Sejak seminggu lalu, isteri saya memutar lagi ini setiap saya mau berangkat kerja. Dengan lirik yang menggugah sekaligus suara merdu, potongan lagu itu membuat potongan ingatan mengenai impian saya dan isteri kembali mengumpul sejak awal kami menikah 9 tahun lalu.
“Kalau ada rejeki satu waktu kita bisa pergi ke tanah suci ya, Bunda,” sambil tertawa di tengah masa depan yang tak menentu atas sebuah pekerjaan.
Lagu terbaru Sabyan ini persis bertautan dengan mimpi saya dan isteri sekaligus juga banyak orang, tentang mereka yang memiliki harapan besar untuk menyapa dan mencium baitullah. Niat itu begitu kuat tetapi secara finansial tidak mencukupi yang membuatnya menjadi sekedar benar-benar mimpi. Ini tercermin dari paragraf pertama liriknya yang sangat kuat.
Dulu kau pernah bermimpi
Temuinya di tanah suci
Kini kau kan pergi
Tunaikan panggilan ilahi
Datang dan katakan padanya
Di sana.. Di sana…
Bagi mereka yang berpunya dengan kelebihan, mimpi untuk mencium Rumah Allah bisa menyegerakan. Walaupun pergi ke rumah Allah tersebut tidaklah melulu mengenai kekuatan finansial. Tanpa adanya panggilan untuk ke sana, tokh banyak juga mereka yang mampu tidak mau berangkat. Sebaliknya, bagi mereka yang belum berkecukupan, melangkah ke arah sana benar-benar terasa mimpi yang sangat mustahil untuk bisa diraih.
Mimpi itu kemudian menjadi doa yang terus diusahakan dengan mengumpulkan sekeping uang jerih payah dengan bertahun-tahun menabung. Saat semuanya sudah terkumpul, mimpi itu pun tertunai dan kebahagian bisa tertunaikan karena bisa mencium tanah suci.
Labbaik Allahumma labbaik
Labbaikala syarikalaka labbaik
Innal hamda wanni’matalak
Walmulkala syarikalak
Di tengah upaya untuk merealisasikan mimpi ini ada banyak narasi-narasi yang menggugah tentang kesulitan, perjuangan, sekaligus tantangan. Ini karena untuk ke tanah suci tersebut tidak murah. Dengan kondisi semacam ini kita bisa melihat bagaimana mereka yang menunaikan mimpi-mimpi ini berangkat sudah dalam keadaan tidak lagi muda. Ada banyak dari mereka yang sepuh dan renta yang kemudian menghembuskan nafas terakhirnya di tanah suci.
Dari beberapa tulisan, tersirat bagaimana saya begitu marah ketika para pengelola travel yang menggarong uang mereka sehingga mimpi itu kandas menjadi doa-doa panjang atas harapan yang menguap. Sungguh, mereka telah menghancurkan mimpi orang-orang kecil atas harapan yang panjang tentang terbunuhnya doa dan perjuangan mereka di tengah hatinya yang menjerit untuk segera berangkat menunaikan perintahnya.
Pergilah dengan hatimu
Pergilah karna panggilan tuhan
Tunaikan perintahnya
Allah kan menjagamu
Di sisi lain, bagi saya dan isteri, lagu ini mengingatkan kembali tentang mimpi itu bersama isteri sejak awal menikah 9 tahun lalu yang memulai berumah tangga dari minus tapi kami sikapi dengan tertawa, tentu saja ada menangisnya juga. Saya sebut minus karena memang memang tidak memiliki pekerjaan, hanya uang sisa beasiswa luar negeri yang bisa mengganjal kehidupan sehari-hari di tengah isteri bekerja sebagai pegawai kontrak yang akan segera diputus ketika mengandung anak pertama kami.
Kini, mimpi itu terasa semakin dekat sejak tahun 2017, meskipun belum bisa merealisasikannya sekarang. Namun, entah mengapa panggilan dan doa-doa itu menjadi semakin kuat ketika lagu baru Sabyan ini diputar.
Labbaik Allahumma labbaik
Labbaikala syarikalaka labbaik
Innal hamda wanni’matalak
Walmulkala syarikalak
Melalui lagu ini, Sabyan tidak hanya merepresentasikan atas sebuah mimpi tersebut, tetapi juga menguatkan atas harapan dan doa. Tak ayal, baru dua Minggu lagu ini diunggah, tepatnya 2 November 2018, melalui channel Official Gambus Sabyan, lagu ini sudah ditonton oleh 7.385.967 orang. Melalui komentar di dinding akun tersebut, tidak hanya memuji lirik dan arasemen lagu tersebut, melainkan membangkitkan kembali ingatan individu dan kolektif mengenai sisi kemanusiaan tentang keluarga dan sanak famili yang ingin menjawab panggilan-Nya ke tanah suci.
Di sini, sekali lagi saya mengatakan, Sabyan tidak hanya berhasil menunjukkan bagaimana dakwah Islam yang ramah, melainkan juga menunjukkan bagaimana kasih sayang Islam melalui kelembutan dan kesahduan dalam sebuah lirik dan arasemen musik dalam sebuah lagu.
Dengan demikian, di tengah kuatnya intoleransi di ruang publik, praktik politik yang membentuk polarisasi menjadi kedua kubu, dan menguatnya kebencian atas nama sentimen agama, dengan lagu-lagu yang disyiarkannya, Sabyan menjadi layaknya embun penyejuk atas semua itu. Kesejukan inilah yang perlu dikuatkan dalam ruang publik, baik dunia maya maupun nyata di tengah kepentingan predator politik untuk merengguk suara dengan memainkan sentimen agama yang membangun pelbagai stereotif atas apa yang disebut dengan umat Islam.
Cara itu memang murah tapi sangat merusak bangunan solidaritas keislaman yang seharusnya menjadi satu tubuh yang saling menguatkan apabila ada salah satu anggota bagian badan yang sakit.