Mengapa mempersoalkan NKRI Bersyariah? Mari sejenak kita bicara lagi. Program “NKRI Bersyariah” yang secara ikonik dirumuskan Habib Rizieq Shihab merupakan payung bersama bagi gerakan Islam Politik yang punya banyak spektrum. Dari kalangan jihadis yang berafiliasi ke ISIS secara malu-malu, jihadis otonom, salafi ikhwan dan wahabi, pengusung khilafatisme HTI, sampai jamaah tabligh, dan tentunya jamaah FPI sendiri beserta derivat-derivatnya.
Senada dengan yang dikemukakan Abdul Moqsith Ghozali, “NKRI Bersyariah” merupakan reaktualisasi semangat Piagam Jakarta yang ingin memasukkan lagi klausul “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Jika tujuh dasawarsa lalu klausul tersebut diinterpolasi secara politik demi persatuan Indonesia yang majemuk, maka sekarang secara politik ada yang menginginkan klausul ini dimasukkan kembali dengan landasan Islam sebagai agama mayoritas. Jika tujuh dasawarsa lalu ego mayoritas diluluhkan demi tujuan keadilan bersama, maka di era kiwari ego mayoritas ini diusung lagi demi tujuan politik yang partisan dan sektarian.
Hasyim Muzadi (alm.) dan KH. Shalahuddin Wahid dengan tegas menolak upaya formalisasi Syariat Islam karena dipandang berlawanan dengan fakta Indonesia yang majemuk. Baru-baru ini, pernyataan Habib Lutfi bin Yahya yang menegaskan bahwa NKRI sudah syariah, bisa dikatakan merupakan jawaban atas proyek politik “NKRI Bersyariah”. Ini merupakan proposisi paling tegas yang melawan visi politik rumusan Habib Rizieq yang kini eksil.
Visi NKRI Sudah Syariah melihat bahwa terlalu banyak sudah spirit syariat Islam yang menjelma menjadi produk yuridis dalam sistem hukum negara ini. UU Perkawinan, UU zakat, UU Peradilan Agama, UU Wakaf, UU Haji, dst., merupakan bukti yang sukar dibantah. Namun, tampaknya bagi kalangan pengusung NKRI Bersyariah, semua hal-hal substantif tersebut tidak esensial. Yang paling esensial sebagai bukti Bersyariah adalah pemberlakuan hudud atau sistem pidana Islam. Kalau mau dieksplisitkan NKRI Bersyariah bisa dibaca NKRI Berhudud.
Dua visi tentang relasi syariah dengan negara ini sejatinya merupakan dua visi yang melihat prioritas berbeda dalam lingkup negara vis-a-vis masyarakat sipil. Prioritas NKRI Bersyariah adalah menundukkan negara demi tegaknya Syariah (Baca: Hudud) versinya, sedangkan prioritas NKRI Sudah Syariah adalah menjaga kedaulatan masyarakat sipil agar tidak dicaplok oleh kekuasaan (entah negara atau pun faksi tertentu yang dominan atas negara). Dalam sudut pandang inilah ketika program NKRI Bersyariah sebagian mengemuka dengan maksim politik sama dengan agama, maka pandangan NKRI Sudah Syariah menarik tegas adanya batasan antara wilayah politik dengan agama.
Lebih jauh, ada dua hal yang perlu dibahas berkenaan dengan visi NKRI Bersyariah. Pertama, terkait ihwal militerisme. Kita tentu masih ingat postingan Ustadz Abdus Samad (UAS) saat proses pengajuan calon presiden pada 2018 lalu. Dia mendukung penuh usulan Habib Rizieq Shihab tentang duet Prabowo Subianto dengan Salim as-Segaff dengan komentar “duet maut tentara dan ulama”. Sukar untuk ditemukan formulasi entah oleh UAS atau pun Habib Rizieq mengenai relasi ideal militer dengan masyarakat sipil di mana ulama sebagai bagian dari entitas yang disebut belakangan.
Mengapa hal ini penting untuk dikemukakan, karena paham militerisme sejatinya bermasalah? Tentu saja, bukan kemudian mesti dipahami bahwa masyarakat sipil harus antipati terhadap militer. Sama sekali tidak. Justru militer merupakan elemen penting bagi kelangsungan hidup negara dan bangsa. Namun penting digarisbawahi bahwa militerisme pernah menjadi masalah bagi masyarakat sipil, khususnya di era Orde Baru. Bahwa kelangsungan rezim Orde Baru ditopang oleh aliansi strategis antara militer, birokrasi, dan Golkar (yang saat itu menjadi partai negara). Militer menjalankan fungsi ganda baik sebagai pengaman teritorial negara sekaligus sebagai kekuatan pemaksa kebijakan-kebijakan politik terhadap masyarakat sipil. Visi NKRI Bersyariah kiranya abai terhadap potensi cengkeraman elit militer atas ranah masyarakat sipil.
Kedua, terkait ihwal relasi agama dengan negara. Visi NKRI Bersyariah yang berusaha meng-hudud-kan Indonesia niscaya bakal membawa pada problem di mana agama hanya menjadi alat kekuasaan. Bagaimana tidak? Visi ini sendiri sudah timpang seperti terwujud dalam ambivalensinya terhadap ihwal demokrasi dan HAM, miopi terhadap filosofi kekerasan dan militerisme, persekusi terhadap kelompok minoritas, dan melihat kebenaran secara monokromatik. Tidak perlu ditambahkan bahwa karakter inheren yang fasistik dalam visi tersebut kadang-kadang mencuat dalam bentuk mobokrasi yang bikin orang mengurut dada dan beristighfar.
Arkian, visi NKRI Bersyariah bilamana hendak lebih tajam lagi, selayaknya mendiskusikan kemusykilan-kemusykilan yang serba sedikit disinggung di atas. Mengelak dan mengisolasi gagasan dari kemusykilan yang dihadapi sama saja artinya gagasan tersebut mentah, kurang terasah dan kurang teruji. Wallahu a’lam. [ ]