Kelahiran seorang anak merupakan karunia terbesar dari Allah. Setiap pasangan suami-istri pasti mengharapkan hal ini. Karenanya bila dikaruniai seorang anak, kita dianjurkan untuk bersyukur. Salah satu cara untuk bersyukur adalah dengan melakukan aqiqah. Menurut para ulama, pengertian aqiqah secara etimologis ialah rambut kepala bayi yang tumbuh semenjak lahirnya. Sedangkan secara terminologis ialah menyembelih hewan pada hari ketujuh dari hari lahirnya seorang anak baik laki-laki maupun perempuan kemudian diberi nama. Hukum Aqiqah menurut pendapat yang paling kuat adalah sunah muakkad dan aqiqah ditujukan kepada orang tuanya.
Rasulullah bersabda dalam sebuah hadis:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “كُلُّ غُلَامٍ رَهِينٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُسَمَّى
Artinya:
“Dari Samurah bin Jundub radhiallahu ‘anhu (w. 58 H), dari Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, digundul rambutnya dan diberi nama.” (HR: Al-Nasa’i)
Yang dimaksud dengan ‘tergadaikan’ menurut penjelasan Imam as-Sindi di dalam Hasyiahnya, ada beberapa pengertian, di antaranya dengan mengutip perkataan Imam Ahmad bin Hanbal bahwa ini dalam konteks syafa’at, artinya jika anak tersebut meninggal sebelum baligh dan belum diaqiqahi maka orang tuanya tidak akan mendapatkan syafaat anaknya di hari kiamat.
Imam al-Turbasyti menerangkan bahwa si anak seperti sesuatu yang tergadai, tidak bisa dinikmati secara sempurna, tanpa ditebus dengan aqiqah, dan karena anak merupakan nikmat dari Allah bagi orang tuanya, sehingga sebagai orang tua harus bersyukur, cara mensyukurinya dengan melakukan aqiqah terhadap anaknya.
Sedangkan aqiqah ketika usia dewasa, Imam al-Nawawi menjelaskan di dalam kitabnya Raudhat al-Thalibin wa ‘Umdat al-Muftin bahwa aqiqah masih bisa dilakukan sekalipun lewat dari 7 hari, tetapi sebaiknya tidak ditunda hingga baligh. Abu ‘Abdillah al-Busyanji dari kalangan ulama mazhab Syafi’i berkata, “Jika tidak disembelihkan pada hari ke-7, maka disembelihkan pada hari ke-14, jika tidak, maka disembelihkan pada hari ke-21”.
Ada pendapat yang menyebutkan bahwa jika 7 hari itu telah berulang 3 kali, maka habislah waktu pilihan. Jika tidak dilaksanakan hingga baligh, maka hukumnya gugur. Anak tersebut memilih untuk mengaqiqahi dirinya sendiri, sebagaimana Rasulullah SAW mengaqiqahi dirinya sendiri setelah menjadi Nabi.