Ganja Medis di Indonesia: Ini Sejarah, Legalitas, dan Pertimbangan Medisnya

Ganja Medis di Indonesia: Ini Sejarah, Legalitas, dan Pertimbangan Medisnya

Ganja Medis di Indonesia: Ini Sejarah, Legalitas, dan Pertimbangan Medisnya

Diskusi linimasa media sosial sedang riuh membahas persoalan ganja medis. Satu foto viral seorang ibu, membawa poster bertuliskan “Anakku Butuh Ganja Medis” menyulut diskusi hangat soal legalitas ganja di Indonesia. Diskusi ganja medis tersebut juga mengingatkan kita pada kasus pemenjaraan Fidelis, warga Sanggau, Kalimantan Barat yang dipidana akibat penggunaan ekstraksi ganja untuk pengobatan istrinya.

Mengikuti perkembangan terkini, serta lewat advokasi berbagai kalangan, telah diajukan uji materi kepada MK tentang legalitas ganja medis. Di kalangan muslim, diskusi ini menjadi lebih ramai lagi ketika Wapres RI KH. Maruf Amin menyampaikan kepada MUI untuk mengkaji lebih lanjut soal penggunaan ganja untuk keperluan riset dan pengobatan. Sayangnya, untuk memahami duduk perkara ganja di Indonesia baik dalam urusan legalitas maupun medis, informasi yang sampai kepada kita terhitung sangat minim.

Sejarah Ganja di Indonesia

Teks-teks fikih klasik telah menyitir persoalan ganja. Mereka menyebutnya hasyisy. Ganja dan getahnya merupakan bagian dari peradaban Timur Tengah, khususnya Persia dan Gujarat. Dari sanalah, konon ganja masuk ke Indonesia. Hal ini sebagaimana dicatat oleh Ganja di Indonesia: Pola Konsumsi, Produksi, dan Kebijakan yang disusun oleh Dania Putri dan Tom Blickman. Ia ditanam di Malaka, Ambon, juga masuk ke daerah-daerah di Jawa. Baik itu jenis ganja hemp atau mariyuana.

Penggunaannya di Aceh, yang populer sebagai salah satu daerah dengan budidaya ganja yang cukup luas, menggunakan ganja sebagai campuran obat, bumbu, serta pewarna makanan juga pakaian. Disebutkan bahwa beberapa manuskrip lokal menyinggung hal tersebut. Sehingga, ganja bukanlah barang tabu di Aceh masa lampau, dan penggunaannya pun dilegitimasi ulama kala itu.

Peraturan tentang Narkotika yang dinamis di tingkat global, turut menentukan surutnya penggunaan ganja di Indonesia. Laporan historis yang menarik selain yang disitir di atas, juga diulas dalam buku Hikayat Pohon Ganja anggitan Lingkar Ganja Nusantara.

Perspektif yang patut dicermati dalam dua laporan di atas adalah yang berada dalam antropologis, historis, dan formal-legal. Jika ditinjau secara kritis, berdasarkan kesimpulan dari dua laporan tersebut, memang ada persoalan-persoalan problematik soal pidana penggunaan ganja sebagaimana menimpa Fidelis, juga persoalan terhambatnya potensi kultural maupun ekonomi dari adanya ganja di Indonesia.

Legalitas Ganja dalam Konteks Indonesia dan Global

Ganja, dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika masih digolongkan sebagai psikotropika golongan 1, sebagiamana sabu, kokain, opium, dan heroin. Beberapa pasal di UU tersebut menegaskan bahwa narkotika golongan ini sangat dibatasi, dan hanya boleh digunakan untuk pengobatan berbasis resep dokter dan keputusan Kementerian Kesehatan.

UU Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah revisi dari beberapa undang-undang sebelumnya, yang sejalan dengan isi Konvensi Tunggal PBB tentang Narkotika tahun 1961 yang diamandemen tahun 1972,  yang menegaskan bahwa ganja dan getahnya tergolong obat dengan potensi penyalahgunaan dan berbahaya, seperti opium, heroin, juga kokain.

