Saat mulai membaca karya sastra pada tahun 2009, nama Sapardi Djoko Damono belum pernah terdengar di telinga saya. Keterbatasan akses buku fiksi di pesantren membuat saya lebih ‘akrab’ dengan penulis puisi dan novel yang segmentasinya kalangan pesantren. Sebut saja Habiburrahman El-Shirazy dan Abidah El-Khalieqy.
Ayat-Ayat Cinta dan Perempuan Berkalung Sorban seolah menjadi bacaan wajib bagi santri-santri yang gemar dengan bacaan sastra. Sementara puisi-puisi pesantren, teman-teman santri banyak merujuk pada sosok KH. A. Mustofa Bisri.
Saya mulai membaca beberapa karya sastra non-pesantren di tahun 2011. Sebabnya, saat itu saya mengikuti beberapa seminar sastra yang diisi oleh Triyanto Triwikromo dan juga Ahmad Tohari. Keduanya mengenalkan saya pada dunia sastra yang begitu baru sekaligus mencerahkan. Ternyata, apa yang saya ketahui hanya setetes air. Yang tidak saya ketahui ibarat samudera. Sangat luas.
Anehnya, nama Sapardi Djoko Damono juga belum pernah saya dengar. Sementara database penulis sastra yang saya kagumi sudah memasukkan nama-nama besar seperti Seno Gumira Ajidarma, Joni Ariadinata, Sutardji Colzoum Bachri, dan Putu Wijaya.
‘Perjumpaan’ pertama saya dengan Eyang Sapardi alias SDD justru terjadi menjelang selesai kuliah, sekitar tahun 2015. Secara kebetulan saya membaca potongan puisi tersebut dari status di media sosial.
Dari situlah saya mulai mencari kutipan-kutipan sastrawan senior yang dipanggil Eyang tersebut. Ternyata, karya-karya Eyang sangat kuat. Ia membuat puisi bisa begitu hidup. Tidak sekadar bercerita, tetapi juga berbicara. Terkadang seperti orang tua memberi nasehat pada anaknya. Terkadang seperti seorang sahabat karib yang memberi petuah bijak. Terkadang seperti seorang kekasih yang ingin menegaskan dirinya selalu ada.
Ah, malu sekali. Memang, sih. Sudah sekian lama saya tidak update karya-karya sastra lagi. Selama kuliah, saya lebih banyak bergelut dengan buku-buku non-fiksi. Lirik indah ini membuat saya kembali membuka ingatan lama saya tentang dunia sastra yang pernah coba saya geluti.
Kenapa baru kali ini saya membaca puisi karya Eyang? Pikirku saat itu. Dan mengapa karya se-sufi ini tidak saya kenal sejak berada di pondok pesantren? Apakah karena Eyang tidak gunakan istilah-istilah religius? Ah, andai saja karya-karya Eyang bisa diterjemahkan dalam bahasa Arab, pasti akan bisa dinikmati kalangan pesantren.
Jawaban itu segera saya temukan ketika mengikuti postingan teman Facebook bernama Usman Arrumy. Ia menerjemahkan ke dalam bahasa Arab kumpulan puisi Eyang Sapardi. Hammuka daimun, dukamu abadi (2016). Semoga saja upaya ini bisa membuat penikmat sastra di pesantren mengenal karya-karya agung Eyang.
Beberapa waktu kemudian sebuah lagu yang digubah Ari Reda mendekatkan lagi saya dengan Eyang. Lagu itu membuat syaraf-syaraf seolah dipijat. Judulnya “Aku Ingin”.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
Berkali-kali saya dengarkan dan resapi lirik lagu tersebut. Berkali-kali pula ada semangat baru yang merasuk. Pada saat itu kondisi psikologis saya sedang kurang baik. Puisi tersebut sangat membantu saya untuk tidak berlarut-larut dalam duka lara. Entah berapa banyak orang yang punya pengalaman serupa, hancur hatinya kemudian bisa bangkit setelah membaca puisi tersebut.
Eyang mengajarkan pembacanya untuk memaknai cinta secara sederhana. Cinta adalah memberi, itu saja. Kita bisa juga temukan pemaknaan cinta ini dalam puisi lainnya yang juga terkenal berjudul “pada suatu hari nanti”.
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.
Begitu cara Eyang memaknai cinta. Ia begitu mengagungkan cinta dengan tidak merelakan seseorang berduka mengatasnamakan cinta. Sebagaimana sabda Nabi, cintai dan benci seseorang sewajarnya. Bisa saja, kita berbalik mencintai orang yang kita benci. Sebaliknya, bisa saja kita membenci orang yang sangat kita cintai.
Untuk itu, cintailah seseorang dengan sederhana. Sangat sufi sekali, bukan? Tak heran apabila ada guyonan bahwa sosok Sapardi Djoko Damono adalah walinya para pejuang cinta.
Saya kemudian menyadari satu hal. Meski saya belum lama mengenal Eyang, namun itu bukan sebuah keterlambatan. Karya sastra tidak mengenal ruang dan waktu. Ia bisa menemukan pembacanya bertahun-tahun setelah dilahirkan. Ia bisa menyelamatkan orang yang memang dipilih untuk diselamatkan. Seperti menyusuri lorong waktu demi mencari pembaca yang diinginkan.
Hujan di bulan Juni menjadi salah satu puisi yang menggelitik. Betapa tidak. Di Indonesia, bulan Juni biasanya sudah memasuki musim kemarau. Tetapi kenapa ada hujan di bulan Juni? Di situlah pembaca bisa turut hadir menyelami metafor-metafor dalam karya sastra. Sesuatu yang tidak mungkin, justru merupakan pengandaian yang sangat kuat.
Kita bisa mengandai-andai, sekaligus menjadikan lirik tersebut sangat relate dengan kehidupan pribadi masing-masing.
Hari ini, di usia kedelapan puluh, Eyang Sapardi meningalkan kita. Ia pergi setelah satu bulan hujan di bulan Juni berlalu. Kini, yang tersisa hanya gerimis di bulan Juli. Hanya perasaan kalut para cucunya yang seolah tidak siap ditinggalkan begitu saja.
Tentu saja, kita sangat berduka dan kehilangan. Namun ada satu wasiat Eyang yang tertuang dalam puisinya. Wasiat bahwa bait-bait sajak yang ditulisnya akan selalu membersamai kita, para cucunya. Ia selalu hadir, kapan pun kita menjabat dan memeluknya, lewat karya-karyanya.
Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Selamat jalan, Eyang. Lahu Al-Fatihah.