Perjanjian antara Israel dan Uni Emirat Arab ternyata tidak mengendurkan PM Israel untuk terus menganekasi wilayah Palestina. Pernyataan kontroversial ini muncul saat Presiden Israel, Reuven Rivlin mengundang secara resmi putra mahkota Emirat, Mohammed bin Zayed Al-Nahyan untuk mengunjungi Yerusalem.
Netanyahu mengatakan bahwa pemerintahnya tidak akan melepaskan kendali terhadap sebagian besar tepi barat yang diduduki, meskipun ada normalisasi hubungan dengan UEA. Ia juga menegaskan tidak membatalkan ketentuan rencana “kesepakatan abad ini” yang menunjukkan bahwa Israel diberikan kendali penuh atas sekitar 30 persen dari Tepi Barat.
Perjanjian normalisasi, yang diumumkan pada Kamis malam, ditengahi oleh Presiden AS Donald Trump dan menetapkan bahwa Israel akan menangguhkan rencana aneksasi bagian-bagian Tepi Barat dengan imbalan hubungan diplomatik dengan UEA.
“Untuk pertama kalinya dalam seperempat abad, kami berdamai bukan atas dasar konsesi dan penarikan Israel, seperti yang terjadi dengan Mesir dan Yordania,” kata Netanyahu kepada wartawan Israel Amnon Lor seperti dikutip laman middleeye.net.
Ditambahkan oleh Netanyahu, pihaknya tidak akan menyerahkan kedaulatan negerinya. “ Saya memasukkannya ke dalam rencana perdamaian Presiden Trump. Menurut rencana Amerika, Israel akan memenangkan 30 persen dari Yudea dan Samaria (Tepi Barat yang diduduki) – sepuluh kali lipat dari sebelumnya. Dalam rencana lain – tanpa menggusur pemukiman dan wilayah apa pun, yang diperlukan untuk keamanan Israel. Ini adalah rencana Amerika. Itu tidak berubah,” katanya.
Normalisasi hubungan antara UEA dan Israel mendapat kecaman dari warga dan pemerintah Palestina. Tindakan yang dilakukan oleh UEA sebagai pengkhianatan dan memicu protes dari ribuan warga Palestina. Dalam kesepakatan tersebut Mohammed bin Zayed (MBZ), putra mahkota UEA mengatakan kesepakatan telah dicapai untuk menghentikan aneksasi Israel lebih lanjut atas wilayah Palestina.