Konvensi PBB tersebut bertujuan membatasi penggunaan, distribusi, perdagangan, serta produksi bahan terkait hanya untuk medis dan tujuan saintifik. Selain itu konvensi itu – yang ditindaklanjuti dengan konvensi pencegahan perdagangan obat terlarang pada 1988 – adalah untuk mencegah jual beli dan penyelundupan bahan terkait secara internasional.

Indonesia turun meratifikasi konvensi tersebut. Implikasinya, ragam UU yang dihasilkan selanjutnya dari masa ke masa juga merujuk pada hasil ratifikasi.

Momentum soal ganja terjadi ketika WHO pada 2019 mengajukan pada CND (Commission on Narcotic Drugs) PBB agar mengevaluasi kembali unsur ganja. Pada Desember 2020, komisi tersebut sebagaimana dalam rilisnya akhirnya menghapus ganja dari golongan IV konvensi PBB 1961.

Dari putusan revisi itu, ganja dan getah (resin) ganja diakui dinyatakan memiliki potensi terapeutik, meskipun yang masih banyak diakui adalah unsur cannabidiol (CBD). Sedangkan tetrahydrocannabinol dan sintesanya yaitu dronabinol, yang menyebabkan sensasi “fly” dan psikoaktif, masih dibatasi dengan sangat ketat.

Bagi sebagian kalangan ini adalah langkah besar terkait penelitian lebih lanjut terkait ganja, mengingat adanya potensi terapeutik dan berkurangnya hambatan juga restriksi untuk meneliti lebih lanjut fungsi ganja.

Meskipun baru diputuskan pada 2020, namun beberapa negara seperti Uruguay dan Kanada, telah lebih dahulu melegalkan penelitian dan penggunaan ganja untuk pengobatan bahkan sampai untuk keperluan non-medis dan rekreasional – dengan sederet aturan ketat terkait indikasi, dosis, dan batasan usia. Hal ini juga mulai dilakukan puluhan negara lainnya – termasuk yang dahulu ikut meratifikasi konvensi tahun 1961. Dan pengakuan CND PBB di atas, memberi sedikit ruang tambahan bagi telaah ganja lebih lanjut.

Menimbang Ganja Medis di Indonesia

Di tengah minimnya informasi berbahasa Indonesia yang mendudukkan ganja, terlebih ganja medis, secara proporsional, persepsi awam yang umum soal ganja salah satunya adalah kegiatan nyimeng: merokok dengan lintingan ganja, baik dicampuri tembakau atau murni ganja. Efek melayang pasca mengisap ganja ini akibat efek cannabinoid (THC) yang sudah disebutkan sebelumnya. Dari sisi ini, restriksi ganja cukup bisa dipahami dalam aspek ketergantungan obat.

Testimoni seputar manfaat ganja yang sebagiannya  sudah kita dengar, bisa jadi pintu informasi mengenai pentingnya diskusi deregulasi ganja, sebagaimana diperjuangkan beberapa kalangan. Adanya informasi efikasi terapi ganja di luar negeri, mungkin menjadi harapan bagi yang membutuhkannya. Mengingat yang didiskusikan adalah legalitas ganja medis, maka hal tetap ini perlu mengacu pada suatu terapi terukur dan telah melalui fase uji yang otoritatif.

Masih banyak yang belum diketahui tentang penggunaan ganja ini untuk medis dari segi dosis, efek samping, dan pertimbangan lainnya. Bisa disimak utas Twitter Prof. dr. Zubairi Djoerban, Sp.PD-KHOM berikut:

 

Berikut juga keterangan Guru Besar Farmasi UGM Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D. Pada intinya, keduanya tetap mengajak masyarakat supaya tetap menanti perkembangan riset terbaru. Keduanya juga tidak memberi simpulan sementara, barangkali jenis yang sudah teruji, dapat menjadi pilihan maupun alternatif – tentu atas pertimbangan pemberi terapi.

Banyak hal yang masih perlu dicermati kembali soal regulasi serta manfaatnya di Indonesia, khususnya bagi kalangan umum termasuk penulis sendiri. Jika benar kalangan agamawan, aktivis, legislator, juga kalangan medis mulai mendialogkan kemungkinan-kemungkinan soal ganja ini di Indonesia secara serius, semoga saja ini bentuk satu diskursus ilmiah yang layak diapresiasi, dan hasilnya bisa bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengeahuan dan masyarakat umum.