Masalah “Nikah beda agama” bukan masalah baru, tapi selalu mengemuka kembali, dan media sosial membuatnya makin ramai dengan berbagai kontroversi dan reaksi. Saya pernah menulis tema fatwa-fatwa Muhammadiyah, NU dan MUI tentang nikah beda agama dan dimuat Studia Islamika. Saya pelajari berbagai dalil dan konteks sosial politik Indonesia mengapa ada fatwa keharaman itu. Saya belajar dan masih mengkaji tema ini secara normatif dan empiris.
Dalam tulisan ini, saya coba jelaskan secara singkat melalui tanya jawab imajiner dengan harapan kita bisa memahami perbedaan pendapat. Kita simak beberapa penafsiran mengenai pernikahan khususnya antara Muslim dan ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani.
Ali, kan sudah jelas, beberapa ayat Al-Quran Surat Al-Mumtahanah:10 dan Al-Baqarah 221. Yang melarang seorang Muslim menikah dengan non-Muslim?
Kita pada umumnya mengatakan jelas karena kita terbiasa dengan pendapat umum atau praktek dan pengalaman kita, dan di sekitar kita, dan sedikit waktu untuk belajar berbagai penafsiran yang ada dulu dan sekarang. Padahal ada beberapa perbedaan penafsiran terhadap ayat-ayat yang kita anggap jelas itu.
Surat al-Baqarah 221 yang diawali, “Dan janganlah Engkau menikahi perempuan-perempuan musyrik sampai mereka beriman…” Ayat ini merujuk pada perempuan musyrik, dan mayoritas mufassirun merujuk pada penyembah berhala-berhala di Mekah, bukan ditujukan kepada semua “non-Muslim”, seperti ahlul kitab, khususnya Yahudi dan Nasrani.
Ayat ini memiliki sebab turunnya, antara lain seorang Sahabat Nabi bernama Marthad yang berkenalan dengan seorang perempuan musyrik Mekah, dan ia minta nasehat Nabi apakah boleh menikahinya, lalu turunlah ayat itu melarang Marthad menikahi wanita musyrik sampai dia beriman. Jika kita termasuk yang mengikuti kaidah al-ibrah bi khusus al-sabab, artinya “sebab atau konteks itu yang berlaku”, maka Anda memahami ayat ini sebagai larangan laki-laki beriman menikah perempuan musyrik.
Yang dimaksud dengan musyrik pun, para mufassir dan sarjana berbeda pemahaman. Syirik yang dihukumi dosa besar dalam Al-Qur’an menyekutukan Allah dengan berhala-berhala dan tuhan-tuhan buatan manusia, tapi ayat-ayat Al-Quran juga memberikan perilaku orang-orang musyrik itu terhadap Nabi dan para pengikut awalnya.
Pelarangan menikahi perempuan Musyrik atau Kafir Quraish Mekkah bisa saja ditafsirkan karena konteks waktu itu mereka kaum musyrik Mekkah menentang Nabi, bahkan mengusir Nabi dan menyerang pengikut-pengikut Nabi, yang membuat Nabi dan pengikut awal pindah atau hijrah ke Madinah.
Ali, Bagaimana dengan Surat Al-Mumtahanah: 10. Seperti terbaca di sini:
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka jangan kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu, dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi mereka….”
Ayat ini memiliki banyak riwayat sebab turunnya, akan tetapi ada penafsiran umum bahwa orang-orang kafir yang dimaksud adalah orang-orang kafir yang juga disebut musyrik kaum Quraisy Mekkah. Umar bin Khattab misalnya menceraikan dua isterinya yang musyrik yang bernama Quraibah dan Ummu Kalsum. Putri Nabi Muhammad bernama Zainab pun berpisah dengan suaminya Abul ‘Ash bin Rabi’ yang musyrik. Tetapi kemudian Abul ‘Ash menerima Islam dan berhijrah ke Madinah, dan mereka pun kembali menjadi suami istri tanpa mengulang pernikahan mereka (Tidak diulangnya akan nikah, pada awal kemunculan Islam ini, berarti pernikahan seorang Muslimah dan suami yang masih musyrik dianggap sah).
Ali, Lalu Bagaimana dengan Surat Al-Maidah: Ayat 5?
Selain dua ayat di atas, Surat Al-Maidah ayat 5 justru jelas dan eksplisit menghalalkan pria Muslim menikah dengan perempuan-perempuan Ahlul Kitab, selain menghalalkan makanan/sembelihan/masakan mereka ahlul kitab. Perempuan-perempuan Ahlul Kitab ini, kebanyakan mufassir memahaminya Yahudi dan Nasrani.
Artinya, “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan Ahlul Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan dihalalkan bagimu menikahi perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan yang beriman dan perempuan dari Ahlul kitab sebelum kamu…..”
