Sedikit yang tahu bahwa nama asli Morenk adalah Ahmad Mauladi. Dia lebih dikenal dengan nama kreatifnya Morenk Beladroe. Saya mengenalnya sejak reformasi 1998 yang riuh itu, dan kasus pelanggaran HAM brutal di Aceh selama orde baru mencuat ke level nasional dan internasional. Morenk, dengan caranya sendiri, ambil bagian dalam kampanye anti pelanggaran HAM itu.
Saya kurang tahu persis dari mana nama Morenk berasal. Tapi nama itu begitu melekat pada dirinya, dan dia menambahkan kata “Beladroe” yang dalam bahasa Aceh kurang lebih berarti membela diri. Sebuah signature yang mencerminkan karakternya sendiri. Dia suka membela yang lemah, dan terlebih dia akan membela dirinya jika diperlakukan tidak adil. Sebelumnya dia pernah juga memakai nama keduanya “Tuengbila”, yang artinya kurang lebih sama.
Dia mencintai desain grafis. Sejumlah poster dan cover bukunya tersebar di berbagai tempat dan penerbit. Ciri desainnya khas dengan warna berani dan garis-garis yang lentur, dan tegas. Dia seorang otodidak yang berhasil.
Dia juga sangat NU dalam sikap dan pandangan, terutama mungkin karena dia adalah pemuja Gus Dur. Dalam soal kaitannya dengan tokoh luar biasa itu, Morenk bisa disebut sebagai seorang pecinta di garis depan bagi sang Kyai. Seperti halnya Gus Dur yang dikaguminya itu, Morenk sangat terbuka dengan pikiran baru, pluralis, kritis, tapi memegang kuat tradisi.
Dia juga terasah dalam gerakan mahasiswa di sayap generasi nahdliyin (sewaktu berkuliah di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta), terutama kedekatannya dengan Savic Ali, aktivis mahasiswa yang radikal, serius, dan kadang lucu itu. Bagi kecenderungan besar anak-anak Aceh di rantau yang seragam, Morenk adalah sebuah keunikan.
Dalam hidupnya saya tahu dia jatuh bangun dalam bekerja dan berkarya. Dia pernah cerita membantu pementasan Iwan Fals-Rendra-Sawung Djabo di Banda Aceh, meskipun proyek itu berujung rugi dan nyaris menguras semua kas pribadinya.
“Pengalaman mahal, tapi aku senang bisa berbuat sesuatu yang tak biasa di Aceh,” ujarnya waktu itu. Lalu dia mengatakan akan kembali ke Jakarta, karena dia merasa Aceh terlalu sempit bagi gerak kreatifnya.
Dia cepat bangkit, dan selalu optimistis. Lama tak mendengar kabar, saya pernah diundangnya mampir ke kedai kopi besutannya di Kalibata City. Sebuah kedai sederhana bernama Kopi Pancong, alias kopi setengah gelas. Sajian kopi setengah gelas adalah khas Aceh, terutama bagi mereka berkantung cekak (harga kopinya juga separuh), atau juga sebagai kopi tambahan bagi yang merasa kurang dengan ukuran segelas. Di kedai itu, dia menyajikan antara lain menu khas Aceh, ayam tangkap dan mi goreng rempah. Bukan itu saja, dan ini ciri pluralisme Morenk, dia sediakan juga pisang goreng khas Pontianak.
“Pisang dan racikan tepungnya langsung dikirim dari Pontianak, bro”, ujarnya kepada saya.
Kedainya laris. Pagi sampai tengah malam selalu ada pelanggan yang datang. Dengan cepat kedai itu menjadi salah satu tempat mangkal wartawan dan aktivis di selatan Jakarta.
Belakangan saya mendengar dia sakit, dan kemudian menjadi sakit yang serius dan berat. Dia berobat ke mana-mana. Beberapa hari lalu penyair Mustafa Ismail, rekannya sesama Aceh perantauan, menjenguknya di rumah sakit. Morenk sudah tak bisa bicara. Pipinya bengkak. Dia menulis di secarik kertas ketika diberi semangat oleh Mustafa agar cepat pulih. Dia tahu ini adalah ujian dari Tuhan atas dirinya.
“Ini ujian yang keren”, tulisnya yang terbaca sebagai sebuah canda yang getir.
Morenk pergi sehari kemudian. Dia meninggalkan banyak kenangan sebagai orang baik yang menghibur banyak temannya, dan tak pernah berpikir buruk kepada mereka yang tak senang kepadanya. Saya kira semua kawannya sepakat bahwa dia adalah teman yang baik.
Selamat jalan, Morenk. Al Fatihah.