Pantaskah Cari Hiburan dengan Menjaili Orang Lain?

Pantaskah Cari Hiburan dengan Menjaili Orang Lain?

Konon seorang Syekh sedang berjalan-jalan bersama salah satu muridnya di sebuah taman. Tiba-tiba, keduanya melihat sepasang sepatu lusuh tergeletak di sudut jalan.

Pantaskah Cari Hiburan dengan Menjaili Orang Lain?
Petasan atau mercom adalah tradisi khas yang kita peroleh dari zaman dulu

Konon seorang Syekh sedang berjalan-jalan bersama salah satu muridnya di sebuah taman. Tiba-tiba, keduanya melihat sepasang sepatu lusuh tergeletak di sudut jalan. Setelah mengamati sekitar, tak didapati seorang pun di sana.
Mereka yakin itu adalah sepatu tukang kebun, yang lagi menyelesaikan pekerjaannya di dalam kebun. Seketika, sang murid yang sudah sangat akrab dengan Syekhnya itu berujar:

“Bagaimana kalau kita candai tukang kebun ini dengan menyembunyikan sepatunya, kemudian kita sembunyi di belakang pohon? Nanti ketika dia kembali, kita akan melihat bagaimana ekspresi si tukang kebun kaget!”

Usulan yang datang tiba-tiba dari sang murid tidak lantas disetujui oleh syekh, dengan perpektif si murid. Tapi Sang Guru menjawab:

“Ananda, tidak pantas kita menghibur diri dengan menertawakan orang kecil. Kamu bisa saja menambah kebahagiaan untuk dirinya. Coba masukkan beberapa lembar uang kertas dalam sepatunya, lalu kamu saksikan bagaimana respon tukang kebun itu.”

Sang murid takjub dan langsung sepakat dengan usulan yang lebih baik dari gurunya. Dia segera memasukkan beberapa lembar uang ke dalam sepatu tukang kebun itu. Setelah itu, mereka berdua memilih untuk bersembunyi di balik semak-semak sambil mengintip apa yang akan terjadi. Tidak berselang lama, datanglah pekerja kebun itu sambil mengibas-ngibaskan debu dari pakaiannya. Ketika memasukkan kaki dalam sepatu, ia terperanjat. Ada sesuatu di dalamnya. Ternyata itu adalah uang. Dia memeriksa sepatu yang satunya lagi, juga berisi beberapa lembar uang kertas. Dia mengamati sekeliling kebun berulang-ulang. Akalnya sulit untuk percaya dengan keajaiban ini.

Ia memutar pandangannya ke segala penjuru sekali lagi, tapi tak ada seorang pun di sana. Lalu, dimasukkannya uang itu dalam sakunya. Sambil berlutut dan menangis, dia berteriak, seolah-olah bicara kepada Tuhan yang di atas, “Aku bersyukur kepada-Mu, ya Allah. Wahai Yang Mahatahu, istriku lagi sakit dan anak-anakku sedang menderita kelaparan. Mereka belum mendapat jatah makanan hari ini. Engkau telah menyelamatkan mereka Ya Allah.”

Dia terus menangis lama sambil memandang langit dan menengadah sebagai ungkapan rasa syukurnya atas nikmat yang tiada terkira ini. Beberapa saat kemudian, si tukang kebun ini pulang dengan air mata haru yang terus meleleh sambil menyenandungkan bait-bait syukur.

Sementara di balik semak-semak, sang murid sangat terharu dengan pemandangan yang ia lihat di balik persembunyiannya. Air matanya menganak sungai, antara haru dan senang tiada terkira.

Syekh lalu berujar pelan, “Bukankah sekarang kamu merasakan kebahagiaan yang lebih daripada rencana menyembunyikan sepatunya?”

Muridnya menjawab, “Sekarang aku baru paham makna ajaranmu yang dulu pernah kau ajarkan kepada kami, Syekh. Bahwa ketika memberi, kita akan mendapatkan kebahagiaan lebih banyak dari pada ketika kita memperoleh sesuatu.”

Sahabat, betapa sering kita mengalami kasus serupa. Dan mayoritas kita memiliki kecenderungan layaknya keinginan sang murid. Kita menginginkan untuk sekadar mencari hiburan atau kelucuan sesaat. Mempermainkan dan bahkan mezalimi orang yang lemah, baik sadar maupun tidak. Lebih senang memberikan sesuatu kepada orang kecil dengan terlebih dahulu mengerjainya. Padahal kita mampu untuk berbuat sebaliknya, menghadirkan senyum merekah di wajah mereka. Virus ini bahkan menyebar hingga ke anak-anak sekolahan. Menjaili teman secara berlebihan, menertawakan temannya yang terjatuh, mengejek jika ada teman yang mendapat hukuman, atau mem-bully bersama adalah di antara yang nyata kita temukan dalam pergaulan anak-anak sekolah zaman sekarang.

Sebagai timbangan terhadap bangaimana seharusnya kita memperlakukan orang lain adalah dengan membayangkan jika yang diperlakukan demikian adalah sosok diri kita. Ketika kita menipu atau mempermainkan orang lain, mari sejenak kita bayangkan jika orang lain memperlakukan kita demikian. Ketika hendak mencari hiburan atau candaan dengan jalan merendahkan orang lain, mari kita resapi jika yang di posisi itu adalah diri kita. Nurani adalah ukuran. Ia akan jujur menilai dan merespon keadaan. Namun, jika nurani terlalu lama ditinggal, tak pernah digunakan, tak diasah untuk peka, atau dibiarkan keruh bahkan kotor, maka dikhawatirkan ia akan tertutupi sedikit demi sedikit. Ketika nurani sudah terkotori, ini bencana yang sesungguhnya.

Khoiruddin Bashori pernah berujar, “Orang besar selalu ingin membesarkan orang lain. Orang kecil hanya ingin membesarkan diri sendiri.” Kepribadian seseorang bisa diukur dari perlakuan kita kepada sesama. Ketika kita berazam untuk berbuat maksimal kepada sesama, maka di saat bersamaan, alam semesta akan mengembalikan energi yang telah kita keluarkan.

Tak ada yang sia-sia dengan membagi kebahagiaan kepada sesama. Tak ada yang perlu disesali dengan berbuat baik kepada siapa pun. Justru kita perlu bersedih ketika memperlakukan orang lain tidak semestinya. Terlebih jika yang menjadi alasan bagi tindakan itu hanya karena penilaian berdasarkan pekerjaan atau status sosial. Menganggap rendah hanya karena orang tersebut berprofesi sebgai tukang kebun atau seorang juru parkir. Bisa jadi nanti, si tukang kebun atau juru parkir yang kita hina, lebih dahulu masuk surga berkat kedekatannya dengan Tuhan, kejernihan hati, atau juga mentalnya yang lebih merdeka. Wallahu a’lam bishawab.

Muhammad Ridha Basri, mahasiswa prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir, Fakultas Usuluddin UIN Sunan Kalijaga.

Sumber: NU Online