Perang menuntut kekuatan dan ketangguhan. Dan hanya orang kuat dan tangguhlah yang bisa melakukan itu. Lihat saja apa yang dilakukan Khalid bin Walid, yang tidak diragukan lagi kemampuan penguasaan strategi perang dan penaklukan wilayah perang. Begitu juga dengan khalifah Umar Ibn al-Khattab, yang tak pernah mengenal gentar dalam menghadapi musuh. Bagi laki-laki sosok khalid dan Umar sering menjadi simbol pahlawan umat Islam di medan perang. Lalu bagaimana dengan perempuan, adakah perempuan yang kuat dan tangguh?
Nusaybah Umm ‘Imarah binti Ka’ab ibn Auf al-Anshariyah sangat pantas dimasukkan dalam dua kategori ini. Ia telah menjadi salah satu pahlawan perempuan Islam yang melindungi Nabi pada pertempuran di bukit Uhud.
Di bukit itu perang besar masih berkecamuk. Kemenangan umat Islam yang hampir di tangan akhirnya hilang hanya disebabkan oleh kerakusan sebagian pasukan Islam. Musuh terus meringsek mendesak pasukan muslim, tak terkecuali Nabi sebagai pimpinan pasukan. Nusyaibah, yang waktu itu bertugas merawat korban luka perang, tidak bisa tinggal diam melihat keselamatan Nabi terancam. Walau bagaimanapun Nabi harus diselamatkan.
Busur dan anak panah yang biasa ia bawa dalam setiap perang, selain pedang, dengan sigap ia rentang dan pasang. Ia segera bergabung dengan sepuluh sahabat lain membentuk benteng di samping Nabi. Mata wanita itu awas mencari sasaran, pendengarannya pun tajam mendengar dengus napas musuh yang mendekat, dan tak lama kemudian anak panahnya melesat menembus badan musuh. Satu, dua, tiga, lesatan-lesatan panah itu terus menyerang musuh yang berusaha mendekati Nabi. Musuh pun terkapar bersimbah darah terkena panah Nusyaibah. Dengan kegigihan Nusyaibah menghalau musuh bersama sahabat lain akhirnya Nabi selamat.
Itulah Nusyaibah sang wanita perkasa. Ia telah mati-matian membela Nabi, meski ia tidak terlatih untuk berperang dan angkat senjata. Kegigihannya dalam pertempuran diabadikan dalam sejarah oleh Nabi: “Ketika perang Uhud, aku tidak melihat ke kanan dan ke kiri kecuali Nusyaibah yang ada di sekitarku.”
Pada zaman khalifah Abu Bakar ia kembali menunjukkan kegagahannya. Saat itu Abu Bakar hendak memerangi Musailamah, si nabi palsu. Tahu akan hal itu Nusyaibah minta ijin kepada Khalifah untuk bergabung dengan pasukan muslim yang dipimpin Khalid ibn Al-Walid. Demi permohonan Nusyaibah Abu Bakar berkata: “Aku tahu kemampuanmu dalam berperang. Pergilah berjuang di jalan Allah.”
Sekali lagi Nusaybah berperang dengan berani di Yamamah. Dia terluka di 11 bagian tubuhnya dan salah satu tangannya dipotong musuh. Dan untuk merawat lukanya digunakan minyak panas untuk disiramkan ke bagian tubuh yang luka. Bisa dibayangkan bagaimana sakitnya menahan disiram dengan minyak panas, tapi Nusyaibah mampu melakukannya.
Kisah Nusyaibah ini menunjukkan perempuan tidak selamanya cengeng. Nusyaibah menjadi bukti perempuan pemberani dan tangguh. Namun, kisah-kisah ini tidak terlalu masyhur, bahkan nyaris jarang kita mendengarnya. Apa yang dilakukan Nusaybah sangat di luar dugaan dan keluar dari kebiasaan. Karena cerita yang muncul tentang perempuan dalam perang hanya cerita para wanita yang bertugas merawat korban perang yang terluka dan mengurusi dapur umum. Seperti yang ditegaskan Ibnu al-Munir dalam kitab Fathul Bari saat menanggapi hadis-hadis tentang keterlibatan perempuan dalam perang.
Begitu juga dalam banyak matan hadis, misalnya hadis riwayat Imam Bukhari, perempuan banyak disebutkan merawat korban, mengurusi dapur umum, sambil sesekali mempersiapkan peralatan perang. Tidak disebutkan secara jelas bahwa mereka melakukan kontak senjata seperti yang dilakukan para sahabat laki-laki.
Kendati demikian, sebenarnya kontak senjata dilakukan juga oleh Aisyah pada perang jamal/unta (656 M), Shafiyyah dalam perang Khandaq, seperti yang ditulis Muhammad Ibrahim Salim dalam Annisaa’ Haula al-Rasul, dan Ummu Sulaim dalam perang hunain. Mereka bahu-membahu dengan kaum lelaki dalam berperang. Sumaiyyah, Rubai’ binti Muawwadz, Ummu Sinan al-Aslamiyah, Ummu Ziyad al-Asyyaiyah, Laila al-Ghaffariyyah adalah beberapa para pejuang perempuan yang bukan hanya berada di belakang tenda, di garis paling belakang zona peperangan. Di Indonesia kita dapat berkaca pada apa yang dilakukan Cut Nyak Dien, Dewi Sartika atau pahlawan wanita di tanah air.
Hal diatas tadi adalah rekaman sejarah yang membuktikan bahwa peran perempuan sejak dulu di kancah publik terlihat hingga memasuki daerah perang sekalipun. Namun, rekaman sejarah itu sangat terbatas. Bisa jadi karena legitimasi pemimpin adalah laki-laki, kaum wanita berada tidak di garda depan perang. Kecuali keadaan darurat—saat tidak ada laki-laki lagi yang mampu memimpin–yang ‘menggugurkan’ legitimasi itu.
Padahal tidak selalu laki-laki mampu memimpin dan berani menghadapi musuh. Contohnya Dalam Perang Khandaq, Shafiyah berada bersama para wanita dan anak-anak di dalam benteng yang dijaga Hassan bin Tsabit, penyair Nabi SAW. Situasi di Madinah sangat gawat, karena dikepung dari segenap penjuru. Yahudi Bani Quraidhah telah mengkhianati janji. Madinah terancam dari dalam dan dari luar.
Di sinilah kemudian Shafiyah melihat orang Yahudi berkeliling di benteng dan melewati parit pertahanan. Maka Shafiyah berkata kepada Hassan :”Hai, Hassan, orang Yahudi itu mengelilingi benteng. Aku khawatir dia akan menunjukkan rahasia kita kepada orang-orang Yahudi yang di belakang kita.”
Mendengar teriakkan Syafiyah, Hassan malah tidak berani untuk bertempur. Melihat hal demikian Shafiyah mengambil sebatang tiang kemah dan keluar dari benteng, lalu menyerang orang Yahudi itu. Dia memukul kepala orang itu dengan tiang hingga roboh ke bumi dan tewas.
Lalu dia kembali ke benteng dan melemparkan tiang itu dari tangannya. Apa yang dilakukan Syafiyah adalah sebuah keberanian dan yang diperbuat Hassan adalah ketakutan. Jadi, apakah laki-laki selalu berani dan wanita selalu takut. keberanian dan ketakutan di tentukan oleh jenis kelamin?
Syir’ah 19