Menurut ulama Sunni dan Syafii, seperti Imam al-Zarkasyi, perempuan-perempuan Ahlul Kitab yang merdeka (bukan budak), dan sembelihan ahlul kitab, adalah halal bagi laki-laki Muslim. Surat Al-Maidah ayat 5 mengkhususkan firman Allah Al-Baqarah: 221. Ulama lain, seperti Ibnu Qudamah, kata “musyrikun” dalam Al-Baqarah 221 itu tidak mencakup ahlul kitab. Karena banyak juga ayat lain seperti Al-Bayinnah:1, 6, Al-Maidah:82, dan Al-Baqarah: 105, semuanya membedakan kaum musyrikun dan kaum ahlul kitab.
Sebagian mufassir berpendapat ahlul kitab hanyalah kaum Yahudi dan Nasrani yang ada sebelum dan pada zaman Nabi saja. Setelah zaman Al-Qur’an tidak lagi ada ahlul kitab. Sebagian mufassir lain berpendapat kaum Yahudi dan Nasrani di mana dan kapan saja hingga akhir zaman. Sebagian ulama tafsir seperti Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Rida dalam Al-Manar, berpendapat siapa saja mereka yang memiliki kitab termasuk Buddha, Hindu, Konghucu dan sebagainya, juga termasuk ahlul kitab.
Tentang al-Maidah: 5, Muhammad Rashid dalam Al-Manar jilid 6: 169-185, sebagian ulama mengartikan perempuan merdeka (bukan hamba sahaya), sebagian lain mengartikan perempuan yang bukan pezina. Mengenai perempuan Ahlul kitab, Rashid Ridha mengatakan mereka yang ada pada saat Al-Quran dan pada masa sesudahnya. Rashid Ridha juga menyebut pendapat ulama lain yang mengharamkan makan sembelihan dan menikahi perempuan Ahlul Kitab dengan alasan mereka juga syirik, sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Taubah dan Surat Al-Baqarah.
Rashid Ridha menjawab mereka begini: Syirik secara tersendiri dalam Al-Quran itu adalah sifat sebagian dari kelompok manusia, tapi tidak termasuk Ahlul Kitab, seperti dalam Surat Al-Bayyinah dan Surat Al-Hajj:17: Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, Shabiun, Majusi, dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat.”
Kedua, apabila maksud musyrikun dalam ayat Al-Maidah: 5 itu bersifat umum kepada siapapun, maka tidak ada pilihan bagi kita berpendapat bahwa ayat ini sudah dikhususkan atau dihapus, karena ayat ini turun di akhir masa kenabian, sebagaimana praktek sebagian sahabat seperti Huzaifah ibn al-Yaman yang menikahi perempuan Yahudi dan tidak ada satupun sahabat lain yang mengingkarinya.
Ayat Al-Maidah 5 menyatakan secara mutlak kebolehan menikahi perempuan beriman dan perempuan baik-baik atau merdeka (muhshonat) dari kalangan Ahlul Kitab. Rashid Rida melanjutkan, “Menjawab pertanyaan dari Jawa, tentang nikah Muslim dengan non-Muslimah seperti perempuan Cina, kami berpendapat:
“Sebagian ulama salaf tidak membolehkan seorang Muslim menikah non-Muslimah secara mutlak, tetapi jumhur atau kebanyakan dari ulama salaf dan khalaf membolehkan nikah dengan perempuan Kitabiyyah (ahlul kitab) dan mengharamkan nikah dengan perempuan musyrik; dan mereka mengartikan kitabiyyah adalah Yahudi dan Nasrani. Adapun selain Yahudi dan Nasrani, sebagian orang berpendapat mereka termasuk seperti musyrikun, tetap yang lebih tepat adalah bahwa label musyrikun tidak bisa digunakan kepada mereka, karena Al-Qur’an ketika menyebut pemeluk agama-agama selain musyrikun adalah kelompok tertentu dan ahlul kitab juga tersendiri sebagai kelompok lain, dan begitu pula Majusi.”
Rashid Rida melanjutkan, “Asal dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah dua ayat Al-Baqarah: 221 dan Al-Maidah:5. Mereka yang mengharamkan menikah dengan ahlul kitab berpendapat Al-Maidah: 5 telah dihapus (dinasakh) Surat Al-Baqarah:221. Pendapat ini tertolak karena Al-Maidah: 5 itu diturunkan setelah Surat Al-Baqarah: 221. Apabila kita mengharuskan Ahlul Kitab itu termasuk musyrikun maka kita harus menjadikan Al-Maidah sebagai khusus atau pengecualian karena kalau tidak begitu maka kita harus memahami ayat ini membolehkan nikah perempuan ahlul kitab.
Muhammad Abduh & Rasyid Rida melanjutkan, Al-Quran tidak membahas nikah selain kaum musyrikun dan selain Ahlul Kitab, seperti penganut agama-agama yang memiliki kitab atau serupa kitab seperti Majusi, Sabiun, dan selain mereka seperti Buddha, Hindu, dan lain-lain seperti Konghucu di Cina.
