Intelektual islam dari Ciputat, Prof. Dr. M. Bambang Pranowo, MA wafat Jumat, 5 Januari 2018. Kabar meninggalnya Prof Bambang saya terima dengan perasaan gamang. Di Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta saya pernah diajar olehnya. Di mata saya ia adalah sosok dosen yang amat bersahaja. Wafatnya Prof Bambang jadi kehilangan bagi banyak orang. Prof Bambang tercatat sebagai Guru Besar Sosiologi Agama di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Di Ciputat, saya beberapa kali bertemu Prof Bambang di warung nasi Padang kecil dekat kampus. Di warung itu Prof Bambang suka bercanda dengan anak penjual nasi. Ia sama sekali tidak kikuk makan di warung kecil. Bukan sesuatu yang besar memang seorang dosen makan di warung kecil. Hanya saja, selain Prof Bambang saya belum pernah melihat dosen (apalagi profesor) makan di warung “kelas mahasiswa” di Ciputat.
Saya masih ingat ketika sosok kurus itu dengan intonasi pelan bercerita di kelas. Prof Bambang berkisah mengenai disertasi yang ia tulis di Monash University. Salah satu fakta yang menjadi kegelisahannya adalah ketika Prof Bambang mencermati sosok ayahnya. Sang ayah selalu menyuruh anak-anaknya untuk salat berjamaah di masjid. Ia juga telah menunaikan ibadah haji.
Maka, jika dilihat dari kacamata Geertz, sang ayah adalah “santri”. Namun, sang ayah juga menggemari wayang dan ketoprak, juga kerap melantunkan tembang Jawa. Ia juga merupakan seorang pemimpin PNI. Tersemat padanya ciri-ciri “abangan”.
Tak pelak Prof Bambang bertanya-tanya: di kategori mana ayah saya mesti dimasukkan? Santri, abangan atau priyayi? Disertasi Prof Bambang memang ingin menjadi alternatif di tengah pandangan dominan dikotomi santri-abangan Geertz. Penelitian yang meneropong kehidupan sosial-keagamaan Muslim Jawa di Tegalroso, Jawa Tengah itu skeptis pada kemapanan Religion of Java (Clifford Geertz).
Prof Bambang kemudian bercerita tentang pengalamannya menjadi guru di Pulau Buru. Ia terkesan manakala menemukan salah satu tahanan mantan aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI) yang mampu mengaji dengan suara amat merdu. Muslim-muslim saleh juga dengan mudah Prof Bambang dapati di Pulau Buru. Padahal, mereka yang dituduh PKI dan ditahan di sana distigma sebagai orang-orang atheis dan membeci Islam.
Fakta itu semakin membuatnya mempertanyakan kategorisasi santri, priyayi, abangan yang selama ini mapan.
Kesimpulan disertasi Prof Bambang penting untuk kita renungkan di masa kini. Ia menulis: …warga desa lebih memandang kehidupan keagamaan sebagai proses yang dinamis ketimbang statis. Setiap individu dianggap sedang berada dalam proses “menjadi” (becoming) dan bukan “mengada” (being). Warga Tegalroso tidak pernah menghakimi keberagamaan seseorang dalam putusan final. Kata-kata “kafir” atau istilah-istilah meminggirkan seperti “abangan”, tidak pernah digunakan dalam percakapan sehari-hari. Itulah sebabnya, umpamanya, orang yang tidak salat disebut dereng nglampahi (belum melaksanakan) dan bukan mboten nglampahi (tidak melaksanakan) salat.
Kita beruntung, disertasi Prof Bambang telah terbit dalam bahasa Indonesia dengan judul Memahami Islam Jawa. Membicarakan jagat Islam Jawa tentu tidak afda rasanyal jika tidak menyinggung hasil penelitian Prof Bambang tersebut. Di kelas Islam dan Budaya Jawa yang saya ampu, buku Memahami Islam Jawa menjadi buku yang harus dibaca mahasiswa. Buku itu merupakan warisan penting dan akan menjadi karya abadi, terus dikaji dari generasi ke generasi.
Selamat jalan, Prof. Kesahajaanmu adalah teladan…