Akhir-akhir ini banyak demo besar-besaran dilakukan oleh sebagian elemen masyarakat termasuk buruh untuk menolak Omnibus Law. Penolakan itu terjadi lantaran banyak pasal-pasal yang termuat dalam undang-undang tersebut cenderung merugikan banyak pihak. Bagi para buruh, adanya Omnibus Law ini akan membawa dampak negatif bagi pemenuhan hak-hak mereka. Begitulah argumen yang banyak disuarakan baik di dalam orasi aksi maupun pemberitaan media.
Sebenarnya apa itu Omnibus Law? Hukumonline.com memaparkan bahwa Omnibus Law adalah istilah untuk mengacu pada konsep pembuatan satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus. Pada awal periode jilid II kepemimpinannya, Jokowi mengeluarkan kebijakan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang kini berubah menjadi UU Cipta Kerja (namun tetap cilaka) untuk mengatasi tumpang tindih kewenangan pusat dan daerah dan banyaknya peraturan yang menghambat laju investasi. UU Omnibus Law Ci(la)ka ini juga disebut undang-undang sapu jagat karena kesaktiannya untuk merevisi 80 lebih undang-undang dengan 1200 lebih pasal.
Dengan begitu banyaknya pasal yang dikaji, ditambah proses pembuatan-perubahan yang cenderung tertutup, membuat masyarakat semakin dibuat bingung, sebenarnya apa yang akan terjadi jika sampai undang-undang ini disahkan? Apalagi orientasi utama UU pada kemudahan investasi – yang dalam prosesnya menggandeng erat para pengusaha – tentu mengkhawatirkan pihak-pihak yang dianggap menghambat hal tersebut. Ingat pernyataan Jokowi yang akan mengejar mereka yang menghambat investasi? Barangkali Omnibus Law inilah cara ia ‘mengejar’.
Berdasarkan apa yang disampaikan oleh Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, UU Omnibus Law Cipta Kerja ini akan mereduksi hak-hak buruh (katadata.com/2020/02/16). Berdasarkan RUU Cipta Kerja yang diterima Katadata.co.id, pasal 88C ayat (2) hanya mengatur Upah Minimum Provinsi (UMP). Sedangkan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015, penetapan upah dilakukan di provinsi serta Kabupaten/Kota. Karena UMP selain di Jogja dan Jakarta nilainya jauh lebih rendah dari UMK, menurut Iqbal akan merugikan buruh.
Kedua, UU ini juga akan menurunkan nilai pesangon buruh yang kena PHK. Ketiga, KSPI menganggap Omnibus Law akan membuat penggunaan tenaga alih daya semakin bebas. Keempat, penghapusan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar pesangon dan PHK.
Kemudian terkait penetapan upah berdasarkan jam kerja. Dalam rancangan Omnibus Law ketenagakerjaan, upah minimum berlaku pada buruh yang bekerja pada jam kerja normal, yaitu 40 jam per minggu. Sementara itu, untuk buruh yang bekerja di bawah jam kerja normal akan diberikan upah per jam sehingga hal ini menjadi kekhawatiran buruh bahwa upah yang diterima bakal lebih rendah dari upah minimum (cnnindonesia.com/2020/02/16).
Begitu banyaknya poin penolakan yang disuarakan oleh kaum buruh mestinya membuat pemerintah mempertimbangkan kembali undang-undang ini supaya adil bagi mereka. Karena buruh adalah salah satu kekuatan penting yang menjadi roda perekonomian negara, sekaligus elemen masyarakat yang harus dilindungi dan disejahterakan olehnya, maka negara harus memenuhi hak-hak para buruh.
Dalam Islam, derajat seluruh manusia di dunia ini dipandang setara, termasuk buruh yang menempati posisi sama dengan majikan. Dalam arti bahwa mereka memiliki hak dan kebebasan yang sama dalam menjalankan masing-masing pekerjaannya. Kewajiban buruh adalah memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya, sedangkan kewajiban majikan adalah memberi tempat kerja yang nyaman, perlindungan, kesejahteraan, dan upah yang layak bagi buruh. Bahkan untuk menunjukkan pentingnya menyegerakan memberi upah buruh sehingga Nabi bersabda: “Bayarlah upah buruhmu sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah).
Dikutip dari Ibnu Husein Al-Ashee (2004), nilai-nilai Islam dalam hubungan buruh-majikan mengandung prinsip sebagai berikut. Pertama, majikan tidak boleh membebani buruh dengan suatu pekerjaan di luar kemampuannya. Kedua, majikan seharusnya mengutamakan kebajikan bagi buruhnya. Ketiga, upah perlu diberikan kepada buruh sesuai dengan hasil kerjanya. Dalam arti bahwa upah ditunaikan kepada seorang buruh sesuai dengan besaran tenaga yang telah ia curahkan selama bekerja (Ahmad Aziz Abidin, 2015).
Jika melihat kembali apa yang disampaikan oleh Ketua KSPI, maka dapat dibenarkan apabila peraturan Omnibus Law Ci(la)ka jauh dari nilai-nilai Islam dalam memuliakan buruh. Sungguh, sistem kapitalisme yang telah banyak menghisap tenaga buruh demi menguntungkan pihak pemodal tidak boleh ditoleransi. Ditambah pemerintah yang menjalin hubungan mesra dengan para kapitalis kemudian menghasilkan kebijakan yang sama sekali tidak memperhatikan kepentingan para buruh. Maka, sebagai bagian dari masyarakat yang peduli pada nasib para buruh, tentu kita harus ikut bersuara untuk menolak undang-undang sapu jagat ini.