presiden dengan pertimbangan dari Mahkamah Agung.

Bagaimana dengan perbuatan pidana yang terjadi pada masa transisi ini? Apabila perbuatan terjadi dan diproses peradilan sebelum KUHP baru berjalan efektif maka KUHP lama tetap menjadi dasar hukum. Pengadilan masih menjadikan KUHP lama sebagai dasar pemutus.

Berbeda halnya, ketika seseorang melakukan perbuatan pidana sebelum KUHP baru diterapkan, namun proses peradilannya dilakukan setelah KUHP baru berlaku efektif, maka aturan yang digunakan untuk menghukumi pelaku adalah KUHP yang baru, bukan yang lama. Kecuali, bila KUHP lama lebih menguntungkan bagi terdakwa. Misalkan, seseorang melakukan tindak pidana pada 2025, kemudian diproses pada tahun 2026 setelah KUHP baru efektif berlaku, maka KUHP baru berlaku bagi dia, kecuali KUHP lama lebih menguntungkan bagi terpidana, maka KUHP lama diperlakukan padanya.