Sebagian ulama yang berpendapat ahlul kitab termasuk musyrikun cenderung juga memasukkan para penganut agama lain ini juga termasuk musyrikun, meskipun Al-Quran dan al-Sunah jelas membedakan ahlul kitab, musyrikun, majusi, dan sabiun (Q: 98:1; 3:186; 5:82; 22:17). Juga karena Sabiun dan Majusi mereka pun memiliki kitab dan berkeyakinan kitab-kitab ilahiyyah, tetapi setelah lama, asal agama-agama ini tidak lagi diketahui pasti , dan bisa saja datang kepada mereka rasul-rasul karena Allah berfirman dalam banyak ayat yang menunjukkan umat-umat juga menerima Pemberi Peringatan dan Petunjuk.
Tidak disebutkannya Buddha, Hindu, Konghucu di dalam Al-Qur’an karena orang-orang Arab yang menjadi audiens pertama Al-Qur’an tidak mengenal mereka dan tidak pernah pergi hingga ke India dan Cina. Sedangkan Sabiun dan Majusi disebut Al-Quran karena mereka cukup dikenal orang Arab.
Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridha menyimpulkan pandangannya: “Menikahi perempuan kitabiyyat (ahlul kitab) boleh tidak ada larangan, dan menikahi perempuan musyrik tidak boleh….” Perempuan-perempuan Ahlul Kitab tidak termasuk musyrik.
Syaikh Yusuf Qardhawi juga sejalan dengan Abduh dan Ridha di atas. Hukum asalnya menurut jumhur kebanyakan umat Islam, adalah boleh seorang Muslim menikahi perempuan Kitabiyyah (ahlul kitab). Menurut Qardhawi, keluarga adalah asas masyarakat, jika keluarga baik maka masyarakat akan baik. Surat Al-Nahl:72 dan Surat Al-Rum:21 menunjukkan Tanda Kebesaran Allah adalah manusia diciptakan berpasangan, di mana ada saling cinta dan menyayangi; pergaulan yang baik suami-istri seperti dalam Al-Baqarah 19 dan Al-Baqarah:228.
Surat Al-Maidah:5 jelas membolehkan Muslim menikahi perempuan Ahlul Kitab, dan ayat ini termasuk ayat diturunkan terakhir Al-Quran (artinya tidak ada ayat lain sesudahnya yang menghapus ayat ini). Memang ada sahabat seperti Abdullah ibn Umar yang melarang pria Muslim menikahi perempuan ahlul kitab, dengan merujuk Al-Baqarah:221. Sebagian ulama berpendapat bahwa pendapat Abdullah ibn Umar itu makruh (tidak disukai), tapi bukan haram (dilarang).
Sebagian ulama Syiah sependapat dengan Abdullah ibn Umar terkait alasan umumnya Al-Baqarah:221 dan Surat Al-Mumtahanah:10. Menurut al-Qardhawi, pendapat jumhur ulama dan umat Islam adalah boleh. Surat Al-Baqarah:221 dan Al-Mumtahanah:10 justru bersifat umum dan lalu ditakshish Al-Maidah:5 yang membolehkan. Alasan kedua, kata musyrikat dalam Al-Baqarah:221 tidak mencakup ahlul kitab karena banyak ayat lain (Al-Bayyinah:6, Al-Hajj:17) yang memang membedakannya.
Menurut al-Qardhawi, salah satu hikmahnya: harapan mereka yang Ahlul Kitab itu nanti tertarik kepada Islam. Alasan lain: mendekatkan umat islam dan Ahlul Kitab. Juga memperluas kehidupan tasamuh, kasih sayang dan baiknya pergaulan antara dua kelompok ini.
Ada syarat-syarat menurut Al-Qardhawi: Perempuan Kitabiyyah itu juga beriman dengan agama asal Yahudi dan Nasrani yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan bukan mulhidah atau murtadah dari agama mereka itu. Syarat kedua, perempuan itu perempuan baik (muhshonat), yang menurut mufassir Ibnu Katsir maksudnya bukan penzina. Syarat ketiga, perempuan ini bukan orang yang memusuhi dan memerangi umat Islam.
Ali, Jadi singkatnya bagaimana hukumnya?
Tergantung Anda memilih tafsir yang mana, tergantung hati Nurani Anda, tergantung sejauh mana Anda siap mengarungi kehidupan yang berbeda dengan kebanyakan keluarga dan orang-orang di mana Anda tinggal seperti di Indonesia. Tapi secara hukum asalnya, banyak ulama yang membolehkan jika Anda laki-laki Muslim menikah dengan perempuan ahlul kitab, Yahudi dan Nasrani dengan tujuan mendekatkan Anda dan istri Anda itu, saling kasih dan sayang, mawaddah wa rahmah.
Adakah contoh Nabi, sahabat, ulama, atau tokoh yang dikenal menikah dengan perempuan non-Muslim? Lalu bagaimana dengan perempuan Muslimah dan pria non-Muslim? Dan bagaimana kita menyikapi persoalan ini? Jika Anda punya pendapat, masukan, atau pertanyaan silahkan tulis di komentar. Saya akan lanjutkan di bagian kedua nanti. Saya juga akan bahas pertanyaan-pertanyaan lainnya, terkait keadaan empiris saat ini mengenai nikah beda agama di berbagai negara. Literatur tentang ini makin banyak dan membuka mata hati dan pikiran kita. (AN)