Nonton Drama Korea dan Hiburan-hiburan yang Sering Diharamkan

Nonton Drama Korea dan Hiburan-hiburan yang Sering Diharamkan

Nonton drama Korea, memang sedang digandrungi oleh banyak pemuda Indonesia, tapi akhir-akhir ini malah sering diharamkan.

Nonton Drama Korea dan Hiburan-hiburan yang Sering Diharamkan

Nonton drama Korea, memang sedang digandrungi oleh banyak pemuda Indonesia. Bahkan orang dewasa pun banyak yang menyukainya, dibahas di dunia nyata juga di dunia maya. Tetapi, tidak sedikit pula yang kemudian menentang kegandrungan orang Indonesia terhadap drama dan musik Korea.

Dalam satu akun media sosial di Instagram, bahkan ada yang memang jelas mengkampanyekan anti Korea. Akunnya sudah diikuti oleh ratusan ribu orang. Tidak apa-apa. Itu hak dia sepenuhnya.

Pada salah satu postingannya dia mengatakan bahwa menyukai bintang K-Pop itu asalnya dari setan atau dari hawa nafsu. Itu hak dia juga untuk menuliskannya. Dalam demokrasi, menemukan gagasan yang berbeda dengan apa yang kita yakini itu biasa.

Mengajak pemuda-pemudi Indonesia untuk berakhlak mulia dan lebih mencintai hal-hal yang menyangkut agamanya tentu baik. Tetapi kalau sampai menjelekkan yang lain hingga mengkafirkannya itu sudah jauh berbeda.

Ada juga penceramah yang bilang bahwa pecinta drama Korea tergolong orang kafir. Penceramah kondang yang saat ini populer dan banyak pengikutnya di Indonesia. Kita mengenalnya dengan Ustadz Abdul Somad atau kerap disingkat UAS.

Pada sebuah video yang berisi ceramahnya, UAS menjawab sejumlah pertanyaan dari para jamaahnya yang sudah terkumpul dalam secarik kertas. Salah satu pertanyaannya berbunyi: “Apa hukumnya menyukai, menggemari film Korea?”

Pertanyaan tersebut sontak mengundang senyum UAS dan tawa para jamaahnya. UAS kemudian menjawab dengan larangan, “Orang Korea ini kafir. Tak bersunat. Tak mandi wajib. Berzinah kerjanya. Jangan suka kepada orang kafir.”

Kemudian UAS mengutip sebuah hadis yang berbunyi, “Man tasyabbaha biqowmin, fahuwa minhum” yang diterjemahkan UAS menjadi, “Siapa yang suka kepada orang kafir, maka dia bagian dari kafir itu. Condong hatinya pada orang kafir.” UAS juga mengarahkan untuk menonton qori-qori’ah. Ketimbang menonton drama Korea.

Hadis memang merupakan salah satu sumber hukum Islam setelah al-Qur’an. Tetapi, sebelum dapat dijadikan hukum, hadis perlu dilihat dari berbagai aspek. Misalnya ilmu gramatika Arab (nahwu dan sharaf), asbabul wurud (sebab turunnya hadis), kualitas hadis (sahih atau tidak), tafsir dan lain sebagainya hingga bisa ditetapkan menjadi sumber hukum.

Menurut saya, persoalan agama dan hiburan adalah dua hal yang juga berbeda. Tetapi, sekarang, apa sih yang tidak disangkutpautkan dengan agama? Memilih pejabat publik saja dianggap menentukan keimanan seseorang.

Setiap orang, mempunyai cara untuk menghibur dirinya masing-masing. Dengan musik, tari, film, buku, atau apa saja. Sesuai selera. Sesuatu yang sukar diperdebatkan. Semua baik tergantung bagaimana kita menyikapinya.

Jika mau mencontoh hiburan yang dilakukan Nabi, itu bagus. Tetapi Nabi adalah manusia sempurna. Sulit bagi kita—atau saya setidaknya—untuk meniru apa-apa yang dicontohkannya. Nabi pun hidup pada zamannya sendiri.

Bagi saya, sangat tidak masalah menyukai drama atau musik Korea. Pun untuk menyukai bintang-bintang sepak bola Eropa yang kebanyakan bukan Muslim. Selagi menggemari drama Korea atau sepak bola Eropa tidak membuat kita abai pada kewajiban-kewajiban sebagai Muslim.

Bagaimana mungkin masih mengimani dan melaksanakan rukun iman, rukun Islam tetapi kafir karena menyukai drama Korea?

Islam bukan persoalan fiqih semata. Islam juga bukan hanya bertugas menghalalkan atau mengharamkan sesuatu. Hadirnya Islam adalah untuk keluhuran akhlak manusia, untuk peradaban, untuk menyebarkan kasih sayang pada semesta (rahmatan lil-‘alamin).

Bukankah Jalaluddin Rumi, seorang sufi agung Konya, juga bernyanyi dan menari?

Dalam sebuah cerita, Rumi ditentang oleh orang-orang yang menganggap musik itu haram. Rumi menjawab seraya merentangkan tangannya.

“Allah memberkati para pemusik dan memberikan kekuatan pada tangan mereka. Nyanyian mereka membantu menyegarkan kembali hati orang yang telah layu—mengapa kita tidak berterima kasih pada mereka?” (Watts, 2003: 172)

Saya sangat menyayangkan, mengapa sulit sekali bagi kebanyakan penceramah kita hari hari ini untuk membuat baik sesuatu tanpa harus menjelekkan yang lainnya?